08 Mei 2012

Belajar dan Bertumbuh Bersama Umat


Belajar dan Bertumbuh Bersama Umat
oleh Fr. Albertus Yogo Prasetianto

Setiap kali diminta untuk ikut serta dalam pameran atau promosi panggilan di paroki-paroki, selalu saja ada sebuah ganjalan dalam hati saya. Bagaimanakah menjelaskan spritualitas imam diosesan kepada umat beriman. Agak sulit juga rupanya saya merumuskan seperti apakah spritualitas imam diosesan Jakartasetidaknya hal ini berlaku bagi saya. Spiritualitas selalu terkait dengan sesuatu yang menggerakkan seseorang, menjadi daya hidup untuk melakukan sesuatu. Sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta tentunya saya perlu mengenali dan kemudian mendalami spiritualitas imam diosesan Jakarta dengan segala kekhasan di dalamnya. Berikut ini pengalaman saya berkecimpung dalam kehidupan paroki sebagai seorang frater TOP-er di paroki yang terletak nan jauh dari Jakarta, yaitu Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Kabanjahe. Pengalaman saya berpastoral di Kabanjahe sekilas memang tidak ada kaitannya dengan Keuskupan Agung Jakarta, apalagi dengan spiritualitas imam diosesannya. Namun, semangat pastoral yang ada di sini boleh juga dibagikan kepada teman-teman di Jakarta.

Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Kabanjahe
            Kalau kita bepergian dari arah Medan menuju Kabanjahe, kita akan melewati beberapa tempat hingga tiba di Kabanjahe. Persis sebelum masuk ke Kabanjahe, ada tempat yang telah dikenal banyak orang. Namanya Berastagi. Kira-kira dari tempat inilah hingga ke arah Kabanjahe dan sekitarnya, kita akan menemukan salib yang menjulang tinggi di mana-mana. Ada banyak gereja di Tanah Karo ini. Dan, salah satunya adalah Gereja Katolik Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
            Paroki Santa Perawan Maria Diangkat  ke Surga, Kabanjahe terletak di Jl. Letnan Rata Perangin-angin No. 13, Kabanjahe. Buku baptis paroki ini tercatat sejak 1 Agustus 1948. Sudah lebih dari 50 tahun paroki ini berdiri dan terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Berdasarkan data 2009 jumlah umat tercatat 17.325 jiwa. Mereka tersebar dalam tiga rayon, yaitu Rayon Kabanjahe, Rayon Tiga Panah, dan Rayon Sukadame. Masing-masing rayon tersebut dibagi lagi dalam stasi-stasi dan lingkungan-lingkungan. Total stasi yang ada sebanyak 20 stasi.
            Strategi pelayanan pastoral dilakukan dengan cara mengadakan kunjungan ke stasi-stasi dan lingkungan-lingkungan. Dalam kunjungan tersebut pelayan pastoral dapat mengadakan pelayanan sakramental, pengajaran/katekese, ataupun pertemuan berkaitan dengan urusan-urusan administratif. Di stasi-stasi hanya sebulan sekali Perayaan Ekaristi Hari Minggu diadakan, di luar itu diadakan Ibadat Sabda. Dalam ibadat inilah, peran awam dalam hidup menggereja begitu nyata. Dari umat, oleh umat, dan untuk umat. Ibadat sabda dipimpin oleh umat, kotbah diberikan oleh umat, dan kolekte dikumpulkan demi kepentingan umat. Jika Gereja Katolik masih tetap hidup di kampung-kampung yang ada di Tanah Karo sampai dengan sekarang, semua itu adalah hasil kerja keras Voorhanger (Ketua Dewan Stasi) bersama pengurus stasi lainnya. Mereka adalah perpanjangan tangan para Gembala Paroki bagi umat di stasi-stasi.

Menumbuhkan semangat cinta kasih pastoral
            Mejuah-juah Frater, je nari kam? Kai margandu?”[1] Begitulah umat seringkali menyapa saya. Sapaan hangat yang selalu saya alami tiap kali bertemu dengan orang-orang baru. Kehangatan inilah yang perlahan-lahan melunturkan ketakutan saya melangkah ke tempat yang baru. Inilah pertama kalinya saya datang ke Tanah Karo. Tanah Karo Simalem begitulah orang sini menyebutnya, tanah yang subur, damai dan menentramkan. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran saya bahwa suatu saat akan pergi ke tempat ini, apalagi sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta. Dalam bayangan saya selama ini dengan menjadi calon imam Keuskupan Agung Jakarta hidup dan karya saya akan dicurahkan sepenuhnya untuk Jakarta. Ternyata hidup panggilan itu jauh lebih luas dari JaTaBek[2].
            Ada sebuah kutipan Kitab Suci yang berbunyi,Bertolaklah ke tempat yang dalam”. Kata-kata ini diucapkan Yesus kepada murid-murid-Nya yang mulai frustasi karena sepanjang malam tidak mendapat ikan. