Antara Kami dan Kita
Refleksi atas
Relasi Intersubjektivitas Manusia
Oleh : Fr. Anton Baur dan Fr. Bayu
Golo
Apa bedanya kata kami dan kita? Apakah Anda tahu perbedaannya? Atau, jangan-jangan, Anda
termasuk dalam kalangan selebritis atau khalayak ramai pada umumnya yang
sembarangan menyebutkan kata kita untuk setiap pembicaraan yang terkait
dengan kejamakan subjek dalam sebuah peristiwa. Cobalah peka. Ini merupakan
sebuah keprihatian besar yang perlu disikapi.
Sesungguhnya, keberanian
menggunakan kedua kata ini secara bijaksana menjadi sebuah kebanggaan akan
kekayaan bahasa Indonesia. Kekayaan ini tidak dimiliki oleh kebanyakan bahasa
asing; setidaknya Bahasa Latin, Yunani, dan Inggris. Kata apa yang dikatakan
dalam Bahasa Inggris untuk kata kami? We, tentunya. Lalu, kita?
Yah, we juga. Dalam bahasa Yunani, hmeis digunakan untuk
mengartikan kami dan kita. Perbedaan itu menjadi tidak begitu tagas
tanpa adanya konteks yang jelas dari satu kalimat. Tetapi, Bahasa Indonesia
memiliki kekayaan bahasa dalam hal ini. Pernahkan memikirkannya dan merasa bangga
atasnya?
Tentunya, bukan hal itu yang
ingin disoroti dalam tulisan ini. Tetapi, esensi dari kedua kata itulah yang
akan menjadi refleksi bersama untuk memahami arti kebersamaan dengan ‘yang
lain’. Kata kita
menunjuk pada kata ganti subjek orang pertama jamak. Kita[1] adalah kami yang
inklusif. Kita adalah kami yang membiarkan lawan bicara untuk
masuk dalam ke-kami-an yang ada. Kita adalah inklusivitas dalam
komunikasi dan hidup. Kita inilah yang menjadi bagian pokok dari relasi
antar-manusia. Mari merefleksikan tentang kita ini dalam tulisan ini bersama
dengan Yohanes Paulus II (YP II).[2]
Aku Asali
Titik tolak pengenalan akan
refleksi kami dan kita adalah pengenalan akan aku. Aku
adalah subjek pertama yang menjadi pelaku kami dan kita. YP II
mengajak kita untuk mengenali siapakah aku itu sendiri dengan merujuk
pada kisah penciptaan (Kej.1-2). Aku itu secitra dengan-Nya (Kej.1: 27).
Aku ini mengacu pada mahluk yang bisa menyatakan ke-aku-an pada dirinya.
Aku mengenali identitasnya sebagai aku. Dari sini, jelaslah,
hanya manusia yang bisa berbuat seperti itu. Aku adalah manusia. Aku ini
menjadi berbeda dengan ciptaan yang lainnya. Semua ciptaan (aku dan
binatang-binatang) ini sama-sama memiliki tubuhnya. Tetapi, aku adalah tubuh
yang dihembusi oleh nafas Allah (Kej.2:7) sehingga mampu menampilkan persona
dan mengatur dirinya sendiri. Aku ini memiliki kebebasan untuk menentukan
dirinya (determinasi diri) dan mengaktualisasikan dirinya.
Dalam kisah penciptaan, jelaslah
bahwa aku ini memiliki kerinduan untuk menjadi kita. Mengapa
rindu? Karena setelah diberi kuasa untuk mengolah tanah dan menamai segala
binatang, aku berhadapan dengan fakta bahwa aku tidak berjumpa dengan aku
lain yang sepadan dengan aku-nya sendiri. Teranglah, aku bukanlah
sebatas tubuh belaka. Aku adalah tubuh yang menampilkan persona dan
menyingkap misteri Ilahi yang terwahyukan dalamnya. Aku semacam itulah
yang tidak ditemukan oleh aku pertama dalam dunia yang hadir
bersamanya. Yang lain, pada waktu itu, bukanlah aku, tetapi hanya daging
tanpa nafas Allah yang berhembus dalamnya.
Kerinduan akan aku lain
juga muncul karena ini adalah konsekuensi penciptaan dari kesecitraan dengan Kita
Sejati (Kej. 1:26)[3] yang telah menciptakan aku
itu sendiri. Secitra dengan Kita Sejati
(baca: Allah) berarti aku secitra dengan
Kita Sejati dan terarah untuk membina relasi dengan aku lainnya
sehingga aku itu menjadi kita, tak sebatas menjadi kami. Dalam Kita
Sejati, ada situasi ideal bahwasanya Kita Sejati merupakan sebuah
relasi ilahi yang dikenal dengan nama relasi Tritunggal. Oleh karenanya, aku
itu terarah pada kesatuan dengan aku yang lain agar dapat membentuk
sebuah ke-kita-an seperti Kita Sejati itu.
Inti ke-kita-an adalah
keberanian aku membagikan diri untuk aku yang lain. Pemberian total diri ini
menjadi kepenuhan ungkapan dari cinta. Hal ini ditegaskan demikian karena Allah
itu sendiri adalah cinta kasih (I Yoh. 4:16). Allah memberikan diri-Nya pada
manusia. Kepenuhan cinta ini nyata jelas dalam relasi Allah Trinitas. Dengan
begitu jelaslah, konsekuensi kesecitraan aku
dengan Allah mengantarkan aku pada
kesatuan dengan aku yang lain. Dalam
kesatuan dengan aku yang lain (ke-kita-an),
pemberian diri secara penuh itu semakin terungkapkan dengan jelas. Pada saat
ini, relasi yang terbina adalah relasi aku dengan aku, subjek
dengan subjek sehingga harmonisasi relasi kita dapat hidup dengan
mantap. Tetapi, dengan tegas, YP II menyatakan bahwa dalam relasi kita, aku
dan aku yang lain itu tetap unik dan khas. Aku dan aku tidak
lebur dalam sebuah anonimitas. Aku tetap menjadi persona yang
mencerminkan aku yang lain sebagai persona pula.
Aku (Kami) dalam Dosa
Dalam historisitasnya, kita
jatuh dalam dosa dan kita mengingkari eksistensinya sebagai gambaran
dari Kita Sejati (Kej. 3). Dosa telah mengubah realitas aku dan kita
dari keadaan asalinya. Aku menjadi jauh dari Allah (Kita Sejati).
Selubung dosa membuat relasi erat antara aku dan Kita Sejati rusak.
Pada saat yang bersamaan, relasi erat antara aku dan aku yang
lain juga rusak. Dalam relasi antara aku dengan aku yang lain
pasca-dosa, nyata jelas bahwa relasi itu tidak lagi menampilkan relasi persona
subjek dengan subjek. Kenyataan adanya eksploitasi dan objektivikasi atas
manusia ini menunjukkan bahwa relasi yang ada sekarang adalah relasi subjek
dengan objek. Aku yang lain dilihat sebagai sesuatu bukan seseorang
lagi. Aku yang lain dilihat sebagai sesuatu yang bisa diambil demi
keuntungan diri sendiri.
Pada saat ini, situasi yang
terjadi adalah bukan kita, tapi kami. Maksudnya, dalam relasi kita,
aku yang lain dianggap menjadi bagian dari aku. Tetapi, dalam
relasi kami, aku yang lain itu tetap dianggap sebagai bagian luar
dari aku yang bersama dengan aku yang lainnya. Aku yang
lain itu bisa dicermati oleh kami dan terbuka peluang untuk
di-objektivikasi oleh kami. Dengan begitu jelaslah, realitas dosa
membuat relasi kita itu direduksi dalam sebuah relasi kami. Kita
dan tiap aku yang ada di dalamnya, telah kehilangan makna asalinya.
Aku (Kita) yang Bangkit
Apakah mungkin terbebas dari
situasi dosa dan cara pandang objektivikasi? Sepertinya, tidak mungkin aku
bebas dari realitas dosa yang erat dengan dirinya? Itu keliru! Titik!
Jawabannya adalah mungkin! Allah telah merangkul aku-aku yang ada
di dunia ini untuk kembali menjalin relasi ke-kita-an dengan diri-Nya.
Allah begitu mengasihi setiap aku ”sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya
yang tunggal ... supaya tiap orang beroleh hidup yang kekal”. (Yoh.3:16).
Bukti kasih Allah yang merangkul semua aku itu adalah kehadiran Yesus
Kristus dalam dunia melalui peristiwa inkarnasi. Dalam inkarnasi, ”Sabda
telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh.1:14).
Lalu, bagaimana bisa dipahami,
pemulihan relasi ke-kita-an ini dalam keterkaitan dengan inkarnasi Yesus
Kristus? Yesus Kristus menghembuskan Roh-Nya kepada aku (manusia); ”...
Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus....” (Yoh.20:22) dan
Roh itu telah meresap dalam diri aku (manusia). Roh itu
menggerakkan aku untuk menjalin kembali relasi ke-kita-an
yang erat dengan Allah dan dengan aku yang lain. Pada saat ini, Roh
Allah menggerakkan aku untuk berani bersikap dengan bijaksana. Berangkat
dari dalam hatinya, Roh Allah menggerakkan aku untuk membangun sebuah ethos
baru, sebuah pertobatan sejati. Pada saat ini, aku akan semakin sadar
dengan apa yang harusnya kulakukan. Tindakannya tak lagi berdasarkan aturan dan
perintah yang ada dari luar diri (aku), tetapi pertama-tama karena sadar
bahwa tindakan itu harus dilakukan dan terarah pada Allah.
Dalam keterkaitan dengan
pemulihan ke-kita-an, ethos baru nyata dalam tindakan kasih pada
sesama. Dalam ethos baru itu, Roh Kristus semakin menyadarkan arti pemberian pada saat penciptaan aku
(pemberian akal budi, kehendak, kebebasan, dan kemampuan determinasi diri)
kepada aku. Pemberian ini semuanya dari Allah untuk manusia. Jelaslah
bahwa segalanya itu milik Allah—termasuk manusia sebagai aku—dan
diberikan secara cuma-cuma bagi aku. YP II membahasakan kesadaran akan
segala pemberian dari Allah ini sebagai Totus Tuus (All Yours).
Cara menghayati Totus Tuus ini mengarahkan aku untuk berani
membagikan segala sesuatunya—termasuk dirinya—pada aku yang lain.
Pemberian diri adalah bentuk khas dari cinta kasih Allah. Pemberian diri ini
merupakan sebuah kesaksian hidup sebagaimana aku diciptakan sebagai
citra Allah. Allah yang adalah cinta kasih, nyata dalam diriku dengan tindakan
mencinta yang kulakukan.
Ethos baru ini juga membentuk
spiritualitas dalam diri manusia untuk lepas bebas karena Totus Tuus.
Kesadaran ini bukanlah hal yang otomatis, tetapi diusahakan. Dalam usaha aku
(manusia) ini, tetap terbuka bahwa godaan-godaan itu terus muncul dan hidup.
Walaupun ada dorongan untuk mementingkan diri sendiri, tetapi Roh Kristus tetap
menggerakkan hati nurani untuk memberikan diri pada aku yang lain. Roh
Allah mendorong dan menggerakkan aku dalam relasi ke-kita-an
untuk tetap memilih Allah dan tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Lalu, bagaimana
konkretisasi dari ethos baru dan realisasi Totus Tuus? Jawabannya adalah
dengan membangun spiritualitas ke-kita-an.
Membangun
Spiritualitas Ke-kita-an
Realisasi Totus Tuus dan ethos
baru merupakan bagian pokok dari menghayati spiritualitas ke-kita-an.
Penyadaran akan segalanya milik Allah dan untuk Allah adalah pintu masuk untuk
menjadikan relasi kami menjadi relasi kita. Ethos baru
menyentuh dasar hati tiap aku sebagai pribadi karena Roh Kristus yang
telah mengetuknya. Ethos baru mengajak tiap aku (manusia) untuk
keluar dari dirinya sendiri, dari batas-batas kenyamanan, dan dari cara pikir
untung-rugi.
