Tenggelam
dalam Bayang Ibukota
Oleh : Fr. Ambrosius Lolong
Jakarta
sebagai ibukota Republik Indonesia sangat identik dengan gaya hidup kelas atas.
Hidup yang mapan, gaji yang menggiurkan, dan tawaran hidup yang lebih layak ada
di Jakarta. Stereotip semacam ini dan pesatnya perkembangan Jakarta kerap kali
membuat banyak orang tergiur untuk menetap di kota besar ini. Masih terekam
dalam ingatanku, gambaran kota Jakarta tempo dulu lewat film-film yang
dibintangi Grup Lawak Warkop DKI atau artis kondang Adi Bing Slamet dan
Benyamin S. Jakarta masih sangat lengang dengan sedikit gedung-gedung pencakar
langit dan udara kota yang senantiasa segar. Dalam jangka waktu yang singkat,
Jakarta sudah tersihir oleh tangan-tangan pemilik modal menjadi kota
megapolitan. Namun, benarkah gambaran nan indah ini dapat dirasakan setiap
orang yang tinggal di Jakarta?
Aku juga
punya pandangan akan Jakarta yang mampu memberikan segudang jaminan akan hidup
yang layak. Sampai suatu titik, aku mendapat tugas perutusan mengunjungi orang
sakit dan orang tua/jompo di wilayah Paroki St. Yakobus, Kelapa Gading. Aku
lebih suka menuliskan tentang mereka sebagai orang-orang yang terpinggirkan. Terpinggirkan
karena mereka tidak hanya sakit atau tua tetapi memang terlupakan dari keluarga
dan lingkungannya. Walaupun tidak semuanya aku kunjungi, namun perjumpaan
dengan mereka sudah menjadi tanda bagiku bahwa di tengah kota yang gemerlap ini
ada orang yang terpinggirkan.
Sejenak Bersama Mereka
Kukayuh sepedaku melintasi
perumahan-perumahan elit Kelapa Gading dengan secarik kertas di saku celana jeans
berisikan alamat rumah yang harus kukunjungi. Sebelumnya aku
bertemu dengan bapak ketua lingkungan dan beliau memberikan ancer-ancer
jalan menuju alamat itu. Walau berbekal petunjuk jalan dari bapak ketua
lingkungan, namun karena alamatnya tidak lengkap, aku mulai bertanya ke
sana-sini.
Pada akhirnya, aku menemukan rumah
yang dimaksud, sebuah rumah kontrakan yang kecil dan terpojok. Letaknya yang di
pojok dengan jalan yang sangat sempit membuat rumah ini sulit untuk diakses. Aku
pun harus memarkir sepeda di ujung jalan. Rumah berukuran 2x3 m ini hanya
memiliki satu jendela dan pintu yang hampir lapuk dan kondisi ini membuat
keadaan rumah menjadi lembab.
Rumah kecil itu dihuni oleh sepasang
suami-istri katolik. Mereka tidak memiliki anak dan mereka juga tidak memiliki
kerabat di Jakarta. Mereka hanya tinggal berdua di kota metropolitan ini. Sang
suami sudah tidak bisa bekerja lagi karena penyakit yang dideritanya. Sedangkan
istrinya berusaha mencukupi kehidupan sehari-hari dengan membuat makanan kecil,
kemudian menjualnya. Hasilnya pun tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Pokoknya keadaan ekonomi mereka sangat memprihatinkan. Mereka sanggup bertahan
hingga kini karena ada bantuan dari orang-orang Katolik di lingkungan mereka.
Sama seperti kebanyakan orang, sepasang
suami-istri ini bermigrasi dari desanya dan mencoba mengadu nasib di Jakarta.
Mereka melakukan hal itu secara sadar karena tawaran kota Jakarta yang
menggiurkan. Mereka berharap bisa hidup lebih baik daripada tinggal di desa.
Namun sangat disayangkan, di luar dugaan, mereka mengalami berbagai kesulitan
dan akhirnya bermuara pada keadaan ini. Ketika mereka bercerita, terucap jelas
bahwa mereka merasa hidup seperti benalu yang terus-menerus menerima bantuan
orang lain. Namun, mereka dipaksa menerima keadaan semacam ini. Selain itu,
sang suami juga mengalami kekeringan rohani. Sejak jatuh sakit setahun yang
lalu, dia sudah tidak bisa pergi ke Gereja dan menerima tubuh Kristus lagi. Dia
hanya berharap pada pro-diakon yang membawakannya setiap minggu. Sekarang pro-diakon
pun jarang datang berkunjung. Alhasil, persatuan dengan Yesus Kristus menjadi
sesuatu yang langka baginya.
Titik Cerah
Bunda Teresa
Pengalaman berharga ini mengingatkanku
pada Bunda Teresa. Bunda Teresa bersentuhan langsung dengan orang-orang seperti
ini bahkan menyerahkan seluruh hidupnya bagi mereka. Berkaca dari pengorbanan
hidup Bunda Teresa itu, aku menemukan nilai penting bagi kehidupan, khususnya,
bagi formatio-ku sebagai calon imam dalam pengalaman kunjungan ini.
Rasa Cinta. Ya itulah
dasarnya. Aku merasakan godaan dalam kunjungan kala itu. Suasana rumah yang tidak
nyaman dan rentan terhadap penyakit serta suasana hati keluarga yang senantiasa
memadahkan mazmur keluhan membuat aku tidak betah. Aku ingin sekali mengakhiri
kunjungan itu dan segera pulang. Namun, entah mengapa saat itu aku masih mau
bertahan cukup lama untuk mendengarkan cerita, keluh-kesah, dan harapan mereka.
Aku yakin bahwa semua itu terjadi
karena cinta. Ya cinta. Cinta ini meneguhkanku untuk tetap setia dengan tugasku.
Aku menyadari bahwa aku tidak memiliki sesuatu untuk diberikan kepada mereka.
Aku selalu berangkat kunjungan dengan bermodalkan waktu. Waktuku cukup longgar
untuk perutusan ini dan inilah yang menjadi kekuatanku. Semakin lama tinggal
bersama mereka, semakin terpancar kebahagiaan dari raut wajah mereka bahkan
sesekali mereka juga menangis terharu. Mereka merasa memiliki teman dan yang
lebih penting, mereka merasa disapa. Sebuah sapaan intim yang mampu menyentuh
hati mereka. Mereka memang tenggelam dalam bayang-bayang Jakarta, tetapi
keadaan ini tidak menghilangkan eksistensi mereka. Mereka sungguh-sungguh ada
dan juga perlu disapa lebih hangat dengan mencintai mereka melalui cinta yang
luar biasa.
Aku memang manusia biasa yang
mencoba mengabdikan diri bagi Tuhan. Aku punya kelemahan dan kekurangan.
Terkadang aku juga takluk pada godaan. Namun dibalik itu semua, aku memiliki
CINTA yang bisa mengatasi kelemahan dan kekuranganku. Sebuah kekuatan yang
sulit dijelaskan tapi sungguh dapat dirasakan. Aku yakin bahwa kekuatan cinta
inilah yang mengundang, meneguhkan, dan melengkapi karya serta pelayanan Bunda
Teresa sehingga beliau memberikan diri seutuhnya bagi orang-orang yang
terpinggirkan. Aku yakin kalau kekuatan cinta semacam ini ada di dalam setiap
hati manusia. Karena jika seseorang mencintai sesuatu, ia rela memberikan semua
yang dia miliki. Itulah cinta yang luar biasa. ©
1 komentar:
Salken
Posting Komentar