25 Mei 2012

Ekaristi dan Komunitas Kasih


EKARISTI  DAN  KOMUNITAS  KASIH

Oleh: JacobusTarigan, Pr



Umat menghadiri misa, khususnya pada hari Minggu, Dies Domini, bukan hanya karena kewajiban, tetapi lebih untuk memuliakan Allah, yang adalah kasih. Mereka bersyukur atas kasih karunia Allah yang dialami dalam hidup sehari-hari. Demikian juga umat mohon rahmat dan berkat untuk dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan contoh teladan dari Yesus Kristus, mencintai sesama sampai menyerahkan nyawaNya sendiri. Umat memang tidak tahu bahwa Ajaran Sosial Katolik merupakan bagian dari iman Katolik, tetapi mereka melaksanakannya. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja, seperti Solidaritas, Subsidiaritas, hormat terhadap kehidupan manusia dan lain-lain, sudah biasa dijalankan dalam masyarakat, hanya saja belum radikal dan mudah diselewengkan. Maka ketika misa, mereka mengharapkan homili dan Doa Umat sungguh-sungguh mempertegas prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja. Bahasa teologis eksklusif dari Ajaran Sosial Gereja, diharapkan oleh umat untuk diterjemahkan dengan bahasa sehari-hari. Dan banyak pastor berhasil menterjemahkannya dalam homili yang ringan, namun mendalam dengan contoh kehidupan sehari-hari. “Homili adalah bagian dari kegiatan liturgi dan dimaksudkan untuk memacu pemahaman yang lebih mendalam tentang Sabda Allah, sehingga dapat menghasilkan buah dalam kehidupan kaum beriman... Homili yang mentah dan abstrak hendaknya dihindari” (Sacramentum Caritatis, 46).
Dengan menimba kekuatan dari Perayaan Ekaristi, umat awam menjalani kehidupan keluarga dengan jatuh bangun. Hanya suami-isteri saling memberikan sakramen perkawinan. Maka dalam perjalanannya, perkawinan itu mengalami pasang-surut. Cinta yang minimal pada awal perkawinan berkembang menjadi maksimal, namun bisa saja merosot ke minimal lagi. Banyak krisis dialami suami-isteri : kesulitan ekonomi, biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan, pergaulan bebas dan lain-lain. Perkawinan bukan barang jadi yang instan, tetapi merupakan sebuah proses. Di kota besar seperti Jakarta, banyak suami-isteri lebih banyak waktu berada di luar rumah. Mungkin hanya Sabtu dan Minggu, mereka beristirahat. Tetapi dari Senin sampai dengan Jumat, sejak jam 5.00 pagi mengendarai sepeda motor, diterpa hujan dan angin, dihadang oleh kemacetan, resiko mendapatkan kecelakaan, dan pulang ke rumah sekitar jam 20.00. Di akhir bulan, mereka mendapatkan upah yang tidak mencukupi standar hidup minimal. Walaupun mendapatkan tantangan hidup yang tidak ringan, umat awam masih juga setia merayakan Ekaristi hari Minggu. Mereka berharap agar liturgi ditata dengan baik, indah, menarik, menyentuh, tidak bertele-tele. Demikian juga homili tidak menggurui mereka dengan nasihat-nasihat moralistis murahan tentang perkawinan. Oleh karena itu pastor perlu hati-hati dalam mempersiapkan homili tentang hidup berkeluarga. Pastoral perkawinan adalah mendampingi, bukan mengatur mereka yang menikah. Karena perkawinan pertama-tama adalah tanggungjawab suami-isteri. “Karena itupun para selibater (imam katolik, biarawan/biarawati) yang status sosio-ekonomis dan budaya agak tinggi jaranglah orang yang paling cocok untuk pastoral perkawinan dan keluarga. Mereka sukar mendapa empati mendalam yang perlu guna mendampingi perkawinan orang dengan status sosio-ekonomis dan budaya yang terlalu berbeda” (Dr. C. Groenen, OFM, 1993, Perkawinan Sakramental, Yogyakarta: Kanisius, hal. 418).
Perayaan Ekaristi tentu tidak selesai dengan “Ite Missa Est”. Umat diutus untuk menguduskan dan membangun dunia. Perutusan itu tidaklah muluk-muluk. Orang miskin selalu ada dan ada dimana-mana. Sering orang Jakarta beranggapan bahwa orang miskin ada di daerah, luar Jakarta. Padahal di Jakarta terdapat banyak orang miskin. Dalam parokipun terdapat banyak umat yang nyaris miskin. Misalnya mereka kehilangan pekerjaan sebagai supir angkot, metromini dan bus umum. Kehadiran “busway” menggusur kendaraan lainnya dan banyak supir katolik kehilangan pekerjaan. Mereka menghadapi kesulitan biaya kesehatan dan pendidikan anak. Dan kita melupakan mereka, sebagai sesama beriman katolik, dalam paroki yang sama. Hendaknya kita ingat, karya karitatif adalah karya khas Gereja, opus proprium. Paroki harus berbuat sesuatu untuk para supir katolik itu. Misalnya dalam misa bernuansa Imlek di paroki Pulo Gebang, 29 Januari 2012, kolekte secara khusus membantu keluarga para supir yang kehilangan pekerjaan. Memang jumlah uangnya tidak seberapa, namun itu merupakan tanda kehadiran gereja di tengah umat. “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).
Kita berbuat baik bagi sesama, bukan hanya karena kita diutus Ite Missa Est, tetapi setelah kita berbuat baik, kita kembali lagi merayakan Ekaristi. Kita berbuat baik berdasarkan iman kita pada Yesus Kristus, yang menampakkan wajah kasih Allah. Umat yang saling mengasihi satu sama lain dalam perbuatan nyata, akan memberikan makna yang lebih mendalam para perayaan Ekaristi. Melalui pelbagai program kegiatan konkret dari Seksi Sosial Paroki dan beberapa kegiatan karitatif lainnya, umat paroki sebagai komunitas akan merayakan Ekaristi semakin liturgis. Ekaristi menjadi semakin menarik, tidak hanya dengan menata upacara liturginya, tetapi justru harus diawali dengan adanya saling mengasihi diantara umat paroki. Bahkan dapat dikatakan, “Tanpa komunitas yang anggota-anggotanya saling mengasihi, tidak ada Ekaristi” (Keenan B. Osborne, OFM, 2008, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, hal. 17).
Umat diutus untuk membangun tatanan dunia yang lebih sejahtera dan adil. Kaum awam menyandang tugas khusus untuk menata masyarakat melalui karya mereka di bidang ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif, yudikatif dan kultural. Sejarah Negara Indonesia mencatat, orang Katolik selalu turut berperan aktif dalam membangun bangsa. Pahlawan I. J. Kasimo, sebagai salah satu contoh, patut diteladani. Ia memberikan inspirasi kepada kita dalam hal kejujuran dan keindonesiaan. Ia tidak berjuang hanya untuk suku Jawa tetapi bagi seluruh bangsa, “salus populi, suprematex”. Di tengah pluralisme agama dan budaya, Kasimo memperlihatkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia merupakan bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. Namun sayangnya, pada hari ini kita sulit menemukan generasi muda Katolik sebagai pemimpin di bidang politik kemasyarakatan. Memang dengan menyandang predikat Katolik saja, tidak semua politisi Katolik berhasil menjadi pemimpin yang jujur. Ada juga yang terjebak dalam sikap kompromistis, plin-plan, dan oportunis. Lalu pemimpin macam apakah yang kita harapkan hari ini? “Seorang yang eksekutif, yang berani mengambil keputusan-keputusan strategis, memonitor keputusan-keputusan itu berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang diputuskan, bertindak tegas dengan kepentingan rakyat sebagai batu sendi dan batu penjuru tindakan-tindakannya. Memimpin itu konotasinya memerintah, tidak cukup dengan membuat pernyataan, tetapi sebagai pemimpin negara, memerintah berarti govern, memang tidak salah membuat pernyataan itu termasuk kegiatan memerintah” (St. Sularto (penyusun), 2011, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jacob Oetama, Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, hal. 527).
Untuk mewujudkan tugas perutusan secara realistis dan seimbang dalam tata dunia, hendaknya kaum awam sungguh mempelajari Ajaran Sosial Gereja. Ditegaskan beberapa prinsip dalam Ajaran Sosial Gereja, antara lain : penghargaan terhadap martabat manusia, hormat terhadap kehidupan manusia, kemerdekaan berserikat, hak untuk berpartisipasi, perhatian lebih kepada yang lemah dan miskin, Solidaritas, Subsidiaritas, kesetaraan martabat, kebaikan umum prinsip stewardship. Paham awal Ajaran Sosial Gereja telah dilaksanakan dalam Gereja Perdana yang dapat dibaca dalam Perjanjian Baru dan selanjutnya ditegaskan lagi sejak Paus Leo XIII. Menghadapi perubahan masyarakat dan tantangan zaman, dikeluarkan Ajaran Sosial Gereja oleh para paus. Banyak imam merintis pelaksanaan Ajaran Sosial Gereja dan banyak awam mempraktekkan Ajaran Sosial Gereja secara konsisten dan konsekuen di tempat kerja dan profesinya tanpa berkhotbah muluk-muluk. Sayangnya, banyak karya awam yang diinspirasi oleh Ajaran Sosial Gereja luput dari perhatian para imam, sehingga belum mendapatkan dukungan dan bimbingan. “Para Gembala Gereja hendaknya tak henti-hentinya mendukung, membimbing dan mendorong kaum beriman awam untuk menghayati sepenuhnya panggilan mereka kepada kekudusan dalam dunia ini, yang sedemikian dikasihi oleh Allah sehingga Ia menyerahkan PutraNya demi keselamatannya” (Sacaramentum Caritatis, no. 79).
Ekaristi dan komunitas kasih tak dapat dipisahkan. Bukan namanya komunitas ekaristis, kalau masih saja tetap ada kelompok kaya dan kelompok miskin dalam paroki dan dalam lingkungan sekitar. Tidak mungkin ada Ekaristi di dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengasihi. Rupanya kita masih dalam proses menuju Komunitas Ekaristi.


Spiritualitas Transformatif


Spiritualitas Transformatoris
(Sebuah Pemaknaan Ekaristi sebagai Sakramen Keselamatan)[1]
Oleh: Diakon Prasetyo Handoyo Wicaksono

Pengantar
Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah kesempatan, seorang teman tiba-tiba menyeletuk kepada saya. Ia mengagumi kehebatan perekrut orang-orang yang mau menjadi pelaku bom bunuh diri. Dalam waktu yang sangat singkat, sang perekrut pengantin (istilah untuk orang yang siap menjalankan aksi bunuh diri), berhasil merubah cara berpikir, cara pandang, dan cara bertindak seseorang untuk meyakini suatu paham tertentu. Sang pengantin pun rela meninggalkan cara hidupnya yang lama hingga menyerahkan seluruh kehidupannya demi keberhasilan aksi bom bunuh diri tersebut. Sebuah tindakan yang barangkali dalam tataran pikiran kita terlihat sangat bodoh, namun baginya mampu dihayati sebagai tindakan yang bernilai luhur.
Tema ini seolah menyentak kami berdua. Betapa luar biasa daya transformasi yang ditularkan sang perancang peledakan bom ini, sehingga daya internalisasinya dapat tertanam begitu kuat. Sebuah pola yang sama nampaknya dapat diterapkan di dalam suatu pola pembinaan yang berlangsung pada sebuah lembaga yang bercorak keagamaan atau bahkan di dalam katekese dan pewartaan ajaran suatu agama. Namun yang membedakan nampaknya terletak pada metode yang digunakan sehingga orang dalam waktu yang singkat mampu mengarahkan keseluruhan hidup.
Kami pun tiba-tiba juga teringat akan Ekaristi yang menjadi puncak perayaan iman Katolik. Sudah tidak terhitung, berapa banyak perayaan Ekaristi yang telah kami ikuti. Kami pun kemudian bertanya-tanya, sejauh mana Perayaan Ekaristi telah membentuk dan memberikan anugerah dalam diri saya. Sebab jika Perayaan yang kami rayakan setiap hari hanya sebatas perayaan saja, bagaimana dengan sebagian besar umat yang hanya merayakan pada hari minggu saja? Maka dalam tulisan ini, saya mencoba melihat sisi transfomasi dari ekaristi di dalam kehidupan umat beriman.