Roh Kristus-lah yang menjadi
fondasi spiritualitas ke-kita-an. Roh Kristus yang memampukan manusia
untuk membuka diri secara penuh pada kehadiran ”yang lain”. Aku yang
lain bukanlah ancaman. Aku yang lain bukanlah sebuah ketakutan akan
objektivikasi. Bila mungkin objektivikasi itu terjadi, itu semata-mata karena
kuasa dosa masih dominan dalam diri aku yang lain tersebut atau
sebaliknya. Namun, yang penting adalah bahwa semuanya berangkat dari hati
sendiri. Kehendak kuat dan kesadaran untuk memberikan diri pada aku yang
lain-lah yang menjadi titik pangkal dari hidup-matinya spiritualitas ke-kita-an.
Arah akhir dari keterbukaan pada aku yang lain ini adalah kesatuan
dengan Allah. Membina ke-kita-an yang baik dalam dunia menjadi pintu
utama untuk mencicipi kehidupan kekal yang Allah tawarkan; sebuah kehidupan ke-kita-an
manusia dengan Allah yang begitu erat.
Akhirnya, Aku (Kita) adalah Vir Orationis
Setelah meninjau ulasan tentang
spiritualitas ke-kita-an, bisa dikritisi apakah spiritualitas ini
relevan dalam hidup imamat? Apa aktualisasinya? Jawabannya, sangat aktual dan
relevan! Dalam konteks hidup imamat, spiritualitas ke-kita-an hidup dan
bertumbuh dengan kuasa Roh Allah yang meresap dan usaha aku sebagai
manusia. Bagaimana cara menghidupinya? Penjelasannya sebagai berikut. Menurut
YP II, dalam menghidupi imamat dengan sepenuh hati, seorang imam menjadi
seorang vir orationis, manusia pendoa. Vir orationis ini adalah
identitas yang melekat dalam diri seorang imam.[4]
Hal ini diungkapkan oleh YP II dalam buku
Sign of Contradiction.
Lalu, di mana letak spiritualitas ke-kita-annya?
Jawabannya adalah dengan menghidupi doa itu sendiri. Doa menjadi bagian integral dan
identitas dari imam yang adalah vir orationis. Memang, semua aku
dipanggil untuk bersatu dengan Allah sembari menekuni hidup doa. Tetapi, aku
yang adalah vir orationis semata-mata memusatkan diri pada keintiman
hidup dengan Allah. Dan, doa menjadi cara tepat untuk menjalin keintiman dengan
Allah.
Dalam keintiman dengan Allah, vir orationis dapat semakin menjadi aku yang juga bisa terarah dan
membagikan diri pada aku yang lain
sehingga kita terbentuk dan hidup. Yang ada kemudian adalah
bukan kami yang terbatas, tetapi kita. Pemberian diri secara penuh dalam
semangat doa menjadi bentuk aktual dari seorang vir orationis untuk menghidupi apa artinya spiritualitas ke-kita-an.
Dalam konteks hidup berkomunitas, tentunya hal ini sangat jelas tampak.
Perhatian yang penuh kepada aku yang lain dan keterlibatan dalam hidup
bersama menjadi bentuk aktual dari doa yang meresap dan mersuk dalam aku.
Pada saat ini, aku menjadi aku yang hidup dan menggerakkan setiap aku untuk menjadi kita dalam persatuan dengan Kita Sejati. Inilah bentuk
kesaksian hidup dari vir orationis untuk menghidupi spritualitas ke-kita-an di dalam dunia.
* * *
[1] Dalam KBBI, dijelaskan bahwa kami
adalah kata ganti orang pertama jamak yang berbicara bersama
dengan orang lain (tidak termasuk lawan bicara/yang diajak bicara). Dijelaskan
pula bahwa kita adalah kata ganti
orang pertama jamak yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang
diajak bicara. (lih. Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III,
Jakarta: Balai
Pustaka).
[2] Secara umum, tulisan ini mengacu pada gagasan Yohanes
Paulus II dalam John Paul II, 2006, Man and
Women He Created Them: A Theology of The Body. Translation, introduction,
and index by. Michael Waldstein, Boston:
Pauline Books & Media dan Richard M. Hogan, 2006, The Theology of The Body in John Paul II; What It Means, Why It
Matters, Ijamville, MD: The Word Among Us Press.
[3]
"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar
dan rupa Kita,....” (Kej.1:26)
[4] Bdk. John Paul II, 1979, Sign of Contradiction, New
York: Seabury Press, hlm. 127-135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar