25 Mei 2012

Spiritualitas Transformatif


Spiritualitas Transformatoris
(Sebuah Pemaknaan Ekaristi sebagai Sakramen Keselamatan)[1]
Oleh: Diakon Prasetyo Handoyo Wicaksono

Pengantar
Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah kesempatan, seorang teman tiba-tiba menyeletuk kepada saya. Ia mengagumi kehebatan perekrut orang-orang yang mau menjadi pelaku bom bunuh diri. Dalam waktu yang sangat singkat, sang perekrut pengantin (istilah untuk orang yang siap menjalankan aksi bunuh diri), berhasil merubah cara berpikir, cara pandang, dan cara bertindak seseorang untuk meyakini suatu paham tertentu. Sang pengantin pun rela meninggalkan cara hidupnya yang lama hingga menyerahkan seluruh kehidupannya demi keberhasilan aksi bom bunuh diri tersebut. Sebuah tindakan yang barangkali dalam tataran pikiran kita terlihat sangat bodoh, namun baginya mampu dihayati sebagai tindakan yang bernilai luhur.
Tema ini seolah menyentak kami berdua. Betapa luar biasa daya transformasi yang ditularkan sang perancang peledakan bom ini, sehingga daya internalisasinya dapat tertanam begitu kuat. Sebuah pola yang sama nampaknya dapat diterapkan di dalam suatu pola pembinaan yang berlangsung pada sebuah lembaga yang bercorak keagamaan atau bahkan di dalam katekese dan pewartaan ajaran suatu agama. Namun yang membedakan nampaknya terletak pada metode yang digunakan sehingga orang dalam waktu yang singkat mampu mengarahkan keseluruhan hidup.
Kami pun tiba-tiba juga teringat akan Ekaristi yang menjadi puncak perayaan iman Katolik. Sudah tidak terhitung, berapa banyak perayaan Ekaristi yang telah kami ikuti. Kami pun kemudian bertanya-tanya, sejauh mana Perayaan Ekaristi telah membentuk dan memberikan anugerah dalam diri saya. Sebab jika Perayaan yang kami rayakan setiap hari hanya sebatas perayaan saja, bagaimana dengan sebagian besar umat yang hanya merayakan pada hari minggu saja? Maka dalam tulisan ini, saya mencoba melihat sisi transfomasi dari ekaristi di dalam kehidupan umat beriman.