Ekaristi Sebagai Puncak Kebersamaan dengan Tuhan dan Sesama
Manusia memiliki kerinduan untuk hidup bersatu dengan Tuhan dan sesama. Kebersamaan dengan Allah dan manusia mencapai kepenuhannnya dalam diri Yesus Kristus. Melalui Gerejalah kehadiran Yesus bagi dunia ditampakkan. Kehadiran Yesus Kristus dan karya penebusan ditampakkan dan dihadirkan secara meriah oleh Gereja di dalam ekaristi. Di dalam Perayaan Ekaristi, seluruh misteri Kehidupan bersama dengan Allah dan manusia yang mengalami kepenuhannya dalam Kristus  dirayakan dan dihadirkan bagi umat beriman.[2]
Perayaan ekaristi menjadi  sumber dan puncak kehidupan umat beriman Kristiani (LG 11,KHK Kan. 849). Dalam perayaan ekaristi itu, semua kegiatan yang lain memperoleh sumber rahmat dan kekuatannya sekaligus terarah kepadanya. Di dalam Ekaristi Yesus hadir dan bertindak bersama dan dengan Gereja. Melalui perayaan Ekaristi ini, peristiwa pertemuan dan kebersamaan antara Allah dan manusia melalui Kristus mengalami puncak dalam hal pengungkapan dan pelaksanaannya. Di sinilah Gereja menampakkan hakekatnya sebagai sakamen kebersamaan dengan Kristus (SC 2).
 Misteri Ekaristi ialah misteri Tuhan yang menjadi santapan bagi seluruh umat manusia. Manusia pun bersekutu dengan Tuhan dan sesama. Allah sendiri yang masuk secara langsung ke dalam hidup manusia. Allah mendatangi umatNya dalam rupa makanan dan minuman yang disantap, dalam rupa roti dan anggur. Dengan menerima santapan baru di dalam tubuhnya, hidup manusia memperoleh suatu kesegaran baru. Tuhan masuk ke hidup manusia sampai pada bagian yang paling dalam agar manusia bersatu dan bersama Dia, untuk selanjutnya berani berjuang dalam hidup sehari-hari berkat penyertaanNya yang merangkum dan meliputi semua itu.Kehadiran Allah yang sungguh nyata begitu mendapat tempatnya di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi menghadirkan karya penyelamatan Allah.
Di sinilah ekaristi memperlihatkan relasi yang kuat akan Kehadiran Yesus yang berbelas kasih dan mengundang semua orang dalam persaudaraan serta persekutuan denganNya. Pemberian diri Yesus yang sehabis-habisnya melalui wafatnya di kayu salib menjadi segi yang paling pokok dalam Perjamuan Ekaristi. Dan akhirnya Perayaan Ekaristi mengungkapkan kebersamaan dengan Yesus yang bangkit. Dengan demikian semakin jelas di sini bahwa Perayaan Ekaristi memperlihatkan kehadirian Allah dalam diri Yesus yang sungguh nyata. Kehadiran itu tidak diperlihatkan hanya dalam salah satu sisi hidupnya saja melainkan keseluruhannya.Perjumpaan Allah dengan manusia di dalam ekaristi bukanlah sebuah pertemuan yang terjadi secara kebetulan. Perjumpaan ini dilandaskan atas dasar cinta yang murni. Di dalam Ekaristi, perjumpaan terjadi karena adanya inisiatif yang berasal dari Allah. Inisiatif dari Allah tersebut kemudian ditanggapi oleh pihak manusia.
Adanya perjumpaan yang didorong oleh cinta yang mendalam, seharusnya menggetarkan hati kita untuk menyampaikan sikap yang serupa. Kita, yang senantiasa merayakannya, selayaknya memiliki sikap yang terarah pada pengurbanan yang serupa kepada sesama.  Kita pun ditantang untuk masuk dalam pertanyaan, Apa yang selanjutnya dapat kita persembahkan? Melalui tubuh kita, kita persembahkan segala hal yang membentuk hidup jasmani kita: waktu, kesehatan, kekuatan, keahlian, perasaan-perasaan kita, segala hal yang selama ini kita anggap bernilai. Melalui ‘darah’ kita mempersembahkan kerendahan hati, kegagalan dalam hidup, penyakit-penyakit yang sedang menggerogoti hidup kita, keterbatasan-keterbatasan yang kita alami dan semua hal yang ‘mematikan‘ kita. yang terpenting di sini adalah persembahan seluruh kehendak dan pikiran kita.
Sakramen pada dasarnya muncul sebagai suatu pertemuan antara Allah, yang datang kepada manusia, dan manusia yang naik kepada Allah.[3] Hal inilah yang membuat sakramen tidak tinggal sebagai sebuah karya monumental dan sekedar rumusan kosong saja. Tanggapan manusia menjadi suatu tuntutan atas tawaran Allah itu. Sakramen menjadi sungguh berbuah dalam hati manusia hanya dalam penerimaan manusia yang rendah hati
Jelaslah bahwa di sini sakramen bukanlah hanya sebuah ritus. Sakramen akan mengalami kepenuhan dalam pengandaian terdapat hidup yang terbuka kepada Allah. Boff mengungkapkan bahwa bagian esensial dari sebuah sakramen adalah suatu proses menjalani pertobatan dan mencari Allah.[4] Hal yang sama nampaknya dapat kita kenakan terhadap ekaristi sebagai sebuah sakramen. Kurban Kristus di dalam ekaristi harus membawa pertobatan bagi manusia yang menyantapnya. Maka sebenarnya kita harus melihat sakramen secara lebih dinamis. Dengan kata lain, sakramen tidak terbatas pada sebuah ritus yang sedang dijalankan. Dalam tangan yang menyambut uluran rahmat Allah pun dibutuhkan sebuah hati, sehingga dimampukan juga untuk masuk dan juga dipersatukan dalam sebuah perayaan. Dengan kata lain, kita yang masuk dalam perayaan kurban, harus siap pula menjalani kurban yang sama, menghidupkan iman Kristen dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Yesus. Pengalaman sedih, sengsara, dan derita serta segala hal yang kita anggap sebagai kemalangan dalam hidup akan menjadi suatu hal yang biasa. Kita yang secara rutin mempersiapkan diri untuk merayakan Ekaristi, seharusnya menjadikan ekaristi sebagai sebuah ungkapan yang hidup dari sebuah suatu kehidupan yang diterangi iman.
Sakramen sebagai Sakramen selalu mengandung sebuah komitmen untuk mengubah praksis hidup seseorang. Perayaan ekaristi mengandung pula sebuah tuntutan pertobatan. Maka jika di dalam Ekaristi seseorang menerima komuni (comunio = persekutuan), unsur-unsur comunio juga harus tampak dalam komunitas di mana mereka hidup. Bagaimana mungkin komuni yang mereka rindukan dengan penuh pengharapan dalam Ekaristi dapat terwujud jika dalam kehidupan luar kita yang tampak adalah sikap saling memusuhi satu sama lain, memperlakukan orang dengan tidak adil? Komuni yang diterima dalam Ekaristi pun akan menjadi hambar. Apa yang dialami dalam Ekaristi menuntut praksis dalam kehidupan. “Perwujudan” Allah mengandaikan kerjasama dengan manusia.
Dengan demikian, setelah mengikuti Ekaristi, saya tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh terhadap saudaraku yang lain. Apa gunanya kita mempersembahkan suatu persembahan jika kita sendiri belum berdamai dengan saudara kita yang lain ( bdk. Mat 5:23-26)? Penolakkan terhadap saudaraku menyimpan makna bahwa saya pun menolak Kristus dan memisahkan diriku dari persatuan tersebut. Kristus yang kita terima dalam komuni adalah Kristus yang sama dan tak terbagi yang diterima oleh orang di sampingku. Ia mempersatukan kita satu sama lain dengan mempersatukan kita di dalam diriNya(bdk. Kis 2:42). Ekaristi menguatkan kehidupan dan hidup yang kita jalani sendiri adalah kehidupan di tengah dunia di mana kita sendiri menerima dan memberikan hidup. Hidup orang Kristen haruslah mampu dipadankan dengan nilai-nilai injil, membiarkan sabda Allah berbicara kepada kita. Kabar gembira harus dapat diwartakan melalui hidup kita sehingga injil menjadi warta kehidupan.

Akhir Kata ….
Terkadang bagi kita yang dapat secara rutin dapat ikut merayakan dan menghadiri Perayaan Ekaristi, nilai dan makna terdalam dari perayaan tersebut tidak dapat lagi kita rasakan. Kerinduan akan perjumpaan dengan Kristus tidak dapat kita rasakan secara mendalam. Ada bahaya bahwa kita merayakan dan ikut Ekaristi hanya ‘sekenanya’, tanpa persiapan. Atau bahkan bersikap kompromis jika tidak bisa mengikuti perayaan Ekaristi.
Saya teringat akan pengalaman seseorang yang suatu ketika mengatakan merasa ‘pusing’, kosong, dan hidup menjadi berantakan karena sudah hampir setahun tidak bisa menyambut komuni di dalam perayaan Ekaristi berhubung permasalahan yang sedang dialaminya. Saya pun teringat pula pada pengalaman ketika masa awal ‘belajar berpastoral’ di sebuah paroki di Kalimantan. Seorang umat dari sebuah stasi secara mengejutkan menghampiri saya, “ Kenapa frater sudah lama tidak sembayang di tempat kami? Kami sudah lama tidak menyambut roti.” Sapaan kecil dari bapak tersebut saya pandang sebagai ungkapan kerinduan akan perjumpaan dengan Tuhan. Maka suatu hal yang menggembirakan bagi mereka jika ada Pastor, frater, suster atau bahkan katekis yang memimpin mereka sembayang dan membagi komuni, syukur jika bisa mengadakan ekaristi. Mereka akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dan setelah ibadat atau misa biasanya kami berkumpul bersama umat di dalam rumah panjang. Suatu pengalaman yang mengesankan. Dua pengalaman tersebut seolah mengingatkan saya kembali betapa bersyukurnya saya masih dapat merasakan ekaristi setiap hari. Di sisi lain menjadi tantangan untuk senantiasa memaknai dengan sungguh setiap kali mengikuti perayaan ekaristi.
Ekaristi tidak berakhir pada saat komunitas yang berkumpul menyanyikan ayat terakhir dari lagu penutup misa. Ekaristi berakhir pada sebuah perutusan. Kita dipanggil dan diutus membawa warta keselamatan Allah kepada sesama. Spiritualitas Ekaristi bukan merupakan sebuah spiritualitas yang hanya memperhatikan kedalaman batin.  Spiritualitas itu harus membawa kita melihat ke dalam Komunitas Kristiani itu sendiri. Ekaristi hanya tetap akan menjadi sebuah perayaan yang tak menghasilkan apapun jika tidak mampu membawa kita pada jiwa sebagai murid yang diutus untuk membangun kasih di dalam komunitas hidup Kristini.
Ekaristi tidak akan berarti apa-apa jika tidak membentuk sikap untuk saling mengasihi kepada sesamanya. Ekaristi tidak akan bermakna apa-apa jika diri kita senantiasa diliputi rasa dendam dan benci. Sabda Allah yang kita dengar dalam Ekaristi akan terasa sungguh kering jika hati kita tetap tertutup terhadap keberadaan orang lain di sekitar kita. Transformasi Ekaristi hanya mungkin terjadi di dalam sebuah komunitas yang saling mengasihi, dan di dalam komunitas yang saling mengasihi itulah karya keselamatan Allah mengungkapkan kehadirannya yang nyata (bdk.1Kor 11:21-22).

      
Disarikan dari beberapa Sumber
Boff, Leonardo, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta: Penerbit OBOR, 2007
Bremen, P.V.,SJ, ( Terj. A. Soenarja, SJ), Bagaikan Roti diremah, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Catalamesa, Raniero (Terj.N.J. Boumas, SVD dkk.), Ekaristi Gaya Pengudusan Kita, Ende: Nusa Indah , 1992.
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika2, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Osborne, Kenan B, OFM, (terj. Hartono Budi, SJ dkk.), Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2008




[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dengan beberapa tambahan dari paper yang pernah dibuat pada mata kuliah seminar “Ekaristi dan Transformasi Hidup”.
[2] Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hlm. 266.
[3] Lih. Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta: Penerbit OBOR, 2007, hlm.131.
[4] Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen,hlm. 131

Once Again!

Once Again!
Oleh: Fr. Fulgentius Rinto Krisjandika

Pengantar
Pada tanggal 15 Januari 2012 sampai dengan 15 Februari 2012, aku beserta kawan-kawanku menjalani kegiatan probasi luar[1]. Dalam kesempatan ini, aku belajar untuk menjalani dan merasakan kehidupan orang lain yang berjuang untuk bisa mencari nafkah (sesuap nasi). Namun, lebih dari itu, aku membawa visi-misi pribadi dalam probasi luar ini, yakni belajar untuk bisa hidup dengan fasilitas yang apa adanya dan belajar untuk tetap mampu hidup teratur dalam ketidakteraturan (mandiri). Bukan hanya itu saja, mengingat kegiatan ini juga merupakan proses dari formatio sebagai calon imam, aku mempunyai target yakni tetap bisa menjalin relasi dengan Gusti dalam ketidakteraturannya waktu itu. Bagiku, ini merupakan kesempatan untuk bisa belajar hidup mandiri baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan rohani. Hal ini sederhana tapi aku sadar, akan sulit untuk dilakukan.
Aku diutus bersama dengan Fr. Angga untuk menjalani probasi luar di P.T. Mitra Perkasa Ekatama, Bantar Gebang, Bekasi. Kami tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat bekerja. Pimpinan di tempat kami bekerja bernama Bapak Budi, sedangkan pimpinan produksi bernama Bapak Herda.  Kami dibimbing oleh Bapak Panggung sebagai leader di bagian perakitan (assembling).

Menjelang Perutusan
Namun, apa yang aku rasakan sungguh berbeda. Sebelum aku berangkat tepatnya pada hari Minggu 15 Januari 2012, aku bersama empat orang teman mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Santa Anna, Duren Sawit. Sepanjang perayaan Ekaristi, aku merasa deg-degan atau bisa dikata aku merasa takut dan cemas karena aku belum mengetahui akan apa yang terjadi nanti. Aku cemas sehingga sungguh tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan tenang. Tiap kali aku merasa cemas, aku hanya minta tolong pada-Nya untuk memelukku hingga aku merasa tenang. Aku merasa sungguh memerlukannya. Selama misa, aku hanya bisa memohon dan memohon. Bukan aku ingin menuntut Tuhan, tapi memang inilah yang aku butuhkan saat ini. Namun, hingga perayaan Ekaristi berakhir, aku belum merasa siap untuk bisa memulai rangkaian probasi luar ini. Tapi, selesai perayaan Ekaristi, aku menyadari bahwa aku harus siap dalam memulai probasi luar ini.
Aku tidak akan pernah siap jika belum dimulai dan tidak dimulai. Maka hanya dalam doa aku mengucap kata siap dan mohon bantuan Tuhan ketika membawa tas nanti. “Tuhan tolong bantu aku membawa tas yang berat ini” batinku dalam hati. Tetapi, Tuhan tahu apa yang aku butuhkan saat itu. Tuhan memang murah hati. Dia tidak pergi meninggalkanku sendiri. Dia memberiku penghiburan ketika selesai berdoa. Ketika selesai berdoa, aku terkejut karena ada dua orang murid bina imanku yang langsung duduk bersebelahan dengan diriku. Aku berpikir bahwa mereka itu umat, tapi ternyata muridku sendiri yaitu Mona dan Angie. Kami pun sempat bercanda tawa sejenak dan aku diminta untuk menandatangani kartu tugas mereka. Akupun akhirnya pulang dengan perasaan yang sudah terhibur oleh-Nya. Aku pulang dengan ringan hati dan penuh rasa syukur karena kemurahan hati-Nya yang begitu nyata. “Gila…, ‘Bapak’ gua!”, teriakku dalam hati. Aku lihat Dia yang menghibur melalui dua orang murid itu. Tuhan memang punya banyak cara untuk bisa menjamah anak-anak-Nya.   
Akhirnya, aku dan beberapa teman berangkat untuk memulai ‘segalanya’. Meski tas yang aku bawa berat, tapi aku tidak merasa terbebani. Aku percaya Tuhan sudah membantuku untuk membawakan tas ini. Hingga akhirnya, aku ingin cepat-cepat sampai untuk menata dan melihat situasi lingkungan di tempat tinggal baruku. “Tuhan, aku mohon temani dan bantu aku menjalani petualangan formatio ini! Amin.”, doaku dalam hati.
Malam hari sebelum pergi tidur, aku mencoba untuk membaringkan badan dan menikmati alas tidurku kali ini. Kurasakan alas ini begitu kasarnya dengan bantal yang hanya berupa tas ransel saja. Yah…, inilah hidup yang apa adanya. Aku berdoa agar Tuhan memberikan istirahat yang hangat pula untuk teman-temanku lainnya. Kupejamkan mata dan kusyukuri semuanya.

