25 Mei 2012

Persekutuan dalam Ekaristi


Persekutuan dalam Ekaristi
Oleh: Fr. Bonifasius Lumintang

Suatu hari, saya bekesempatan mengikuti perayaan ekaristi di sebuah paroki di Jakarta. Selesai lagu pembuka dinyanyikan, imam tidak langsung membuka perayaan ekaristi dengan tanda salib, melainkan imam mengajak segenap umat untuk memberikan salam kepada umat yang berada di sekelilingnya. Bagi saya, hal ini merupakan pengalaman yang menarik karena ungkapan berbagi salam mengingatkan kita bawasannya tidak ada ekaristi dalam komunitas yang anggotanya tidak mengasihi satu sama lain.[1] Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi apabila masing-masing anggotanya pun tidak mengenal satu sama lain ? Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi apabila “sekat-sekat” pembeda dan pemisah (suku, status sosial, dll) masih membelenggu dan tidak ditanggalkan?  Henri J.M.Nouwen merefleksikan dengan indah tentang arti hidup yang berbelas kasih. Ia mengatakan bahwa hidup yang berbelas kasih adalah hidup bersama. Belas kasih bukanlah sebuah watak khas pribadi, sikap pribadi atau suatu bakat istimewa, akan tetapi adalah sebuah cara hidup bersama (bdk. Flp 2 : 1 – 4).[2] Dari pengalaman sederhana di atas, lebih jauh lagi, kita dapat bertanya, Bagaimana aspek Communio (kesatuan) bergema setiap kali kita merayakan ekaristi?

Bercermin Pada Tegangan Antara Paulus dan Jemaat Korintus
Permasalahan dan penjelasan yang berkaitan dengan ekaristi terdapat di dalam bab 10 (1 Kor 10:14-22) dan 11 (1 Kor 11:17-34) dari surat pertamanya kepada jemaat di Korintus. Konteks surat paulus kepada jemaat di Korintus adalah bahaya akan terjadinya perpecahan. Paulus mencela pengelompokkan di antara orang-orang Korintus. Ia tidak mengkritik bagi masing-masing kelompok, tetapi mengkritik jemaat sebagai keseluruhan karena membiarkan dirinya dipecahkan dalam beberapa kelompok.[3]
“ Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat” (1 Kor 10:21). Di dalam bab 10, Paulus memberikan perhatian pertama-tama kepada aspek komunitas sebelum ia berbicara tentang perayaan Ekaristi. Paulus hendak menegaskan bahwa kesehatan spiritual sebuah komunitas merupakan syarat mutlak bagi setiap perayaan ekaristi. Baginya, sungguh tidak mungkin mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan, namun sekaligus ambil bagian dalam perjamuan roh-roh jahat yang pada akhrinya menyeret orang tersebut berskutu dengah roh-roh jahat itu sendiri.
Dalam 1 Kor 11:17-34, nampak secara jelas reaksi ketidaksenangan Paulus akan tingkah laku dan praktek-praktek menyimpang yang dilakukan oleh jemaat Korintus dalam perayaan ekaristi. Terjadi perpecahan yang di latar belakangi adanya konflik kepentingan dan pembagian kelompok berdasarkan status sosial. Singkatnya, pada waktu itu terjadi distingsi tegas antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Perlu diketahui bahwa pada zaman Paulus, komunitas Yesus tidak memiliki bangunan gereja seperti yang kita miliki sekarang ini (megah, mewah, ber-AC, dan mampu menampung ribuan umat dalam ruangan luas dan besar). Untuk mengadakan perjamuan, dibutuhkan ruangan yang besar. Perlunya ruang yang besar berarti bahwa Ekaristi diadakan di rumah orang kaya.[4] Dan si tuan rumah, tentu berhak menentukan siapa-siapa saja yang berhak masuk ke tempat terhormat, dan siapa-siapa saja yang tidak. Semua orang Kristen termasuk kaum miskin dan budak dapat diterima dalam ruang tamu (termasuk halaman) untuk berpartisipasi dalam perjamuan – dengan hanya sedikit makanan dan minuman atau sama sekali tidak ada, tetapi hanyalah sahabat-sahabat yang sama kaya dan terhormat akan diundang oleh tuan rumah ke “mejanya” untuk menikmati makanan.[5]
 Persis inilah yang dikritik oleh Paulus. Pemisahan itu tidak cocok dengan gambaran Paulus tentang jemaat Allah. Baginya, selama masih ada pemisahan seperti itu, tidak akan tercipta komunitas ekaristis. Tidak mungkin ada ekaristi di dalam komunitas yang anggota-anggotanya tidak saling mengasihi. Dalam perjamuan Tuhan hadir dalam rupa roti dan anggur, tubuh dan darah-Nya (realis prasentia). Karenanya jika dalam perjamuan tiada rasa saling menghormati, malahan menyingkirkan dan memecah belah persaudaraan, atau yang satu menjadi batu sandungan bagi yang lain, ia berdosa terhadap Kristus. Di sini diletakkan dasar tentang apa yang disebut sebagai communicatio in sacris, relasi yang membangun dan menyatukan dalam segala apa yang kudus dan saleh.[6]

Persekutuaan dengan Kristus = Persekutuan dengan Sesama
Dalam ekaristi, Tuhan Yesus adalah tuan rumah, namun juga menjadi kurban perjamuan itu sendiri. Ia hadir dalam rupa roti dan anggur. Menyantap roti dan anggur, yang adalah tubuh dan darah Kristus berarti ikut ambil bagian / berpartisipasi dalam persekutuan (koinonia) dengan tubuh dan darah Kristus. Istilah koinonia, yang menunjuk pada pengertian mengenai persaudaraan dekat dengan istilah haima dan soima yang punya arti persaudaraan dengan seseorang atau dengan sesuatu. Mereka yang hadir dalam perjamuan tersebut diajak terutama untuk membangun kesatuan terlebih dengan Kristus Yesus (aspek vertikal). Bersatu dengan Kristus dapat kita maknai sebagai berhubungan satu sama lain dengan pikiran dan perasaan Kristus artinya dengan cara yang sama seperti yang ditempuh Kristus dalam menghubungi kita, dalam penghambaan dan kerendahan hati.  Dan, berangkat dari kesatuan dengan Tuhan itu lalu dibangunlah kesatuan dengan sesama, satu sama lain (aspek horizontal).  
Berkati ikut serta dalam satu tubuh yang sama, maka kita yang banyak disatukan dalam satu tubuh – Gereja. Gereja karenanya lahir dan hidup dari serta dalam Ekaristi. Kristologi menentukan eklesiologi, dan bukan sebaliknya. Gereja dengan demikian merupkan tempat di mana kenangan akan kristus menjadi hidup.  Oleh karena itu, Ekaristi dengan demikian manjadi tanda kesatuan Gereja. Gereja menjadi tubuh Kristus sebab gereja disatukan melalui Ekaristi.[7]

Refleksi
Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2011 -2015 menegaskan bahwa “ Gereja Keuskupan Agung Jakarta bercita-cita menjadi Umat Allah yang, atas dorongan dan tuntunan Roh Kudus, semakin memperdalam imannya akan Yesus Kristus, membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyrakat”. Apa yang dirumuskan dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta kiranya merangkum apa yang hendak penulis sampaikan kali ini. Rumusan tersebut dapat menjadi titik tolak kita untuk bertanya  Apakah gema persekutuan dan persatuan dalam kasih yang diwariskan Yesus lewat ekaristi terasa dalam komunitas paroki atau keuskupan atau komunitas-komunitas religius? Kalau setiap umat kristiani mampu tekun menimba kekuatan kasih dalam perayaan ekaristi tentu membuat orang lain akan berkata “Yang begini belum pernah kita lihat” (Mrk 2:12) dan pada akhirnya “...mereka disukai semua orang” (Kis 2:44-47).
  
      


[1] Osborne, Kenan B. Komunitas Ekaristi dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. 2012. Hlm. 94
[2] Nouwen, Henri J.M. Sehati Seperasaan: Sebuah Permenungan Tentang Hidup Kristen. Yogyakarta: Kanisius.1987. Hlm. 68
[3] Salah satu contoh gambaran situasi perpecahan itu dapat kita lihat pada 1 Kor 1:12 “...Aku dari golongan Paulus, atau Aku dari golongan Apolos, atau Aku dari golongan Kefas, atau Aku dari golongan Kristus. Menanggapi itu Paulus menekankan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya dasar. Yesus Kristus tidak terbagi-bagi (ayat 13).
[4] Harun, Martin. Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi. Jakarta: STF Driyarkara.2011.Hlm 97-98
[5] Harus diakui bahwa distingsi yang demikian itu juga semakin dipertegas oleh kebiasaan bangsa Roma yang menggolongkan para tamu menurut tingkat sosialnya dan hampir mengabaikan orang-orang yang dianggap rendah.
[6] Diambil dari diktat kuliah Ekaristi yang disusun oleh T. Krispurwana Cahyadi, SJ. Hlm. 5-7
[7] Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Partoral. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hlm 238