WELCOME TO THE REAL WORLD
-Fr.
Reynaldo Anthoni H-
I. Pengantar
Judul di atas adalah ucapan selamat datang
yang pada suatu kesempatan dikatakan oleh seorang kakak kelas saat saya akan memulai
masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Pada awalnya, saya tidak mengerti maksud
kalimat tersebut, namun seiring berjalannya masa TOP ini saya pun mulai
memahaminya. Rangkaian tulisan refleksi ini akan menjelaskan arti dari ungkapan
tersebut.
Seminari Wacana Bhakti dan Kolese Gonzaga
adalah perhentian saya berikutnya. Di tempat ini, saya diutus menjadi
sub-moderator di SMA Gonzaga bidang ekstrakurikuler dan Pamong
seminaris kelas satu. Perutusan ini otomatis menuntut saya untuk konsentrasi di
dua tempat dengan tantangannya yang khas.
Kedua tempat tersebut sedikit banyak sudah saya
kenal. Karena saya pernah menjalani hidup di tempat ini selama
4 tahun (pada tahun 1998-2002). Memori-memori lama kembali muncul dan menggoda
untuk dinikmati pada saat saya kembali menginjakkan kaki di tempat ini. Tapi, saya
sadar bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dalam memori-memori masa lampau.
Hiduplah untuk saat ini.
II. Seminari dan Gonzaga, Satu namun Berbeda
Seminari ini diresmikan
pada tahun 3 November 1988 oleh Uskup Agung Jakarta saat itu, Leo Soekoto, SJ.
Tujuan dari didirikan seminari ini adalah untuk menanggapi permintaan kaum muda
katolik Jakarta yang merasa terpanggil untuk belajar dan mempersiapkan diri
sebagai imam. Selain itu, seminari juga diselenggarakan untuk mendidik
seminaris menjadi imam yang akan berkarya membangun Gereja setempat, khususnya
Keuskupan Agung Jakarta.[1]
Pada awal tahun ajaran
ini (2007-2008) jumlah seminaris seluruhnya ada 63 orang, yang terdiri dari dua
puluh (20) orang KPP[2],
sepuluh (10) orang kelas satu, delapan belas (18) orang kelas dua dan lima belas
(15) orang kelas tiga; tanpa KPA.
Saya dipercaya untuk
mendampingi seminaris kelas satu, yang jumlahnya paling sedikit dibanding
angkatan lain. Awalnya saya mengira tidak akan mengalami banyak kesulitan
karena jika dilihat dari segi jumlahnya saya yakin bisa lebih intensif
mendampingi mereka satu persatu. Tapi ternyata kenyataannya berjalan berbeda.
Fokus pembinaan untuk
seminaris kelas satu adalah “bangga sebagai seminaris”. Final goal mereka tahun ini adalah pengembangan pribadi yang dewasa
dan utuh, melalui pengalaman, refleksi, aksi dan evaluasi. Mereka juga harus
dapat memantapkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan pada tahun sebelumnya
(ketika KPP) dengan mendalami hidup doa dan keheningan, serta mengatur waktu
secara efektif dan efisien untuk studi dan kegiatan lainnya;[3] mengingat tahun
ini adalah tahun pertama mereka sekolah bersama-sama dengan siswa/i Kolese
Gonzaga.
Relasi dengan para
seminaris memberikan suatu pengalaman tersendiri. Saya ingat betul saat pertama
kali ditanya oleh Pater Rektor Seminari Tinggi, “Seandainya kamu TOP di
seminari menengah, apa misimu?” Dengan mantap saya menjawab, “Saya mau jadi
teladan yang baik bagi mereka”. Sekarang, ternyata apa yang saya katakan dulu
itu benar-benar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan
ekstra keras untuk menjadi teladan di antara orang-orang muda yang membutuhkan
figur untuk dicontoh.