Pergilah engkau diutus!
Pagi hari tepat pukul 06.00, aku terbangun dari tidur dan merasakan badanku yang pegal-pegal. Lagi-lagi aku merasakan sungguh, inilah hidup yang apa adanya. Akupun bangkit dan merasakan segarnya udara pagi hari. Sungguh menyegarkan dan menumbuhkan kembali semangatku. Aku bergegas mandi dan kubawa rasa syukurku ini dengan ibadat pagi (laudes). Setelah sarapan, kami pun bergegas menuju ke pabrik dan tepat pukul 08.00, bel berbunyi tanda waktunya sudah tiba bagiku.
Di hari pertama bekerja, tepatnya hari Senin 6 Januari 2012, pekerjaan diawali dengan briefing dari kepala produksi. Kami memperkenalkan diri, dan setelah itu briefing dari tiap-tiap leader. Setelah itu, kami minum susu kemudian langsung bekerja. Di hari pertama bekerja ini, aku mendapat tugas dari Pak Panggung untuk menyenai (membuat alur pada baut) baut panjang dan pendek yang akan digunakan untuk bike lift. Aku diajari dulu oleh Mas Febry, rekanku. Selama 8 jam aku belum dapat menyelesaikan semua baut yang harus disenai. Dengan rasa pegal dan lengket karena keringat yang terus mengucur, aku berusaha setia pada tugas ini. Bagiku, kali ini aku belajar untuk setia pada perutusan terutama pada suatu tugas. Jam istirahat sungguh menjadi jam siesta[2] bagi kami.
Selesai bekerja, aku hanya bisa berjalan dan merasakan lelah dengan badan yang lengket karena keringat. Ya, inilah yang namanya kerasnya bekerja. Meski demikian, di hari pertamaku bekerja, aku masih belum dapat menikmati tugas perutusanku ini. Aku selalu merasa untuk ingin cepat pulang dan berisitrahat.
Sementara itu, aku seperti mendapat teguran keras dari Tuhan sendiri karena ketika aku mengeluh, aku justru dapat melihat keceriaan para karyawan lain ketika bekerja. Pekerjaan mereka memang lebih berat tapi mengapa mereka tampak begitu tanpa bebannya dalam bekerja? Aku salut pada mereka. Maka aku harus segera berbenah.
Hari pertama kulalui dengan terus-menerus mengeluh. Hari berikutnya, dalam laudes kubawa permohonan agar dapat menikmati perutusan ini. Dan ternyata, kurasakan betapa baiknya Tuhan. Tuhan begitu peduli padaku. Tak menyangka bahwa Tuhan sungguh mengerti akan apa yang aku butuhkan. Aku sungguh merasakan ada kekuatan baru dalam diriku. Wow! Rasa pegal itu tak kurasakan lagi. Rahmat-Nya yang dulu pernah kurasakan ketika peregrinasi[3], kini kurasakan kembali. Keajaibannya selalu hadir pada setiap orang yang membutuhkannya! Mintalah maka kamu akan mendapat. Meski pekerjaan masih sama, tapi kini aku senang karena ketika bekerja aku juga dapat berelasi dengan beberapa karyawan di sana. Sebagian besar dari mereka adalah orang Jawa. Maka aku dapat dengan mudah masuk dalam cara mereka bercanda tawa. Bekerja dengan ringan hati inilah yang aku rasakan. Aku dapat menikmati setiap pekerjaan baru yang diberikan padaku. Bukan hanya menyenai, tapi aku juga dapat belajar untuk merakit bike lift, oil driner, exhaust bike pipe, menggerinda, special tool dan mem-packingnya juga. Aku mendapat perutusan untuk mengirim barang ke Yamaha di Pulo Gadung dan ke Departermen Kelautan di Slipi bersama Pak Gito. Bike lift merupakan pekerjaan yang paling berat dan butuh waktu yang lama, tapi kini aku bersyukur karena aku tetap dapat menikmati perutusanku terutama dalam bekerja. Itulah pekerjaan yang selama ini kudapatkan. Tuhan berkarya melalui banyak cara.
Beberapa kali aku salut pada Pak Panggung yang dengan setia dan sabar, membimbing dan mengajar kami. Aku bahkan merasa takut kalau-kalau kehadiranku justru merusak kinerja mereka. Namun melihat ketulusan hati Pak Panggung, aku bersyukur karena dapat belajar dari apa yang menjadi pekerjaanku. Akupun juga pernah ditegur oleh Pak Heri, salah satu karyawan di assembling. Aku ditegur karena masuk ke WC tanpa melepas alas kaki (sepatu). Aku tidak merasa terpuruk karena kesalahanku, tapi aku justru tersenyum penuh rasa syukur karena dengan demikian aku dapat mengerti peraturan yang ada. Pernah suatu sore, aku melihat kembali peristiwa (teguran) itu. Dan aku bersyukur karena bisa belajar untuk menerima kritikan orang lain. Maka aku harus berbenah. Maka dari itu, aku berusaha menjalani peraturan dengan sebaik mungkin. Paling tidak, aku sudah dapat melepas sepatu dan meletakkannya pada rak yang ada ketika hendak ke kamar mandi. Kini, aku merasa bukan karena aku yang berhasil, melainkan ini juga keberhasilan Tuhan dalam membimbingku.
Akupun juga pernah ditegur oleh Pak Panggung untuk berani bertanya terutama bertanya mengenai bahan-bahan yang diperlukan. Bagiku, teguran-teguran seperti ini membantu diriku untuk bisa lebih peka. Dengan begitu, aku benar-benar merasakan bahwa aku ini bekerja bukan menunggu pekerjaan. Hingga pada akhirnya, aku kembali bersyukur karena aku ternyata dapat bekerja denan totalitas sehingga beberapa kali aku dan Mas Febry dapat menyelesaikan suatu pekerjaan lebih cepat dari jadwal sehingga kami dapat membantu teman yang lain. Akupun akhirnya merasa puas dengan apa yang menjadi hasil dari pekerjaanku dan Mas Febry. Meskipun tetap merasakan lelah, tapi rasa puas tetap mempengaruhi perasaan dalam diriku.
Menyenangkan juga aku dapat merasakan turun ke dunia umat yang sesungguhnya. Ya, inilah salah satu situasi kehidupan umat di KAJ. Aku bahkan merasakan keindahan dapat hidup apa adanya di tengah situasi umat KAJ. Yang terpenting adalah rasa syukurku karena bisa belajar banyak dari indahnya kehidupan di luar. Aku justru tertantang untuk tetap hidup sederhana dalam kelimpahan ‘harta’.
Kini telah kurasakan bagaimana penyertaan-Nya yang Dia berikan pada anak-anak-Nya sampai pada akhir zaman itu. Karena percaya atau tidak, aku sudah merasakannya sendiri! Aku merasakannya lagi!


[1] Kegiatan bekerja dan tinggal di luar seminari (Wisma Puruhita) selama sebulan menjadi buruh, kuli, ataupun pekerja  lainnya.
[2] Waktu  tidur siang di seminari
[3] Peziarahan batin dengan berjalan kaki sejauh  min. 80 Km.   

Pengalaman Akan Allah

PENGALAMAN AKAN ALLAH BERSAMA UMAT CILINCING
Oleh: Fr.Vincentius Budi Nahiba
                       

            Tak terasa hampir sembilan bulan saya sudah mencicipi pengalaman berpastoral (asistensi weekend) di Paroki Salib Suci,Cilincing. Banyak pengalaman suka, duka, sedih, dan senang yang saya alami selama berpastoral di sana. Saya teringat sewaktu hendak bertugas pertama kali di Cilincing. Di tengah jalan, dalam Metromini 07 (Senen-Semper), saya mengalami kecopetan. Seluruh uang dan berbagai surat penting hilang. Hanya tersisa uang dua ribu perak dalam kantong celana. Dengan uang dua ribu perak tersebut, saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki metromini lagi ke paroki. Begitu saya sampai di Gereja, saya menceritakan pengalaman kecopetan ini kepada Romo Paroki, Rm. Wahyu,CM.  Beliau mengucapkan ”Welcome to jungle, welcome to Salib Suci.”
            Pengalaman kecopetan itu merupakan ’inisiasi’ untuk memulai proses belajar berpastoral di Paroki Salib Suci. Paroki ini digembalakan oleh para pastor dari Congregatio Missio (CM) yang mempunyai semangat pelayanan dan kepedulian kepada orang miskin sesuai dengan kharisma pendiri Tarekat Misi ini–Santo Vincentius de Paulo. Hal ini tercermin dalam visi dan misi paroki yaitu : “Evangelizare Pauperibu Misit Me”- Aku diutus mewartakan Kabar Baik kepada Orang Miskin (Lukas 4:18). Oleh sebab itu, Paroki Salib Suci mempunyai corak khas dalam karya sosial yang sangat berbeda dengan paroki lain di Jakarta.
Di sana terdapat beberapa karya sosial yang dikelola oleh paroki (Atmabrata, Magdalena Group, Lumba-lumba) dan beberapa karya sosial lain yang dikelola oleh Tarekat biarawati (Suster OSF, Suster Putri Kasih, dan Suster Alma). Karya-karya sosial ini berkarya untuk melayani umat miskin, seperti pelayanan kesehatan, bimbingan belajar, orang cacat, dan pelatihan. Pelayanan karya sosial paroki ini tidak hanya melayani umat Katolik saja yang membutuhkan tetapi juga melayani masyarakat Cilincing yang non-Katolik seperti kaum nelayan, pemulung, buruh, dll.

Bersentuhan dengan Paguyuban Umat Beriman
            Dalam kuliah Eklesiologi semester yang lalu, saya sering mendengar kata Paguyuban umat Beriman. Ternyata di paroki ini Paguyuban umat beriman diejawantahkan dalam kegiatan paroki yang dijalankan oleh umat beriman. Ketika saya memulai bertugas, umat Salib Suci sedang mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Paroki Salib Suci (PSS) yang ke-34. Berbagai pertandingan dan perlombaan diadakan dalam rangka menyambut HUT paroki, seperti pertandingan olahraga antar wilayah (PSS CUP) untuk orang muda Katolik, perlombaan menggambar dan mewarnai untuk anak-anak bina iman, lomba kebersihan antar wilayah, bazaar, misa syukur, dan pesta rakyat. Dalam pesta rakyat, setiap lingkungan membawa makanan yang kemudian dibagikan secara bersama-sama untuk seluruh umat yang hadir. Rangkaian acara pesta syukur ini juga merupakan acara perpisahan dengan Pastor Paroki yang lama, yaitu Rm. Antonius Wahyuliana, CM.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan dalam acara HUT Paroki adalah ketika saya ditunjuk oleh panitia menjadi Juri dalam lomba kebersihan antar wilayah se-paroki. Saya melihat sendiri, umat setiap wilayah membawa peralatan kebersihan, seperti sekop, sapu lidi, kemoceng, dan segala perlengkapan kebersihan ke kompleks gereja. Baik anak-anak, remaja, dewasa, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek nenek berpartisipasi aktif dalam kegiatan lomba kebersihan. Setiap wilayah berlomba-lomba membersihkan area/daerah yang sudah ditetapkan oleh panitia. Mereka bekerja dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Seluruh umat bersatu dalam membersihkan kompleks gereja, baik dari kalangan umat yang mampu maupun yang sederhana bersatu-padu dalam wilayahnya masing-masing. Tercatat lebih dari 500 orang terlibat aktif membersihkan gereja.
Gereja milik bersama, itulah paguyuban umat beriman. Gereja bukan menjadi suatu hirarki saja, seluruh umat bersama pastor berperan aktif dalam kepedulian akan Gereja. Ini merupakan pengalaman pertama kali saya melihat begitu besar antusias partisipasi umat paroki dalam kegiatan bersama untuk memperhatikan lingkungan Gereja. Sekarang ini, di Jakarta, cukup sulit untuk menghimpun atau mengajak umat untuk berpartisipasi dalam membersihkan Gereja. Pengalaman umat Cilincing yang mempunyai sense of belonging dalam kehidupan Gereja itu menyadarkan diri saya bahwa saya sebagai calon imam KAJ perlu mempunyai rasa sense of belonging  kepada umat beriman.

Hadiah Natal Terindah
            Ada satu pengalaman berpastoral yang sangat meneguhkan panggilan saya sebagai calon imam KAJ yaitu ketika saya membagikan komuni suci kepada seorang ibu muda yang sedang terbaring sakit pada Hari Natal. Awalnya ada seorang bapak muda (hanya punya satu tangan) datang ke pastoran untuk bertemu dengan pastor paroki setengah jam sebelum Misa Malam Natal dimulai. Bapak tersebut melaporkan kepada romo bahwa isterinya sedang hamil tua dan sakit sehingga ia tidak bisa pergi ke gereja selama tiga minggu belakangan ini. Bapak tersebut memohon berkat air suci dan meminta agar dikirimkan komuni suci kepada istrinya. Romo mengatakan bahwa dia akan mengutus prodiakon untuk membagi komuni. Akan tetapi, prodiakon yang bertugas di wilayah Marunda Ujung tersebut sedang berhalangan. Mendengar hal itu, saya menawarkan diri kepada romo untuk membagikan komuni suci pada Hari Natal kepada ibu yang sedang sakit tersebut. Keesokan harinya, pada hari Natal siang, saya mengunjungi keluarga tersebut. Ketika saya sampai di sana, mereka menyambut saya  dengan penuh sukacita. Dari pengalaman tersebut, saya merasa Tuhan meneguhkan panggilan melalui perjumpaan dengan keluarga yang sangat sederhana ini. Pengalaman  berkunjung pada hari Natal dan membagi komuni suci kepada ibu yang sakit ini merupakan hadiah Natal yang terindah dari Tuhan kepada saya.

Peduli kepada orang kecil
            Ketika saya mengadakan kunjungan umat di lingkungan atau berbincang-bincang dengan umat setelah misa, saya sering berjumpa dengan umat yang mengalami kesulitan hidup. Ada umat yang mengeluh bahwa dia mengalami kesulitan dalam membeli susu untuk anaknya yang sakit, ada pula yang bercerita bahwa dia mengalami kesulitan untuk membayar uang sekolah dan uang kontrakan. Dalam hati, saya merasa sangat kasihan dan sedih dengan penderitaan umat tersebut. Terpikir oleh saya, apa yang bisa saya lakukan untuk mereka. Apakah saya harus menjadi seorang Sinterklas yang bisa membantu secara instan untuk meringan hidup mereka? Hal ini menjadi pergulatan hidup saya selama berasistensi di sana.
            Dalam pergulatan ini, saya teringat akan wejangan rohani dari Bapak Kardinal Julius Darmaatmaja dalam  retret akhir tahun para frater. Beliau berpesan agar jika kami melihat dan bersentuhan secara langsung dengan orang miskin di tengah jalan atau berjumpa dengan mereka, kita sebagai calon rohaniwan harus mendoakan mereka karena Allah hadir ditengah mereka. Dengan mendoakan mereka, kita mempunyai rasa empati dan simpati kepada orang kecil, lemah, dan tertindas. Pengalaman bertemu dengan pergulatan umat itu saya bawa dalam doa pribadi dan disatukan dalam korban Ekaristi yang kami rayakan setiap hari di seminari.  `Yesus hadir ditengah orang miskin` kata Bunda Teresa.

Refleksi
            Ketika saya mendapatkan tugas perutusan untuk berasistensi di Cilincing (pinggiran Utara Jakarta), saya sebenarnya agak kaget dan tidak mempunyai gambaran tentang paroki ini. Walaupun, saya sendiri berasal dari paroki dekenat Jakarta Utara (dekat daerah pusat bisnis). Saya bersyukur kepada Allah Bapa yang Mahabaik, karena selama di sana, saya merasa Tuhan selalu membimbing dan membentuk diri saya sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Sentuhan tangan Tuhan ini nyata saat menghadapi segala realitas kemiskinan, belajar hidup komunitas bersama para pastor CM (bersama Rm. Eko, CM dan Rm. Bani, CM serta frater Topper Fr.Wiwid, CM) dan mengalami Kasih Allah melalui pagayuban umat beriman di paroki ini. Saya pun diteguhkan dalam iman dan harapan lewat pengalaman kunjungan umat, pendampingan Legio Maria yunior, serta pengajaran anak-anak bina iman.
Paroki Salib Suci merupakan kawah candradimuka formasi panggilan sebagai calon imam KAJ. Di sana saya mengenal kenyataan akan ’Pengalaman akan Allah’ secara nyata dalam interaksi dengan umat beriman yang sederhana dan kecil namun mempunyai semangat untuk melayani Allah dengan tulus hati.