08 Mei 2012

Spiritualitas Imam KAJ : Meneladan, Mendidik dan Doa


Spiritualitas Imam KAJ : Meneladan, Mendidik dan Doa
Oleh: Fr. Paulus Dwi Hadianto

Ada seorang seminaris bertanya kepada saya dalam suatu kesempatan. Ia bertanya, “Frater! Kalau Yesuit itu punya spiritualitas Ignatian, kalau Frater sebagai calon imam  Projo spiritualitasnya itu apa?” Saya terdiam sejenak dan mencoba menjawabnya secara sederhana. “Spiritualitas imam projo itu spiritualitas Yesus Kristus” jawab saya singkat. Jawaban tersebut terlontar karena saya masih mengingat pelajaran Spiritualitas yang diberikan oleh seorang Romo pada saat saya menjalani Tahun Orientasi Rohani di Wisma Puruhita, Klender, Jakarta Timur. Saya mengingat benar perkataan tersebut bahwa semangat yang senantiasa dihidupi oleh imam projo atau diosesan hendaknya adalah semangat yang dimiliki oleh Yesus sendiri. Oleh karena itu, imam projo dapat menggali semangat Yesus yang tertuang dalam Kitab Suci. Memang, semua semangat yang dimiliki para imam tarekat berasal dari para pendiri yang tentunya pun mengambil nilai-nilai hidupnya dari Kitab Suci. Lalu pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, spiritualitas apakah yang khas dari imam projo? Atau pertanyaan yang lebih spesifik lagi adalah apakah yang khas dari spiritualitas imam diosesan Jakarta?
Dalam tulisan ini (saya lebih menganggapnya sebagai sharing), saya mencoba menggali spiritualitas imam diosesan Jakarta berdasarkan pengalaman saya belajar berpastoral dan apa yang pernah saya dapatkan dalam pendidikan di Seminari Tinggi. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membatasi akan kayanya spiritualitas imam diosesan Jakarta yang bisa digali oleh masing-masing imam atau calon imam KAJ.

Spiritualitas : Pengalaman Akan Allah
Spiritualitas adalah proses perkembangan pengalaman akan Allah di dalam diri dan di dalam hidup konkret. Spiritualitas pun tidak dapat dipisahkan dengan teologi yang berusaha menghadirkan pesan Sabda Allah pada tempat dan waktu tertentu. Dengan kata lain, spiritualitas merupakan usaha untuk mengekspresikan pengalaman akan Allah di sini yang menunjuk pada tempat dan sekarang yang menunjuk pada waktu dengan berbagai cara.[1] Dasar spiritualitas imamat adalah pengalaman akan Allah dari mereka yang menerima tahbisan imamat. Bagaimana orang mengetahui dan memperoleh pengalaman akan Allah hanya dapat diketahui dan dimengerti oleh orang yang memilikinya.[2] Pengalaman akan Allah pun sebenarnya adalah bagaimana orang menanggapi panggilan hidupnya. Semakin orang berusaha untuk memperoleh pengalaman ini, dengan sendirinya ia juga semakin berusaha bertanggungjawab. Semakin ia memiliki pengalaman yang lebih mendalam, ia akan semakin berusaha untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dengan baik karena pengalaman akan Allah diwujudkan dalam perbuatan melalui  berbagai bentuk.[3]
Para imam diosesan mengejar kesempurnaan hidup terutama dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan pastoral mereka. Secara khusus, mereka dipanggil untuk pelayanan dalam gereja setempat yang dipimpin oleh Uskup.[4] Imam diosesan hendaknya selalu bergerak seirama dengan derap langkah keuskupan di mana ia menginkardinasikan dirinya. Dengan demikian, ciri khas spiritualitas imam diosesan Jakarta terletak pada ikatan erat mereka dengan Uskup sebagai pimpinan, serta kerja sama mereka dengan sesama imam dan umat di KAJ. Dalam hal ini, wilayah Keuskupan Agung Jakarta menjadi tempat bagi para imam diosesan KAJ untuk memperdalam pengalaman akan Allah sehingga semakin dapat bertanggungjawab akan karya perutusannya.
Saya pribadi belum mendapatkan tahbisan imamat. Namun, pengalaman akan Allah tentunya juga bisa saya dapatkan melalui pengalaman hidup selama tinggal dan belajar berpastoral di KAJ. Pengalaman saya ini lebih merupakan sebuah upaya untuk mengarah pada spiritualitas imam diosesan Jakarta yang akan saya hidupi.
  
Spiritualitas Imam KAJ : Spiritualitas Konteks
Keuskupan Agung Jakarta adalah keuskupan yang luas yang meliputi wilayah Tangerang di sebelah Barat sampai Cikarang di sebelah Timur dan Jakarta Utara di sebelah Utara sampai Cijantung di sebelah Selatan. Jakarta menjadi barometer bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia. Jakarta pun memiliki daya tarik yang luar biasa dari segi ekonomi sehingga banyak sekali perantau yang ingin tinggal di Jakarta atau bekerja di Jakarta. Setiap hari ribuan orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk bekerja dari daerah Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi hingga Cikarang. Jakarta itu multi etnis dan multi budaya.
Kompleksitas medan karya tersebut membawa akibat pada kompleksitas pengalaman dan tantangan. Pengalaman akan Allah yang didapat tentunya akan sangat bervariatif sehingga saya menyebutnya dengan istilah Spiritualitas Konteks. Spiritualitas Konteks adalah pengalaman akan Allah dalam medan karya tertentu.[5] Dalam amanat Angelus di koran L’Osservatore Romano dikatakan bahwa …Tetapi sama-sama pasti juga, bahwa hidup dan pelayanan imam harus menyesuaikan diri dengan setiap zaman dan situasi kehidupan...[6] Oleh karena itu, pertama-tama setiap imam harus berusaha dan terbuka terhadap Roh Kudus yang bekerja di medan pastoral masing-masing untuk mengenal umat dan kebutuhan rohaninya serta umatnya. Imam diosesan Jakarta dapat menemukan Allah dalam setiap pengalaman hidupnya di medan karya yang dia emban.

Meneladan
Saya sudah menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral[7] selama kurang lebih satu setengah tahun. Selama satu tahun pertama, saya bertugas di SMA Gonzaga selain juga Seminari Wacana Bhakti, Jakarta. Di tahun yang kedua ini, saya full time berkarya di Seminari Wacana Bhakti. Keduanya kurang lebih memiliki bidang yang sama yaitu pendidikan. SMA Gonzaga adalah tempat pendidikan anak SMA yang umum dan Seminari Wacana Bhakti adalah tempat pendidikan calon-calon imam.
Berkarya di bidang pendidikan merupakan hal yang menarik karena saya mendapat banyak pengalaman bergumul dengan kaum muda. Dalam pergumulan tersebut, banyak pengalaman yang menuntun saya pada kesimpulan di mana perkataan tidaklah berarti tanpa tindakan. Seminaris maupun siswa Gonzaga akan lebih tergerak hatinya untuk mengikuti pendidikan jika saya sendiri menunjukkan nilai-nilai yang saya perjuangkan. Saya terinspirasi oleh model pelayanan Yesus. Sebagai guru, Ia menjadi teladan bagi para muridNya. Dia mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan Dia sendiri memberikan contoh perbuatan kasih tersebut dengan membasuh kaki para murid-Nya. Apa yang Dia lakukan itu menjadi pewartaan yang efektif kepada umat dan murid-muridNya. Contoh lainnya, Yesus menginginkan agar setiap orang itu mengasihi sesamanya serta mengasihi musuh-musuhnya.[8] Untuk itu, Ia sendiri melakukan kasih dengan menyembuhkan orang sakit dan menerima permintaan Kornelius seorang perwira Romawi agar anak buahnya disembuhkan. Bahkan, Yesus pun masih mendoakan orang-orang yang turut menyalibkannya di Bukit Golgota.[9]
Menjadi seorang calon imam diosesan Jakarta yang berkarya di Seminari haruslah memiliki semangat untuk terus berusaha menjadi teladan bagi para seminaris. Teladan yang dimaksud adalah memberikan contoh konkret dalam hidup keseharian di Seminari. Apabila seminaris diajar untuk memiliki kedisiplinan, maka formator pun harus menunjukkan nilai tersebut dalam hidup sehari-harinya.

Mendidik
Meneladan semata-mata tidaklah cukup dalam proses pendidikan di Seminari maupun SMA Gonzaga. Unsur pendidikan yang intinya adalah mendidik para siswa tidaklah sama maknanya dengan menjadi teladan. Umumnya, orang baik dan yang menjadi teladan bisa menjadi idola di dalam suatu komunitas. Namun, menjadi pendidik tidak senantiasa populer. Mendidik lebih memiliki resiko untuk tidak disenangi. Karena ketegasannya dalam memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, bisa saja formator tidak disukai oleh murid-murid. Saya tetap harus mengatakan pada seminaris dan siswa-siswi Gonzaga bahwa kejujuran adalah harga mati yang harus mereka pegang di antara pandangan umum yang mengatakan bahwa mencontek adalah hal yang biasa. Kata-kata yang tidak populer sebagai pendidik antara lain adalah kata “tidak, jangan, atau hendaknya” yang menunjukkan penolakan, teguran, serta nasihat. 
Yesus, dalam pengalaman hidupnya, juga bukan seorang yang gila popularitas. Ia tetap menjalankan misinya dalam mendidik umat. Karena ketegasannya akan pentingnya menjaga kekudusan Bait Allah, Ia berani memorak-porandakan pasar yang ada di Bait Allah.[10] Yesus tidak mau kompromi tentang nilai-nilai hidup yang sangat penting. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Yesus pun mengecam kota-kota yang tidak baik hidupnya. Imam diosesan Jakarta haruslah imam yang memiliki semangat untuk mendidik.

Hidup Doa
Dalam tulisan ini, urutan hidup doa, setelah meneladan dan mendidik, tidak berarti bahwa hidup doa menjadi nomor kedua dan meneladan serta mendidik menjadi yang pertama. Keduanya harus berjalan selaras. Karya tidak pernah begitu saja berjalan tanpa ada dukungan dalam hidup doa. Hidup doa juga tidak mengalami kepenuhan jika tanpa karya atau tindakan. Hidup kerohanian juga merupakan hal yang sangat penting dalam menjalankan perutusan. Menjadi seorang imam haruslah memiliki kehidupan rohani yang kuat. Tanpa kehidupan rohani yang kuat, pelayanan tidak mendapatkan dasar yang kuat pula.
Memberi teladan kepada seminaris dalam doa bukan semata-mata agar seminaris ikut berdoa. Berdoa pertama-tama lebih merupakan kebutuhan pribadi akan relasi dengan Tuhan sendiri. Hidup doa juga berarti bahwa imam diosesan Jakarta juga dekat dengan Kitab Suci yang menjadi sumber dalam mencari semangat hidupnya. Meneladani hidup Yesus dapat dikenal melalui Kitab Suci. Segala pengalaman akan Allah akan mendapat penguatan melalui pengalaman Yesus yang tertulis dalam Kitab Suci.

Secuil Gambaran
Spiritualitas itu sulit dijelaskan tetapi hanya bisa digambarkan dan dihayati oleh orang yang menjalaninya. Apa yang saya tulis di atas merupakan secuil gambaran-gambaran tentang spiritualitas imam diosesan Jakarta. Imam diosesan Jakarta haruslah menjadi teladan di tempat dia berkarya. Jika berkarya di Seminari, dia berkarya menjadi teladan dalam menghayati kehidupan sebagai seminaris: menjunjung nilai-nilai kedisiplinan, ketekunan, kejujuran dan lain sebagainya. Ia pun harus memiliki semangat untuk mendidik yang kadang tidak populer. Dan akhirnya, semuanya harus diimbangi dengan kehidupan doa yang sangat berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang dilayani. Diharapkan semuanya itu dapat semakin berguna bagi kita semua dalam memupuk tanggung jawab perutusan hidup kita masing-masing. Semoga inspiratif !!!
           





[1] Edison L. Tinambunan, Spiritualitas Imamat Sebuah Pendasaran, Malang : Dioma, 2002, hlm. v
[2] Ibid, hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 4-5.
[4] M. Purwatmo Pr (ed.), Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia, Jakarta: Komisi Seminari KWI, 2002, hlm. 32.
[5] Medan karya tersebut termasuk karya misi. Imam diosesan Jakarta juga bersifat misioner sehingga terbuka juga untuk lahan pastoral di luar Keuskupan Agung Jakarta.
[6] Seri Dokumen Gereja, Pastores Dabo Vobis, hlm. 5.
[7] Pada masa ini, seorang frater mendapat tugas perutusan untuk berkarya di paroki, seminari, atau tempat lain selama 1-2 tahun.
[8] Lih. Luk 6:27.
[9] Lih. Luk 23:24.
[10] Lih. Mat 21:12-13.

Tidak ada komentar: