25 Mei 2012

Ekaristi dan Komunitas Kasih


EKARISTI  DAN  KOMUNITAS  KASIH

Oleh: JacobusTarigan, Pr



Umat menghadiri misa, khususnya pada hari Minggu, Dies Domini, bukan hanya karena kewajiban, tetapi lebih untuk memuliakan Allah, yang adalah kasih. Mereka bersyukur atas kasih karunia Allah yang dialami dalam hidup sehari-hari. Demikian juga umat mohon rahmat dan berkat untuk dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan contoh teladan dari Yesus Kristus, mencintai sesama sampai menyerahkan nyawaNya sendiri. Umat memang tidak tahu bahwa Ajaran Sosial Katolik merupakan bagian dari iman Katolik, tetapi mereka melaksanakannya. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja, seperti Solidaritas, Subsidiaritas, hormat terhadap kehidupan manusia dan lain-lain, sudah biasa dijalankan dalam masyarakat, hanya saja belum radikal dan mudah diselewengkan. Maka ketika misa, mereka mengharapkan homili dan Doa Umat sungguh-sungguh mempertegas prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja. Bahasa teologis eksklusif dari Ajaran Sosial Gereja, diharapkan oleh umat untuk diterjemahkan dengan bahasa sehari-hari. Dan banyak pastor berhasil menterjemahkannya dalam homili yang ringan, namun mendalam dengan contoh kehidupan sehari-hari. “Homili adalah bagian dari kegiatan liturgi dan dimaksudkan untuk memacu pemahaman yang lebih mendalam tentang Sabda Allah, sehingga dapat menghasilkan buah dalam kehidupan kaum beriman... Homili yang mentah dan abstrak hendaknya dihindari” (Sacramentum Caritatis, 46).
Dengan menimba kekuatan dari Perayaan Ekaristi, umat awam menjalani kehidupan keluarga dengan jatuh bangun. Hanya suami-isteri saling memberikan sakramen perkawinan. Maka dalam perjalanannya, perkawinan itu mengalami pasang-surut. Cinta yang minimal pada awal perkawinan berkembang menjadi maksimal, namun bisa saja merosot ke minimal lagi. Banyak krisis dialami suami-isteri : kesulitan ekonomi, biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan, pergaulan bebas dan lain-lain. Perkawinan bukan barang jadi yang instan, tetapi merupakan sebuah proses. Di kota besar seperti Jakarta, banyak suami-isteri lebih banyak waktu berada di luar rumah. Mungkin hanya Sabtu dan Minggu, mereka beristirahat. Tetapi dari Senin sampai dengan Jumat, sejak jam 5.00 pagi mengendarai sepeda motor, diterpa hujan dan angin, dihadang oleh kemacetan, resiko mendapatkan kecelakaan, dan pulang ke rumah sekitar jam 20.00. Di akhir bulan, mereka mendapatkan upah yang tidak mencukupi standar hidup minimal. Walaupun mendapatkan tantangan hidup yang tidak ringan, umat awam masih juga setia merayakan Ekaristi hari Minggu. Mereka berharap agar liturgi ditata dengan baik, indah, menarik, menyentuh, tidak bertele-tele. Demikian juga homili tidak menggurui mereka dengan nasihat-nasihat moralistis murahan tentang perkawinan. Oleh karena itu pastor perlu hati-hati dalam mempersiapkan homili tentang hidup berkeluarga. Pastoral perkawinan adalah mendampingi, bukan mengatur mereka yang menikah. Karena perkawinan pertama-tama adalah tanggungjawab suami-isteri. “Karena itupun para selibater (imam katolik, biarawan/biarawati) yang status sosio-ekonomis dan budaya agak tinggi jaranglah orang yang paling cocok untuk pastoral perkawinan dan keluarga. Mereka sukar mendapa empati mendalam yang perlu guna mendampingi perkawinan orang dengan status sosio-ekonomis dan budaya yang terlalu berbeda” (Dr. C. Groenen, OFM, 1993, Perkawinan Sakramental, Yogyakarta: Kanisius, hal. 418).
Perayaan Ekaristi tentu tidak selesai dengan “Ite Missa Est”. Umat diutus untuk menguduskan dan membangun dunia. Perutusan itu tidaklah muluk-muluk. Orang miskin selalu ada dan ada dimana-mana. Sering orang Jakarta beranggapan bahwa orang miskin ada di daerah, luar Jakarta. Padahal di Jakarta terdapat banyak orang miskin. Dalam parokipun terdapat banyak umat yang nyaris miskin. Misalnya mereka kehilangan pekerjaan sebagai supir angkot, metromini dan bus umum. Kehadiran “busway” menggusur kendaraan lainnya dan banyak supir katolik kehilangan pekerjaan. Mereka menghadapi kesulitan biaya kesehatan dan pendidikan anak. Dan kita melupakan mereka, sebagai sesama beriman katolik, dalam paroki yang sama. Hendaknya kita ingat, karya karitatif adalah karya khas Gereja, opus proprium. Paroki harus berbuat sesuatu untuk para supir katolik itu. Misalnya dalam misa bernuansa Imlek di paroki Pulo Gebang, 29 Januari 2012, kolekte secara khusus membantu keluarga para supir yang kehilangan pekerjaan. Memang jumlah uangnya tidak seberapa, namun itu merupakan tanda kehadiran gereja di tengah umat. “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).
Kita berbuat baik bagi sesama, bukan hanya karena kita diutus Ite Missa Est, tetapi setelah kita berbuat baik, kita kembali lagi merayakan Ekaristi. Kita berbuat baik berdasarkan iman kita pada Yesus Kristus, yang menampakkan wajah kasih Allah. Umat yang saling mengasihi satu sama lain dalam perbuatan nyata, akan memberikan makna yang lebih mendalam para perayaan Ekaristi. Melalui pelbagai program kegiatan konkret dari Seksi Sosial Paroki dan beberapa kegiatan karitatif lainnya, umat paroki sebagai komunitas akan merayakan Ekaristi semakin liturgis. Ekaristi menjadi semakin menarik, tidak hanya dengan menata upacara liturginya, tetapi justru harus diawali dengan adanya saling mengasihi diantara umat paroki. Bahkan dapat dikatakan, “Tanpa komunitas yang anggota-anggotanya saling mengasihi, tidak ada Ekaristi” (Keenan B. Osborne, OFM, 2008, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, hal. 17).
Umat diutus untuk membangun tatanan dunia yang lebih sejahtera dan adil. Kaum awam menyandang tugas khusus untuk menata masyarakat melalui karya mereka di bidang ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif, yudikatif dan kultural. Sejarah Negara Indonesia mencatat, orang Katolik selalu turut berperan aktif dalam membangun bangsa. Pahlawan I. J. Kasimo, sebagai salah satu contoh, patut diteladani. Ia memberikan inspirasi kepada kita dalam hal kejujuran dan keindonesiaan. Ia tidak berjuang hanya untuk suku Jawa tetapi bagi seluruh bangsa, “salus populi, suprematex”. Di tengah pluralisme agama dan budaya, Kasimo memperlihatkan bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik Indonesia merupakan bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. Namun sayangnya, pada hari ini kita sulit menemukan generasi muda Katolik sebagai pemimpin di bidang politik kemasyarakatan. Memang dengan menyandang predikat Katolik saja, tidak semua politisi Katolik berhasil menjadi pemimpin yang jujur. Ada juga yang terjebak dalam sikap kompromistis, plin-plan, dan oportunis. Lalu pemimpin macam apakah yang kita harapkan hari ini? “Seorang yang eksekutif, yang berani mengambil keputusan-keputusan strategis, memonitor keputusan-keputusan itu berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang diputuskan, bertindak tegas dengan kepentingan rakyat sebagai batu sendi dan batu penjuru tindakan-tindakannya. Memimpin itu konotasinya memerintah, tidak cukup dengan membuat pernyataan, tetapi sebagai pemimpin negara, memerintah berarti govern, memang tidak salah membuat pernyataan itu termasuk kegiatan memerintah” (St. Sularto (penyusun), 2011, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jacob Oetama, Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, hal. 527).
Untuk mewujudkan tugas perutusan secara realistis dan seimbang dalam tata dunia, hendaknya kaum awam sungguh mempelajari Ajaran Sosial Gereja. Ditegaskan beberapa prinsip dalam Ajaran Sosial Gereja, antara lain : penghargaan terhadap martabat manusia, hormat terhadap kehidupan manusia, kemerdekaan berserikat, hak untuk berpartisipasi, perhatian lebih kepada yang lemah dan miskin, Solidaritas, Subsidiaritas, kesetaraan martabat, kebaikan umum prinsip stewardship. Paham awal Ajaran Sosial Gereja telah dilaksanakan dalam Gereja Perdana yang dapat dibaca dalam Perjanjian Baru dan selanjutnya ditegaskan lagi sejak Paus Leo XIII. Menghadapi perubahan masyarakat dan tantangan zaman, dikeluarkan Ajaran Sosial Gereja oleh para paus. Banyak imam merintis pelaksanaan Ajaran Sosial Gereja dan banyak awam mempraktekkan Ajaran Sosial Gereja secara konsisten dan konsekuen di tempat kerja dan profesinya tanpa berkhotbah muluk-muluk. Sayangnya, banyak karya awam yang diinspirasi oleh Ajaran Sosial Gereja luput dari perhatian para imam, sehingga belum mendapatkan dukungan dan bimbingan. “Para Gembala Gereja hendaknya tak henti-hentinya mendukung, membimbing dan mendorong kaum beriman awam untuk menghayati sepenuhnya panggilan mereka kepada kekudusan dalam dunia ini, yang sedemikian dikasihi oleh Allah sehingga Ia menyerahkan PutraNya demi keselamatannya” (Sacaramentum Caritatis, no. 79).
Ekaristi dan komunitas kasih tak dapat dipisahkan. Bukan namanya komunitas ekaristis, kalau masih saja tetap ada kelompok kaya dan kelompok miskin dalam paroki dan dalam lingkungan sekitar. Tidak mungkin ada Ekaristi di dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengasihi. Rupanya kita masih dalam proses menuju Komunitas Ekaristi.