Cara yang paling jitu untuk menjadi teladan
adalah hidup dengan otentik, di hadapan Allah maupun di depan orang lain. Hidup
otentik berarti apa yang saya rasakan dalam hati, sama seperti yang saya
ungkapkan keluar dalam perkataan dan tindakan. Perjuangan
keras saya alami ketika harus merealisasikan antara apa yang saya nasihatkan
kepada para seminaris dengan apa yang saya lakukan.
Seringkali
proses teladan-meneladan menjadi tidak berjalan ketika kita tidak melakukan apa
yang berulangkali kita nasihatkan kepada orang lain. Di sinilah seninya hidup
yang sedang saya perjuangkan. Saya belajar untuk terus menerus berusaha
merealisasikan hidup otentik itu, baik dalam private life maupun public
life.
Selain
itu, adalah hal yang mutlak perlu bahwa saya harus mengenal masing-masing dari
mereka Seminaris Kelas Satu), baik kepribadian ataupun pergulatan yang mereka
alami. Dari titik itulah saya bisa mengambil sebuah langkah pastoral yang harus
dilakukan dalam pendampingan. Namun proses teladan-meneladan ini serigkali
terbentur dengan kewajiban dan tugas saya di Seminari dan Gonzaga.
Saya
memang harus mengakui bahwa ide teladan yang semu harus segera ditinggalkan. Tapi
saya juga harus sadar bahwa saya bukanlah seminaris seminari menengah melainkan
seorang frater TOP. Di satu sisi ada keinginan untuk terus menerus ada bersama
dengan para seminaris dalam kegiatan studi, opera, acara komunitas dan
sebagainya. Namun, kewajiban yang melekat pada diri akhirnya menuntut saya
merelativir keinginan tersebut. Saya bisa frustasi di tempat ini kalau memaksa
untuk melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan.
Konsep seminari terbuka
Salah
satu ciri khas dari seminari ini adalah corak keterbukaannya. Seminari ini
“membiarkan” para seminarisnya untuk belajar dan bergaul dengan anak remaja
pada umumnya. Sejak kelas satu mereka sudah ditempatkan dalam satu kelas
bersama dengan anak Gonzaga lainnya.[4] Pagi sampai siang hari mereka bersekolah, lalu setengah hari sisanya
mereka habiskan dalam acara komunitas di seminari.
Konsep
ini memiliki dua wajah dalam pelaksanaannya. Di satu sisi, seminaris sejak dini
sudah dibiasakan untuk bergaul sewajarnya dan diharapkan mulai mengenal keprihatinan
teman-teman sebayanya. Di sisi lain adalah sebuah tantangan besar bagi mereka
untuk menjadi garam dan terang dunia di tengah teman-temannya. Namun, tak
jarang justru merekalah yang digarami oleh anak-anak Gonzaga.
Hal
tersebut terjadi karena para seminaris adalah anak-anak remaja juga, yang
memiliki pergulatan mengenai identitas diri dan kelompok, kebebasan dan
tanggung jawab. Situasi demikian menjadi tugas yang menantang. Saya harus terus
menerus menanamkan kebanggaan identitas mereka sebagai seorang seminaris.
Mereka adalah remaja yang “berbeda” dari kebanyakan remaja lainnya. Mereka
dipanggil untuk berada dalam kehidupan yang unik dan menarik dengan segala
dinamika pergulatannya. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika identitas
mereka ini menjadi kabur hanya karena kehilangan orientasi saat mereka bergaul
dengan teman-teman yang lainnya.
Di Gonzaga
Lain di seminari, lain
di Gonzaga. Di sekolah saya berperan sebagai salah satu staf moderator (bid.
Kesiswaan) secara umum, dan secara khusus bertanggung jawab atas proses ekstrakurikuler
(ekskul). Saya berdiri dengan memanggul visi dan misi sekolah berhadapan dengan
anak remaja dan segala gejolak kehidupannya.
“Wah, ternyata begini
toh kerjanya moderator”. Ungkapan itu muncul karena saat menjadi siswa SMA yang
sama 5 tahun yang lalu, saya sama sekali tidak memikirkan apa-apa selain
belajar. Yang saya tahu hanya beres saja. Padahal –ketika saya merasakan
sendiri- moderator juga bisa prihatin ketika ada anak yang sering terlambat.
Sedih, ketika menjadi guru melihat hasil nilai ulangan murid yang kurang baik.
Gembira, jika muridnya mendapat nilai yang baik.
Di samping itu, yang
paling menyakitkan hati adalah murid-murid berbicara menyakitkan di belakang. Ini
adalah salib bagi saya, justru karena ketika saya berusaha untuk memberikan
yang terbaik bagi perkembangan diri mereka, tapi mereka melihatnya dari
kacamata lain dan memprovokasi teman-temannya yang lain untuk melancarkan aksi
tidak setuju atas kebijakan moderator.
Di tempat ini, saya melihat
bahwa guru pun adalah seorang manusia biasa, yang mempunyai dinamika hidupnya
sendiri. Mereka bisa sedih, senang, stress ketika membuat soal ujian dan
memeriksa jawaban (paling tidak itu yang saya alami). Mereka juga bisa
mengalami suasana hati yang buruk sehingga energi belajar di kelas dapat
tersedot keluar.
Suasana
belajar di SMA kali ini pun cukup mengherankan bagi saya. Kebanyakan murid
senang sekali berkegiatan di luar kelas, seolah-olah aktivitas belajar dan
suasana kelas menggerahkan bagi mereka. Saya pun sempat
berujar kepada diri saya sendiri, “Bagaimana ini, pelajar kok alergi belajar?” Suasana yang sangat berbeda dibandingkan
ketika saya kuliah dulu, ketika ilmu dan studi menjadi sebuah kebutuhan
dibanding tuntutan.
Pengalaman yang berkesan
lagi adalah bahwa ketika menjadi moderator saya berada di tengah-tengah antara
sekolah dan murid. Khususnya saat membahasakan kebijakan sekolah yang
seringkali tidak bisa diterima oleh para murid. Apalagi berkaitan dengan
masalah ekstrakurikuler dan uang hadiah hasil lomba yang selalu menimbulkan
diskusi panjang di antara mereka. Di sana bisa dilihat seninya berpikir dewasa
namun berbahasa dengan gaya yang bisa diterima anak muda.
Momen yang paling saya
dambakan adalah ketika jam istirahat dan pulang sekolah. Saat itulah di mana
banyak murid-murid keluar-masuk ruang moderator. Ada yang sekedar ngadem karena ruangan ini ber-AC. Ada
pula yang duduk lama di ruang moderator karena menunggu dijemput atau sedang
melakukan urusan kegiatan siswa. Para siswa inilah yang sering bercerita banyak
hal, entah soal kehidupannya, pertanyaan-pertanyaan iman, pelajaran, sampai
curhat soal guru-guru yang mengajar di kelas serta apa yang mereka harapkan
dari sekolah dan para guru. Dari sana sedikit banyak saya bisa melihat dan
merasakan keprihatinan anak muda jaman sekarang ini (tentunya sedikit berbeda
dengan jaman saya dulu).
III. Komunitas baru, adaptasi baru
Selama bertahun-tahun di
seminari saya selalu tinggal dalam sebuah komunitas yang terdiri dari
teman-teman sebaya. Empat tahun saya hidup di seminari menengah dengan gaya
khas remaja yang bebas, aktif, energik. Saat itu saya hidup dengan pola relasi
yang dangkal, artifisial dan tampak kompak di luarannya saja. Lalu, ditambah
dengan lima tahun di seminari tinggi, hidup dengan gaya yang tanggung, kadang
dewasa, kadang masih seperti anak-anak remaja. Saya masih bergulat dengan
identitas diri sebagai calon imam, terkadang slintat-slintut dan pola
relasi dangkal. Tetapi, komunitas mulai bisa diajak untuk membangun relasi yang
lebih dalam dengan sharing pergulatan panggilan, saling menguatkan, pola
persahabatan yang sehat, dsb.
Semua itu telah berlalu
dan sekarang saya masuk ke dalam komunitas yang jauh sangat berbeda. Saya tidak
lagi bergaul dengan orang seumuran, melainkan dengan orang yang usianya jauh
lebih tua dari saya, para romo dan bruder. Jumlahnya pun lebih kecil karena
hanya ada 10 orang, yakni enam orang pastor, seorang bruder dan tiga orang
frater (termasuk saya). Di antara mereka, sayalah yang memiliki usia yang
paling muda.
Konsep mengenai pola
relasi antara yang muda dan tua mempunyai permasalahan sendiri bagi saya. Ini
bermula dari kisah masa lalu saya. Sejak kecil, ibu selalu menanamkan bahwa
saya harus menaruh sikap hormat kepada orang yang lebih tua. Saya bisa menerima
nasihat itu. Tetapi seiring dengan perlakukan keras yang pernah ditimpakan ibu
kepada saya, sikap hormat itu lama-kelamaan bergeser menjadi sikap canggung dan
segan terhadap mereka yang usianya jauh lebih tua.
Setiap kali mencoba
berelasi dengan mereka yang jauh lebih tua, rasa segan itu muncul dan
mengakibatkan sikap canggung yang berlebihan, komunikasi yang tidak lepas,
sulit untuk memulai pembicaraan dan lain sebagainya. Sepertinya
saat itu saya merindukan hadirnya orang ketiga – yakni teman-teman sebaya yang
dapat membantu mencairkan suasana itu.
Melalui
peristiwa ini saya berefleksi bahwa sayalah yang dituntut harus berubah. Pola
sikap dan relasi saya masih mengikuti model komunitas saya yang sebelumnya, di
mana sebagian besar adalah teman sebaya saya. Pola sikap dan relasi saya dalam
komunitas sebelumnya masih terbawa ke dalam komunitas sekarang yang sama sekali
berbeda. Hal tersebut sama seperti meletakkan anggur baru dalam kain yang lama.
Kain lama itulah yang akan robek, sama seperti pola pikir saya yang akan
diruntuhkan.
Dalam
hal ini, bukan saya yang menjadi pusat dan semua yang di luar saya mengikuti
keinginan saya, tetapi justru sayalah yang harus berusaha beradaptasi, belajar
terbuka dan berani untuk masuk ke alam kehidupan yang lebih tinggi, yakni relasi yang dewasa.
Refleksi
inilah yang menjadi pegangan saya sampai sekarang ini. Saya sadar, karena
bagaimana pun juga melalui komunitas inilah saya belajar dan mengenal kehendak
Tuhan atas diri saya.
IV. Penutup
Peristiwa-peristiwa
di atas akhirnya membawa saya kepada pertanyaan yang paling penting: Makna apa
yang Allah ingin sampaikan bagi perkembangan hidup panggilan saya sebagai calon
imam KAJ?
Saya
sendiri masih belum dapat menemukan jawaban yang pasti. Namun, saya menyadari
bahwa Allah selalu mendampingi dalam setiap kegiatan. Ketika tantangan dan
hambatan datang, Ia mengajak saya untuk bergulat[5] dan mencari kekuatan di balik itu semua. Syukur bahwa sampai saat ini
saya masih berani dan berusaha untuk bergulat. Hal ini menandakan bahwa Allah
masih menghendaki saya untuk hidup di jalan panggilan menuju imamat ini.
[2] Tahun 2007/2008 diterima 22 orang
KPP baru. Namun, yang datang hanya 20 orang. Setelah itu pada pertengahan
semester 1 orang mengundurkan diri.
[4] Berbeda dengan apa yang saya alami
dulu. Saat kelas satu dan kelas dua para seminaris masih ditempatkan khusus dalam
satu kelas. Sedangkan mereka baru dicampur menurut jurusan mereka masing-masing
(IPA/IPS) saat kelas tiga.
1 komentar:
Salken
Posting Komentar