Ekaristi Sebagai Puncak Kebersamaan dengan Tuhan dan Sesama
Manusia memiliki kerinduan untuk hidup bersatu dengan Tuhan dan sesama. Kebersamaan dengan Allah dan manusia mencapai kepenuhannnya dalam diri Yesus Kristus. Melalui Gerejalah kehadiran Yesus bagi dunia ditampakkan. Kehadiran Yesus Kristus dan karya penebusan ditampakkan dan dihadirkan secara meriah oleh Gereja di dalam ekaristi. Di dalam Perayaan Ekaristi, seluruh misteri Kehidupan bersama dengan Allah dan manusia yang mengalami kepenuhannya dalam Kristus  dirayakan dan dihadirkan bagi umat beriman.[2]
Perayaan ekaristi menjadi  sumber dan puncak kehidupan umat beriman Kristiani (LG 11,KHK Kan. 849). Dalam perayaan ekaristi itu, semua kegiatan yang lain memperoleh sumber rahmat dan kekuatannya sekaligus terarah kepadanya. Di dalam Ekaristi Yesus hadir dan bertindak bersama dan dengan Gereja. Melalui perayaan Ekaristi ini, peristiwa pertemuan dan kebersamaan antara Allah dan manusia melalui Kristus mengalami puncak dalam hal pengungkapan dan pelaksanaannya. Di sinilah Gereja menampakkan hakekatnya sebagai sakamen kebersamaan dengan Kristus (SC 2).
 Misteri Ekaristi ialah misteri Tuhan yang menjadi santapan bagi seluruh umat manusia. Manusia pun bersekutu dengan Tuhan dan sesama. Allah sendiri yang masuk secara langsung ke dalam hidup manusia. Allah mendatangi umatNya dalam rupa makanan dan minuman yang disantap, dalam rupa roti dan anggur. Dengan menerima santapan baru di dalam tubuhnya, hidup manusia memperoleh suatu kesegaran baru. Tuhan masuk ke hidup manusia sampai pada bagian yang paling dalam agar manusia bersatu dan bersama Dia, untuk selanjutnya berani berjuang dalam hidup sehari-hari berkat penyertaanNya yang merangkum dan meliputi semua itu.Kehadiran Allah yang sungguh nyata begitu mendapat tempatnya di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi menghadirkan karya penyelamatan Allah.
Di sinilah ekaristi memperlihatkan relasi yang kuat akan Kehadiran Yesus yang berbelas kasih dan mengundang semua orang dalam persaudaraan serta persekutuan denganNya. Pemberian diri Yesus yang sehabis-habisnya melalui wafatnya di kayu salib menjadi segi yang paling pokok dalam Perjamuan Ekaristi. Dan akhirnya Perayaan Ekaristi mengungkapkan kebersamaan dengan Yesus yang bangkit. Dengan demikian semakin jelas di sini bahwa Perayaan Ekaristi memperlihatkan kehadirian Allah dalam diri Yesus yang sungguh nyata. Kehadiran itu tidak diperlihatkan hanya dalam salah satu sisi hidupnya saja melainkan keseluruhannya.Perjumpaan Allah dengan manusia di dalam ekaristi bukanlah sebuah pertemuan yang terjadi secara kebetulan. Perjumpaan ini dilandaskan atas dasar cinta yang murni. Di dalam Ekaristi, perjumpaan terjadi karena adanya inisiatif yang berasal dari Allah. Inisiatif dari Allah tersebut kemudian ditanggapi oleh pihak manusia.
Adanya perjumpaan yang didorong oleh cinta yang mendalam, seharusnya menggetarkan hati kita untuk menyampaikan sikap yang serupa. Kita, yang senantiasa merayakannya, selayaknya memiliki sikap yang terarah pada pengurbanan yang serupa kepada sesama.  Kita pun ditantang untuk masuk dalam pertanyaan, Apa yang selanjutnya dapat kita persembahkan? Melalui tubuh kita, kita persembahkan segala hal yang membentuk hidup jasmani kita: waktu, kesehatan, kekuatan, keahlian, perasaan-perasaan kita, segala hal yang selama ini kita anggap bernilai. Melalui ‘darah’ kita mempersembahkan kerendahan hati, kegagalan dalam hidup, penyakit-penyakit yang sedang menggerogoti hidup kita, keterbatasan-keterbatasan yang kita alami dan semua hal yang ‘mematikan‘ kita. yang terpenting di sini adalah persembahan seluruh kehendak dan pikiran kita.
Sakramen pada dasarnya muncul sebagai suatu pertemuan antara Allah, yang datang kepada manusia, dan manusia yang naik kepada Allah.[3] Hal inilah yang membuat sakramen tidak tinggal sebagai sebuah karya monumental dan sekedar rumusan kosong saja. Tanggapan manusia menjadi suatu tuntutan atas tawaran Allah itu. Sakramen menjadi sungguh berbuah dalam hati manusia hanya dalam penerimaan manusia yang rendah hati
Jelaslah bahwa di sini sakramen bukanlah hanya sebuah ritus. Sakramen akan mengalami kepenuhan dalam pengandaian terdapat hidup yang terbuka kepada Allah. Boff mengungkapkan bahwa bagian esensial dari sebuah sakramen adalah suatu proses menjalani pertobatan dan mencari Allah.[4] Hal yang sama nampaknya dapat kita kenakan terhadap ekaristi sebagai sebuah sakramen. Kurban Kristus di dalam ekaristi harus membawa pertobatan bagi manusia yang menyantapnya. Maka sebenarnya kita harus melihat sakramen secara lebih dinamis. Dengan kata lain, sakramen tidak terbatas pada sebuah ritus yang sedang dijalankan. Dalam tangan yang menyambut uluran rahmat Allah pun dibutuhkan sebuah hati, sehingga dimampukan juga untuk masuk dan juga dipersatukan dalam sebuah perayaan. Dengan kata lain, kita yang masuk dalam perayaan kurban, harus siap pula menjalani kurban yang sama, menghidupkan iman Kristen dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Yesus. Pengalaman sedih, sengsara, dan derita serta segala hal yang kita anggap sebagai kemalangan dalam hidup akan menjadi suatu hal yang biasa. Kita yang secara rutin mempersiapkan diri untuk merayakan Ekaristi, seharusnya menjadikan ekaristi sebagai sebuah ungkapan yang hidup dari sebuah suatu kehidupan yang diterangi iman.
Sakramen sebagai Sakramen selalu mengandung sebuah komitmen untuk mengubah praksis hidup seseorang. Perayaan ekaristi mengandung pula sebuah tuntutan pertobatan. Maka jika di dalam Ekaristi seseorang menerima komuni (comunio = persekutuan), unsur-unsur comunio juga harus tampak dalam komunitas di mana mereka hidup. Bagaimana mungkin komuni yang mereka rindukan dengan penuh pengharapan dalam Ekaristi dapat terwujud jika dalam kehidupan luar kita yang tampak adalah sikap saling memusuhi satu sama lain, memperlakukan orang dengan tidak adil? Komuni yang diterima dalam Ekaristi pun akan menjadi hambar. Apa yang dialami dalam Ekaristi menuntut praksis dalam kehidupan. “Perwujudan” Allah mengandaikan kerjasama dengan manusia.
Dengan demikian, setelah mengikuti Ekaristi, saya tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh terhadap saudaraku yang lain. Apa gunanya kita mempersembahkan suatu persembahan jika kita sendiri belum berdamai dengan saudara kita yang lain ( bdk. Mat 5:23-26)? Penolakkan terhadap saudaraku menyimpan makna bahwa saya pun menolak Kristus dan memisahkan diriku dari persatuan tersebut. Kristus yang kita terima dalam komuni adalah Kristus yang sama dan tak terbagi yang diterima oleh orang di sampingku. Ia mempersatukan kita satu sama lain dengan mempersatukan kita di dalam diriNya(bdk. Kis 2:42). Ekaristi menguatkan kehidupan dan hidup yang kita jalani sendiri adalah kehidupan di tengah dunia di mana kita sendiri menerima dan memberikan hidup. Hidup orang Kristen haruslah mampu dipadankan dengan nilai-nilai injil, membiarkan sabda Allah berbicara kepada kita. Kabar gembira harus dapat diwartakan melalui hidup kita sehingga injil menjadi warta kehidupan.

Akhir Kata ….
Terkadang bagi kita yang dapat secara rutin dapat ikut merayakan dan menghadiri Perayaan Ekaristi, nilai dan makna terdalam dari perayaan tersebut tidak dapat lagi kita rasakan. Kerinduan akan perjumpaan dengan Kristus tidak dapat kita rasakan secara mendalam. Ada bahaya bahwa kita merayakan dan ikut Ekaristi hanya ‘sekenanya’, tanpa persiapan. Atau bahkan bersikap kompromis jika tidak bisa mengikuti perayaan Ekaristi.
Saya teringat akan pengalaman seseorang yang suatu ketika mengatakan merasa ‘pusing’, kosong, dan hidup menjadi berantakan karena sudah hampir setahun tidak bisa menyambut komuni di dalam perayaan Ekaristi berhubung permasalahan yang sedang dialaminya. Saya pun teringat pula pada pengalaman ketika masa awal ‘belajar berpastoral’ di sebuah paroki di Kalimantan. Seorang umat dari sebuah stasi secara mengejutkan menghampiri saya, “ Kenapa frater sudah lama tidak sembayang di tempat kami? Kami sudah lama tidak menyambut roti.” Sapaan kecil dari bapak tersebut saya pandang sebagai ungkapan kerinduan akan perjumpaan dengan Tuhan. Maka suatu hal yang menggembirakan bagi mereka jika ada Pastor, frater, suster atau bahkan katekis yang memimpin mereka sembayang dan membagi komuni, syukur jika bisa mengadakan ekaristi. Mereka akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dan setelah ibadat atau misa biasanya kami berkumpul bersama umat di dalam rumah panjang. Suatu pengalaman yang mengesankan. Dua pengalaman tersebut seolah mengingatkan saya kembali betapa bersyukurnya saya masih dapat merasakan ekaristi setiap hari. Di sisi lain menjadi tantangan untuk senantiasa memaknai dengan sungguh setiap kali mengikuti perayaan ekaristi.
Ekaristi tidak berakhir pada saat komunitas yang berkumpul menyanyikan ayat terakhir dari lagu penutup misa. Ekaristi berakhir pada sebuah perutusan. Kita dipanggil dan diutus membawa warta keselamatan Allah kepada sesama. Spiritualitas Ekaristi bukan merupakan sebuah spiritualitas yang hanya memperhatikan kedalaman batin.  Spiritualitas itu harus membawa kita melihat ke dalam Komunitas Kristiani itu sendiri. Ekaristi hanya tetap akan menjadi sebuah perayaan yang tak menghasilkan apapun jika tidak mampu membawa kita pada jiwa sebagai murid yang diutus untuk membangun kasih di dalam komunitas hidup Kristini.
Ekaristi tidak akan berarti apa-apa jika tidak membentuk sikap untuk saling mengasihi kepada sesamanya. Ekaristi tidak akan bermakna apa-apa jika diri kita senantiasa diliputi rasa dendam dan benci. Sabda Allah yang kita dengar dalam Ekaristi akan terasa sungguh kering jika hati kita tetap tertutup terhadap keberadaan orang lain di sekitar kita. Transformasi Ekaristi hanya mungkin terjadi di dalam sebuah komunitas yang saling mengasihi, dan di dalam komunitas yang saling mengasihi itulah karya keselamatan Allah mengungkapkan kehadirannya yang nyata (bdk.1Kor 11:21-22).

      
Disarikan dari beberapa Sumber
Boff, Leonardo, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta: Penerbit OBOR, 2007
Bremen, P.V.,SJ, ( Terj. A. Soenarja, SJ), Bagaikan Roti diremah, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Catalamesa, Raniero (Terj.N.J. Boumas, SVD dkk.), Ekaristi Gaya Pengudusan Kita, Ende: Nusa Indah , 1992.
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika2, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Osborne, Kenan B, OFM, (terj. Hartono Budi, SJ dkk.), Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2008




[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dengan beberapa tambahan dari paper yang pernah dibuat pada mata kuliah seminar “Ekaristi dan Transformasi Hidup”.
[2] Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hlm. 266.
[3] Lih. Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta: Penerbit OBOR, 2007, hlm.131.
[4] Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen,hlm. 131