08 Mei 2012

Saya, Tambal Ban, dan Seminari


Saya, Tambal Ban, dan Seminari
Fr. Wahyu Kristian Wijaya

Nama saya Wahyu Kristian Wijaya. Saya berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di daerah Prambanan, sebuah kota di Jawa Tengah. Saya dua bersaudara. Adik saya bernama Wahyu Dwi Kristianto. Ayah bekerja di bengkel sepeda ontel sedangkan ibu membuka warung rokok dan sembako. Sejak kecil, saya sudah diajarkan untuk hidup mandiri. Ketika TK, saya sudah berangkat sekolah sendiri dengan jalan kaki dan SD juga demikian. Saat kelas empat SD, saya sudah mulai membantu ayah bekerja di bengkel. Pada mulanya, hanya mengantar makan siang, tapi lama-lama saya mulai membantu menambal ban sepeda. Kegiatan ini saya lakukan setelah pulang sekolah hingga sore setiap hari. Melalui kegiatan harian tersebut, nilai-nilai kebaikan mulai ditanamkan dalam diri saya, entah dengan membantu orang lain ataupun dengan tekun bekerja keras pada pekerjaan dan pelajaran di sekolah.
Sedari kecil, saya diajak ke gereja bersama dengan naik sepeda ontel. Jarak gereja dari rumah lebih dari 10 km. Kata orang tua saya, waktu masih kecil saya di gereja sering jalan-jalan. Bersamaan dengan itu pula, dalam keluarga, kehidupan doa saya mulai ditanamkan sejak kecil dengan berdoa sebelum dan sesudah makan, akan tidur dan bangun tidur, dan belajar. Ketika duduk di bangku SMP, saya mulai aktif di kegiatan misdinar. Pada waktu kelas dua, saya menjadi ketua misdinar. Pada saat itulah, saya merasa tertarik dan terpanggil untuk menjadi imam.
Suatu ketika, di paroki saya akan ada perayaan ekaristi pada pukul 21.00. Akan tetapi, pada waktunya, Romo yang memimpin misa belum datang dan ia terlambat hingga setengah jam. Perayaan ekaristi pun berjalan dengan tidak lancar. Homili ditiadakan dengan alasan Romo mengalami kelelahan. Pada saat melihat kejadian Romo yang mengalami kelelahan tersebut, sya bertanya,“ kok sampai kayak gini?“ Situasi macam itu makin menggerakkan saya untuk menjadi imam. Namun, saya tidak mengutarakan keinginan ini kepada orang tua; mengingat, saya masih dibutuhkan dalam keluarga dengan bekerja di bengkel untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suatu ketika, saya juga pernah dimarahi karena terlalu sering ke gereja sehingga perkerjaan di bengkel menjadi tidak terurusi. Saat itu, saya semakin sadar betapa pentingnya membantu orang tua khususnya bekerja. Dan, sampai masa belajar saya di STM, saya masih membantu bekerja setelah pulang sekolah.
Pada saat lulus STM, saya pergi ke Jakarta karena mendapat pekerjaan. Pada saat bekerja, keinginan untuk menjadi imam masih terus hidup dan saya membinanya dengan mengadakan bimbingan rohani pada seorang pastor di paroki Arnoldus Bekasi. Pada tahun 2004, saya mengutarakan keinginan saya untuk menjadi imam kepada keluarga. Saya merasa sudah dewasa dan adik saya sudah bisa membantu ayah bekerja di bengkel sehingga “saya sudah tidak dibutuhkan lagi “dalam hal bekerja di rumah. Namun, jawaban atau tanggapan dari keluarga, khususnya ibu dan adik begitu pasif. Hanya ayah yang merestui saya. Konsekuensinya, saya harus mengundur waktu untuk masuk seminari.
Dalam perjalanan selanjutnya, saya terus mengadakan bimbingan rohani dengan Pastor Lusius Sari Uran SVD, Pastor Paroki Arnoldus Bekasi. Dalam bimbingan, saya disarankan untuk menyakinkan ibu agar mengijinkan saya masuk seminari. Karena, jika ibu tidak mengijinkan saya, hal ini bisa menjadi beban di masa mendatang. Saya bersyukur karena ayah berusaha menyakinkan ibu dan adik saya supaya memperbolehkan saya masuk seminari dan menjadi imam.
Ternyata, mereka tetap tidak mengijinkan saya masuk seminari. Tetapi, saya merasakan, di balik pengalaman ini, Tuhan memiliki rencana lain. Pada bulan Mei 2006, terjadi gempa di Yogyakarta dan Klaten. Rumah saya terkena gempa dan keluarga harus tinggal di tenda pengungsian. Pada waktu itu, saya masih bekerja dan mendapat bantuan dari perusahaan yang cukup untuk memperbaiki rumah. Sekarang rumah sudah berdiri kembali dan saya bersyukur kepada Tuhan masih diberi rahmat keselamatan kepada keluarga sehingga selamat.
Saya merefleksikan atau memaknai kejadian tersebut sebagai jalan yang diberikan Tuhan bagi saya. Seandainya tetap memaksakan diri untuk masuk seminari pada tahun 2004, mungkin saya tidak dapat membantu biaya perbaikan rumah. Tetapi, Allah memang berkehendak lain. Malahan, hati ibu dan adik saya makin diketuk-Nya untuk mengijinkan saya berjalan bersama-Nya: menjadi imam.
Saya begitu senangnya dan bersemangat untuk segera mendaftarkan diri ke Seminari Tinggi KAJ. Memang, sebelumnya, saya pernah mengikuti retret panggilan yang diadakan oleh Seminari Tinggi KAJ di Samadi. Dalam retret terungkap keprihatinan umat tentang jumlah imam di KAJ yang sedikit dan banyaknya umat yang perlu dilayani. Keprihatinan ini membuat keinginan saya untuk menjadi imam di KAJ semakin tinggi. Lalu, saya memutuskan untuk mengikuti solisitasi di Wisma Puruhita. Saya merasa, semuanya telah direncanakan Tuhan tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Sekarang, saya berada di Tahun Orientasi Rohani Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ dan membina kehidupan rohani saya sebagai seorang calon imam. Bersama dengan itu, saya juga mengolah pengalaman hidup pribadi, hidup studi, hidup komunitas, dan hidup berpastoral. Saya merasa begitu bersemengat menjalani semuanya ini. Dan, akhirnya, saya sungguh mengimani bahwa Tuhan telah memiliki rencana atas hidup saya ini.©
* * *