08 Mei 2012

WELCOME TO THE REAL WORLD


WELCOME TO THE REAL WORLD
-Fr. Reynaldo Anthoni H-

I. Pengantar
Judul di atas adalah ucapan selamat datang yang pada suatu kesempatan dikatakan oleh seorang kakak kelas saat saya akan memulai masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Pada awalnya, saya tidak mengerti maksud kalimat tersebut, namun seiring berjalannya masa TOP ini saya pun mulai memahaminya. Rangkaian tulisan refleksi ini akan menjelaskan arti dari ungkapan tersebut.
Seminari Wacana Bhakti dan Kolese Gonzaga adalah perhentian saya berikutnya. Di tempat ini, saya diutus menjadi sub-moderator di SMA Gonzaga bidang ekstrakurikuler dan Pamong seminaris kelas satu. Perutusan ini otomatis menuntut saya untuk konsentrasi di dua tempat dengan tantangannya yang khas.
Kedua tempat tersebut sedikit banyak sudah saya kenal. Karena saya pernah menjalani hidup di tempat ini selama 4 tahun (pada tahun 1998-2002). Memori-memori lama kembali muncul dan menggoda untuk dinikmati pada saat saya kembali menginjakkan kaki di tempat ini. Tapi, saya sadar bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dalam memori-memori masa lampau. Hiduplah untuk saat ini.

II. Seminari dan Gonzaga, Satu namun Berbeda
Seminari ini diresmikan pada tahun 3 November 1988 oleh Uskup Agung Jakarta saat itu, Leo Soekoto, SJ. Tujuan dari didirikan seminari ini adalah untuk menanggapi permintaan kaum muda katolik Jakarta yang merasa terpanggil untuk belajar dan mempersiapkan diri sebagai imam. Selain itu, seminari juga diselenggarakan untuk mendidik seminaris menjadi imam yang akan berkarya membangun Gereja setempat, khususnya Keuskupan Agung Jakarta.[1]
Pada awal tahun ajaran ini (2007-2008) jumlah seminaris seluruhnya ada 63 orang, yang terdiri dari dua puluh (20) orang KPP[2], sepuluh (10) orang kelas satu, delapan belas (18) orang kelas dua dan lima belas (15) orang kelas tiga; tanpa KPA.
Saya dipercaya untuk mendampingi seminaris kelas satu, yang jumlahnya paling sedikit dibanding angkatan lain. Awalnya saya mengira tidak akan mengalami banyak kesulitan karena jika dilihat dari segi jumlahnya saya yakin bisa lebih intensif mendampingi mereka satu persatu. Tapi ternyata kenyataannya berjalan berbeda.
Fokus pembinaan untuk seminaris kelas satu adalah “bangga sebagai seminaris”. Final goal mereka tahun ini adalah pengembangan pribadi yang dewasa dan utuh, melalui pengalaman, refleksi, aksi dan evaluasi. Mereka juga harus dapat memantapkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan pada tahun sebelumnya (ketika KPP) dengan mendalami hidup doa dan keheningan, serta mengatur waktu secara efektif dan efisien untuk studi dan kegiatan lainnya;[3] mengingat tahun ini adalah tahun pertama mereka sekolah bersama-sama dengan siswa/i Kolese Gonzaga.
Relasi dengan para seminaris memberikan suatu pengalaman tersendiri. Saya ingat betul saat pertama kali ditanya oleh Pater Rektor Seminari Tinggi, “Seandainya kamu TOP di seminari menengah, apa misimu?” Dengan mantap saya menjawab, “Saya mau jadi teladan yang baik bagi mereka”. Sekarang, ternyata apa yang saya katakan dulu itu benar-benar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan ekstra keras untuk menjadi teladan di antara orang-orang muda yang membutuhkan figur untuk dicontoh.
Cara yang paling jitu untuk menjadi teladan adalah hidup dengan otentik, di hadapan Allah maupun di depan orang lain. Hidup otentik berarti apa yang saya rasakan dalam hati, sama seperti yang saya ungkapkan keluar dalam perkataan dan tindakan. Perjuangan keras saya alami ketika harus merealisasikan antara apa yang saya nasihatkan kepada para seminaris dengan apa yang saya lakukan.
Seringkali proses teladan-meneladan menjadi tidak berjalan ketika kita tidak melakukan apa yang berulangkali kita nasihatkan kepada orang lain. Di sinilah seninya hidup yang sedang saya perjuangkan. Saya belajar untuk terus menerus berusaha merealisasikan hidup otentik itu, baik dalam private life maupun public life.
Selain itu, adalah hal yang mutlak perlu bahwa saya harus mengenal masing-masing dari mereka Seminaris Kelas Satu), baik kepribadian ataupun pergulatan yang mereka alami. Dari titik itulah saya bisa mengambil sebuah langkah pastoral yang harus dilakukan dalam pendampingan. Namun proses teladan-meneladan ini serigkali terbentur dengan kewajiban dan tugas saya di Seminari dan Gonzaga.
Saya memang harus mengakui bahwa ide teladan yang semu harus segera ditinggalkan. Tapi saya juga harus sadar bahwa saya bukanlah seminaris seminari menengah melainkan seorang frater TOP. Di satu sisi ada keinginan untuk terus menerus ada bersama dengan para seminaris dalam kegiatan studi, opera, acara komunitas dan sebagainya. Namun, kewajiban yang melekat pada diri akhirnya menuntut saya merelativir keinginan tersebut. Saya bisa frustasi di tempat ini kalau memaksa untuk melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan.

Konsep seminari terbuka
Salah satu ciri khas dari seminari ini adalah corak keterbukaannya. Seminari ini “membiarkan” para seminarisnya untuk belajar dan bergaul dengan anak remaja pada umumnya. Sejak kelas satu mereka sudah ditempatkan dalam satu kelas bersama dengan anak Gonzaga lainnya.[4] Pagi sampai siang hari mereka bersekolah, lalu setengah hari sisanya mereka habiskan dalam acara komunitas di seminari.
Konsep ini memiliki dua wajah dalam pelaksanaannya. Di satu sisi, seminaris sejak dini sudah dibiasakan untuk bergaul sewajarnya dan diharapkan mulai mengenal keprihatinan teman-teman sebayanya. Di sisi lain adalah sebuah tantangan besar bagi mereka untuk menjadi garam dan terang dunia di tengah teman-temannya. Namun, tak jarang justru merekalah yang digarami oleh anak-anak Gonzaga.
Hal tersebut terjadi karena para seminaris adalah anak-anak remaja juga, yang memiliki pergulatan mengenai identitas diri dan kelompok, kebebasan dan tanggung jawab. Situasi demikian menjadi tugas yang menantang. Saya harus terus menerus menanamkan kebanggaan identitas mereka sebagai seorang seminaris. Mereka adalah remaja yang “berbeda” dari kebanyakan remaja lainnya. Mereka dipanggil untuk berada dalam kehidupan yang unik dan menarik dengan segala dinamika pergulatannya. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika identitas mereka ini menjadi kabur hanya karena kehilangan orientasi saat mereka bergaul dengan teman-teman yang lainnya.

Di Gonzaga
Lain di seminari, lain di Gonzaga. Di sekolah saya berperan sebagai salah satu staf moderator (bid. Kesiswaan) secara umum, dan secara khusus bertanggung jawab atas proses ekstrakurikuler (ekskul). Saya berdiri dengan memanggul visi dan misi sekolah berhadapan dengan anak remaja dan segala gejolak kehidupannya. 
“Wah, ternyata begini toh kerjanya moderator”. Ungkapan itu muncul karena saat menjadi siswa SMA yang sama 5 tahun yang lalu, saya sama sekali tidak memikirkan apa-apa selain belajar. Yang saya tahu hanya beres saja. Padahal –ketika saya merasakan sendiri- moderator juga bisa prihatin ketika ada anak yang sering terlambat. Sedih, ketika menjadi guru melihat hasil nilai ulangan murid yang kurang baik. Gembira, jika muridnya mendapat nilai yang baik.
Di samping itu, yang paling menyakitkan hati adalah murid-murid berbicara menyakitkan di belakang. Ini adalah salib bagi saya, justru karena ketika saya berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi perkembangan diri mereka, tapi mereka melihatnya dari kacamata lain dan memprovokasi teman-temannya yang lain untuk melancarkan aksi tidak setuju atas kebijakan moderator.
Di tempat ini, saya melihat bahwa guru pun adalah seorang manusia biasa, yang mempunyai dinamika hidupnya sendiri. Mereka bisa sedih, senang, stress ketika membuat soal ujian dan memeriksa jawaban (paling tidak itu yang saya alami). Mereka juga bisa mengalami suasana hati yang buruk sehingga energi belajar di kelas dapat tersedot keluar.
Suasana belajar di SMA kali ini pun cukup mengherankan bagi saya. Kebanyakan murid senang sekali berkegiatan di luar kelas, seolah-olah aktivitas belajar dan suasana kelas menggerahkan bagi mereka.  Saya pun sempat berujar kepada diri saya sendiri, “Bagaimana ini, pelajar kok alergi belajar?” Suasana yang sangat berbeda dibandingkan ketika saya kuliah dulu, ketika ilmu dan studi menjadi sebuah kebutuhan dibanding tuntutan.
Pengalaman yang berkesan lagi adalah bahwa ketika menjadi moderator saya berada di tengah-tengah antara sekolah dan murid. Khususnya saat membahasakan kebijakan sekolah yang seringkali tidak bisa diterima oleh para murid. Apalagi berkaitan dengan masalah ekstrakurikuler dan uang hadiah hasil lomba yang selalu menimbulkan diskusi panjang di antara mereka. Di sana bisa dilihat seninya berpikir dewasa namun berbahasa dengan gaya yang bisa diterima anak muda.
Momen yang paling saya dambakan adalah ketika jam istirahat dan pulang sekolah. Saat itulah di mana banyak murid-murid keluar-masuk ruang moderator. Ada yang sekedar ngadem karena ruangan ini ber-AC. Ada pula yang duduk lama di ruang moderator karena menunggu dijemput atau sedang melakukan urusan kegiatan siswa. Para siswa inilah yang sering bercerita banyak hal, entah soal kehidupannya, pertanyaan-pertanyaan iman, pelajaran, sampai curhat soal guru-guru yang mengajar di kelas serta apa yang mereka harapkan dari sekolah dan para guru. Dari sana sedikit banyak saya bisa melihat dan merasakan keprihatinan anak muda jaman sekarang ini (tentunya sedikit berbeda dengan jaman saya dulu).

III. Komunitas baru, adaptasi baru
Selama bertahun-tahun di seminari saya selalu tinggal dalam sebuah komunitas yang terdiri dari teman-teman sebaya. Empat tahun saya hidup di seminari menengah dengan gaya khas remaja yang bebas, aktif, energik. Saat itu saya hidup dengan pola relasi yang dangkal, artifisial dan tampak kompak di luarannya saja. Lalu, ditambah dengan lima tahun di seminari tinggi, hidup dengan gaya yang tanggung, kadang dewasa, kadang masih seperti anak-anak remaja. Saya masih bergulat dengan identitas diri sebagai calon imam, terkadang slintat-slintut dan pola relasi dangkal. Tetapi, komunitas mulai bisa diajak untuk membangun relasi yang lebih dalam dengan sharing pergulatan panggilan, saling menguatkan, pola persahabatan yang sehat, dsb.
Semua itu telah berlalu dan sekarang saya masuk ke dalam komunitas yang jauh sangat berbeda. Saya tidak lagi bergaul dengan orang seumuran, melainkan dengan orang yang usianya jauh lebih tua dari saya, para romo dan bruder. Jumlahnya pun lebih kecil karena hanya ada 10 orang, yakni enam orang pastor, seorang bruder dan tiga orang frater (termasuk saya). Di antara mereka, sayalah yang memiliki usia yang paling muda.
Konsep mengenai pola relasi antara yang muda dan tua mempunyai permasalahan sendiri bagi saya. Ini bermula dari kisah masa lalu saya. Sejak kecil, ibu selalu menanamkan bahwa saya harus menaruh sikap hormat kepada orang yang lebih tua. Saya bisa menerima nasihat itu. Tetapi seiring dengan perlakukan keras yang pernah ditimpakan ibu kepada saya, sikap hormat itu lama-kelamaan bergeser menjadi sikap canggung dan segan terhadap mereka yang usianya jauh lebih tua.
Setiap kali mencoba berelasi dengan mereka yang jauh lebih tua, rasa segan itu muncul dan mengakibatkan sikap canggung yang berlebihan, komunikasi yang tidak lepas, sulit untuk memulai pembicaraan dan lain sebagainya. Sepertinya saat itu saya merindukan hadirnya orang ketiga – yakni teman-teman sebaya yang dapat membantu mencairkan suasana itu.
Melalui peristiwa ini saya berefleksi bahwa sayalah yang dituntut harus berubah. Pola sikap dan relasi saya masih mengikuti model komunitas saya yang sebelumnya, di mana sebagian besar adalah teman sebaya saya. Pola sikap dan relasi saya dalam komunitas sebelumnya masih terbawa ke dalam komunitas sekarang yang sama sekali berbeda. Hal tersebut sama seperti meletakkan anggur baru dalam kain yang lama. Kain lama itulah yang akan robek, sama seperti pola pikir saya yang akan diruntuhkan.
Dalam hal ini, bukan saya yang menjadi pusat dan semua yang di luar saya mengikuti keinginan saya, tetapi justru sayalah yang harus berusaha beradaptasi, belajar terbuka dan berani untuk masuk ke alam kehidupan yang lebih tinggi, yakni  relasi yang dewasa.
Refleksi inilah yang menjadi pegangan saya sampai sekarang ini. Saya sadar, karena bagaimana pun juga melalui komunitas inilah saya belajar dan mengenal kehendak Tuhan atas diri saya.          

IV. Penutup
Peristiwa-peristiwa di atas akhirnya membawa saya kepada pertanyaan yang paling penting: Makna apa yang Allah ingin sampaikan bagi perkembangan hidup panggilan saya sebagai calon imam KAJ?
Saya sendiri masih belum dapat menemukan jawaban yang pasti. Namun, saya menyadari bahwa Allah selalu mendampingi dalam setiap kegiatan. Ketika tantangan dan hambatan datang, Ia mengajak saya untuk bergulat[5] dan mencari kekuatan di balik itu semua. Syukur bahwa sampai saat ini saya masih berani dan berusaha untuk bergulat. Hal ini menandakan bahwa Allah masih menghendaki saya untuk hidup di jalan panggilan menuju imamat ini.

           


[1] Pedoman Pembinaan Seminari Wacana Bhakti, hlm. 7.
[2] Tahun 2007/2008 diterima 22 orang KPP baru. Namun, yang datang hanya 20 orang. Setelah itu pada pertengahan semester 1 orang mengundurkan diri.
[3] Pedoman, hlm. 21.
[4] Berbeda dengan apa yang saya alami dulu. Saat kelas satu dan kelas dua para seminaris masih ditempatkan khusus dalam satu kelas. Sedangkan mereka baru dicampur menurut jurusan mereka masing-masing (IPA/IPS) saat kelas tiga.
[5] Satu pesan yang selalu saya ingat dari pater unit saat masa filosofan: “Beranilah bergulat!”