08 Mei 2012

Antara Kami dan Kita


Antara Kami dan Kita
Refleksi atas Relasi Intersubjektivitas Manusia
Oleh : Fr. Anton Baur dan Fr. Bayu Golo
                                                   
Apa bedanya kata kami dan kita? Apakah Anda tahu perbedaannya? Atau, jangan-jangan, Anda termasuk dalam kalangan selebritis atau khalayak ramai pada umumnya yang sembarangan menyebutkan kata kita untuk setiap pembicaraan yang terkait dengan kejamakan subjek dalam sebuah peristiwa. Cobalah peka. Ini merupakan sebuah keprihatian besar yang perlu disikapi.
Sesungguhnya, keberanian menggunakan kedua kata ini secara bijaksana menjadi sebuah kebanggaan akan kekayaan bahasa Indonesia. Kekayaan ini tidak dimiliki oleh kebanyakan bahasa asing; setidaknya Bahasa Latin, Yunani, dan Inggris. Kata apa yang dikatakan dalam Bahasa Inggris untuk kata kami? We, tentunya. Lalu, kita? Yah, we juga. Dalam bahasa Yunani, hmeis digunakan untuk mengartikan kami dan kita. Perbedaan itu menjadi tidak begitu tagas tanpa adanya konteks yang jelas dari satu kalimat. Tetapi, Bahasa Indonesia memiliki kekayaan bahasa dalam hal ini. Pernahkan memikirkannya dan merasa bangga atasnya?
Tentunya, bukan hal itu yang ingin disoroti dalam tulisan ini. Tetapi, esensi dari kedua kata itulah yang akan menjadi refleksi bersama untuk memahami arti kebersamaan dengan ‘yang lain’. Kata kita menunjuk pada kata ganti subjek orang pertama jamak. Kita[1] adalah kami yang inklusif. Kita adalah kami yang membiarkan lawan bicara untuk masuk dalam ke-kami-an yang ada. Kita adalah inklusivitas dalam komunikasi dan hidup. Kita inilah yang menjadi bagian pokok dari relasi antar-manusia. Mari merefleksikan tentang kita ini dalam tulisan ini bersama dengan Yohanes Paulus II (YP II).[2] 

Aku Asali
Titik tolak pengenalan akan refleksi kami dan kita adalah pengenalan akan aku. Aku adalah subjek pertama yang menjadi pelaku kami dan kita. YP II mengajak kita untuk mengenali siapakah aku itu sendiri dengan merujuk pada kisah penciptaan (Kej.1-2). Aku itu secitra dengan-Nya (Kej.1: 27). Aku ini mengacu pada mahluk yang bisa menyatakan ke-aku-an pada dirinya. Aku mengenali identitasnya sebagai aku. Dari sini, jelaslah, hanya manusia yang bisa berbuat seperti itu. Aku adalah manusia. Aku ini menjadi berbeda dengan ciptaan yang lainnya. Semua ciptaan (aku dan binatang-binatang) ini sama-sama memiliki tubuhnya. Tetapi, aku adalah tubuh yang dihembusi oleh nafas Allah (Kej.2:7) sehingga mampu menampilkan persona dan mengatur dirinya sendiri. Aku ini memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya (determinasi diri) dan mengaktualisasikan dirinya.
Dalam kisah penciptaan, jelaslah bahwa aku ini memiliki kerinduan untuk menjadi kita. Mengapa rindu? Karena setelah diberi kuasa untuk mengolah tanah dan menamai segala binatang, aku berhadapan dengan fakta bahwa aku tidak berjumpa dengan aku lain yang sepadan dengan aku-nya sendiri. Teranglah, aku bukanlah sebatas tubuh belaka. Aku adalah tubuh yang menampilkan persona dan menyingkap misteri Ilahi yang terwahyukan dalamnya. Aku semacam itulah yang tidak ditemukan oleh aku pertama dalam dunia yang hadir bersamanya. Yang lain, pada waktu itu, bukanlah aku, tetapi hanya daging tanpa nafas Allah yang berhembus dalamnya.
Kerinduan akan aku lain juga muncul karena ini adalah konsekuensi penciptaan dari kesecitraan dengan Kita Sejati (Kej. 1:26)[3] yang telah menciptakan aku itu sendiri. Secitra dengan Kita Sejati (baca: Allah) berarti aku  secitra dengan Kita Sejati dan terarah untuk membina relasi dengan aku lainnya sehingga aku itu menjadi kita, tak sebatas menjadi kami. Dalam Kita Sejati, ada situasi ideal bahwasanya Kita Sejati merupakan sebuah relasi ilahi yang dikenal dengan nama relasi Tritunggal. Oleh karenanya, aku itu terarah pada kesatuan dengan aku yang lain agar dapat membentuk sebuah ke-kita-an seperti Kita Sejati itu.
Inti ke-kita-an adalah keberanian aku membagikan diri untuk aku yang lain. Pemberian total diri ini menjadi kepenuhan ungkapan dari cinta. Hal ini ditegaskan demikian karena Allah itu sendiri adalah cinta kasih (I Yoh. 4:16). Allah memberikan diri-Nya pada manusia. Kepenuhan cinta ini nyata jelas dalam relasi Allah Trinitas. Dengan begitu jelaslah, konsekuensi kesecitraan aku dengan Allah mengantarkan aku pada kesatuan dengan aku yang lain. Dalam kesatuan dengan aku yang lain (ke-kita-an), pemberian diri secara penuh itu semakin terungkapkan dengan jelas. Pada saat ini, relasi yang terbina adalah relasi aku dengan aku, subjek dengan subjek sehingga harmonisasi relasi kita dapat hidup dengan mantap. Tetapi, dengan tegas, YP II menyatakan bahwa dalam relasi kita, aku dan aku yang lain itu tetap unik dan khas. Aku dan aku tidak lebur dalam sebuah anonimitas. Aku tetap menjadi persona yang mencerminkan aku yang lain sebagai persona pula.

Aku (Kami) dalam Dosa
Dalam historisitasnya, kita jatuh dalam dosa dan kita mengingkari eksistensinya sebagai gambaran dari Kita Sejati (Kej. 3). Dosa telah mengubah realitas aku dan kita dari keadaan asalinya. Aku menjadi jauh dari Allah (Kita Sejati). Selubung dosa membuat relasi erat antara aku dan Kita Sejati rusak. Pada saat yang bersamaan, relasi erat antara aku dan aku yang lain juga rusak. Dalam relasi antara aku dengan aku yang lain pasca-dosa, nyata jelas bahwa relasi itu tidak lagi menampilkan relasi persona subjek dengan subjek. Kenyataan adanya eksploitasi dan objektivikasi atas manusia ini menunjukkan bahwa relasi yang ada sekarang adalah relasi subjek dengan objek. Aku yang lain dilihat sebagai sesuatu bukan seseorang lagi. Aku yang lain dilihat sebagai sesuatu yang bisa diambil demi keuntungan diri sendiri.
Pada saat ini, situasi yang terjadi adalah bukan kita, tapi kami. Maksudnya, dalam relasi kita, aku yang lain dianggap menjadi bagian dari aku. Tetapi, dalam relasi kami, aku yang lain itu tetap dianggap sebagai bagian luar dari aku yang bersama dengan aku yang lainnya. Aku yang lain itu bisa dicermati oleh kami dan terbuka peluang untuk di-objektivikasi oleh kami. Dengan begitu jelaslah, realitas dosa membuat relasi kita itu direduksi dalam sebuah relasi kami. Kita dan tiap aku yang ada di dalamnya, telah kehilangan makna asalinya.

Aku (Kita) yang Bangkit
Apakah mungkin terbebas dari situasi dosa dan cara pandang objektivikasi? Sepertinya, tidak mungkin aku bebas dari realitas dosa yang erat dengan dirinya? Itu keliru! Titik! Jawabannya adalah mungkin! Allah telah merangkul aku-aku yang ada di dunia ini untuk kembali menjalin relasi ke-kita-an dengan diri-Nya. Allah begitu mengasihi setiap akusehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal ... supaya tiap orang beroleh hidup yang kekal”. (Yoh.3:16). Bukti kasih Allah yang merangkul semua aku itu adalah kehadiran Yesus Kristus dalam dunia melalui peristiwa inkarnasi. Dalam inkarnasi, ”Sabda telah menjadi manusia dan diam di antara kita (Yoh.1:14).
Lalu, bagaimana bisa dipahami, pemulihan relasi ke-kita-an ini dalam keterkaitan dengan inkarnasi Yesus Kristus? Yesus Kristus menghembuskan Roh-Nya kepada aku (manusia); ”... Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus....” (Yoh.20:22) dan Roh itu telah meresap dalam diri aku (manusia). Roh itu  menggerakkan aku untuk menjalin kembali relasi ke-kita-an yang erat dengan Allah dan dengan aku yang lain. Pada saat ini, Roh Allah menggerakkan aku untuk berani bersikap dengan bijaksana. Berangkat dari dalam hatinya, Roh Allah menggerakkan aku untuk membangun sebuah ethos baru, sebuah pertobatan sejati. Pada saat ini, aku akan semakin sadar dengan apa yang harusnya kulakukan. Tindakannya tak lagi berdasarkan aturan dan perintah yang ada dari luar diri (aku), tetapi pertama-tama karena sadar bahwa tindakan itu harus dilakukan dan terarah pada Allah.
Dalam keterkaitan dengan pemulihan ke-kita-an, ethos baru nyata dalam tindakan kasih pada sesama. Dalam ethos baru itu, Roh Kristus semakin menyadarkan arti  pemberian pada saat penciptaan aku (pemberian akal budi, kehendak, kebebasan, dan kemampuan determinasi diri) kepada aku. Pemberian ini semuanya dari Allah untuk manusia. Jelaslah bahwa segalanya itu milik Allah—termasuk manusia sebagai aku—dan diberikan secara cuma-cuma bagi aku. YP II membahasakan kesadaran akan segala pemberian dari Allah ini sebagai Totus Tuus (All Yours). Cara menghayati Totus Tuus ini mengarahkan aku untuk berani membagikan segala sesuatunya—termasuk dirinya—pada aku yang lain. Pemberian diri adalah bentuk khas dari cinta kasih Allah. Pemberian diri ini merupakan sebuah kesaksian hidup sebagaimana aku diciptakan sebagai citra Allah. Allah yang adalah cinta kasih, nyata dalam diriku dengan tindakan mencinta yang kulakukan.
Ethos baru ini juga membentuk spiritualitas dalam diri manusia untuk lepas bebas karena Totus Tuus. Kesadaran ini bukanlah hal yang otomatis, tetapi diusahakan. Dalam usaha aku (manusia) ini, tetap terbuka bahwa godaan-godaan itu terus muncul dan hidup. Walaupun ada dorongan untuk mementingkan diri sendiri, tetapi Roh Kristus tetap menggerakkan hati nurani untuk memberikan diri pada aku yang lain. Roh Allah mendorong dan menggerakkan aku dalam relasi ke-kita-an untuk tetap memilih Allah dan tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Lalu, bagaimana konkretisasi dari ethos baru dan realisasi Totus Tuus? Jawabannya adalah dengan membangun spiritualitas ke-kita-an.

Membangun Spiritualitas Ke-kita-an
Realisasi Totus Tuus dan ethos baru merupakan bagian pokok dari menghayati spiritualitas ke-kita-an. Penyadaran akan segalanya milik Allah dan untuk Allah adalah pintu masuk untuk menjadikan relasi kami menjadi relasi kita. Ethos baru menyentuh dasar hati tiap aku sebagai pribadi karena Roh Kristus yang telah mengetuknya. Ethos baru mengajak tiap aku (manusia) untuk keluar dari dirinya sendiri, dari batas-batas kenyamanan, dan dari cara pikir untung-rugi.
Roh Kristus-lah yang menjadi fondasi spiritualitas ke-kita-an. Roh Kristus yang memampukan manusia untuk membuka diri secara penuh pada kehadiran ”yang lain”. Aku yang lain bukanlah ancaman. Aku yang lain bukanlah sebuah ketakutan akan objektivikasi. Bila mungkin objektivikasi itu terjadi, itu semata-mata karena kuasa dosa masih dominan dalam diri aku yang lain tersebut atau sebaliknya. Namun, yang penting adalah bahwa semuanya berangkat dari hati sendiri. Kehendak kuat dan kesadaran untuk memberikan diri pada aku yang lain-lah yang menjadi titik pangkal dari hidup-matinya spiritualitas ke-kita-an. Arah akhir dari keterbukaan pada aku yang lain ini adalah kesatuan dengan Allah. Membina ke-kita-an yang baik dalam dunia menjadi pintu utama untuk mencicipi kehidupan kekal yang Allah tawarkan; sebuah kehidupan ke-kita-an manusia dengan Allah yang begitu erat.

Akhirnya, Aku (Kita) adalah Vir Orationis
Setelah meninjau ulasan tentang spiritualitas ke-kita-an, bisa dikritisi apakah spiritualitas ini relevan dalam hidup imamat? Apa aktualisasinya? Jawabannya, sangat aktual dan relevan! Dalam konteks hidup imamat, spiritualitas ke-kita-an hidup dan bertumbuh dengan kuasa Roh Allah yang meresap dan usaha aku sebagai manusia. Bagaimana cara menghidupinya? Penjelasannya sebagai berikut. Menurut YP II, dalam menghidupi imamat dengan sepenuh hati, seorang imam menjadi seorang vir orationis, manusia pendoa. Vir orationis ini adalah identitas yang melekat dalam diri seorang imam.[4] Hal ini diungkapkan oleh YP II dalam buku Sign of Contradiction.
Lalu, di mana letak spiritualitas ke-kita-annya? Jawabannya adalah dengan menghidupi doa itu sendiri. Doa menjadi bagian integral dan identitas dari imam yang adalah vir orationis. Memang, semua aku dipanggil untuk bersatu dengan Allah sembari menekuni hidup doa. Tetapi, aku yang adalah vir orationis semata-mata memusatkan diri pada keintiman hidup dengan Allah. Dan, doa menjadi cara tepat untuk menjalin keintiman dengan Allah.
Dalam keintiman dengan Allah, vir orationis dapat semakin menjadi aku yang juga bisa terarah dan membagikan diri pada aku yang lain sehingga kita terbentuk dan hidup. Yang ada kemudian adalah bukan kami yang terbatas, tetapi kita. Pemberian diri secara penuh dalam semangat doa menjadi bentuk aktual dari seorang vir orationis untuk menghidupi apa artinya spiritualitas ke-kita-an. Dalam konteks hidup berkomunitas, tentunya hal ini sangat jelas tampak. Perhatian yang penuh kepada aku yang lain dan keterlibatan dalam hidup bersama menjadi bentuk aktual dari doa yang meresap dan mersuk dalam aku. Pada saat ini, aku menjadi aku yang hidup dan menggerakkan setiap aku untuk menjadi kita dalam persatuan dengan Kita Sejati. Inilah bentuk kesaksian hidup dari vir orationis untuk menghidupi spritualitas ke-kita-an di dalam dunia.

* * *



[1] Dalam KBBI, dijelaskan bahwa kami adalah kata ganti orang pertama jamak yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk lawan bicara/yang diajak bicara). Dijelaskan pula bahwa kita adalah  kata ganti orang pertama jamak yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara. (lih. Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka).
[2] Secara umum, tulisan ini mengacu pada gagasan Yohanes Paulus II dalam John Paul II, 2006, Man and Women He Created Them: A Theology of The Body. Translation, introduction, and index by. Michael Waldstein, Boston: Pauline Books & Media dan Richard M. Hogan, 2006, The Theology of The Body in John Paul II; What It Means, Why It Matters, Ijamville, MD: The Word Among Us Press.
[3]  "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,....” (Kej.1:26)
[4] Bdk. John Paul II, 1979, Sign of Contradiction, New York: Seabury Press, hlm. 127-135.

Tidak ada komentar: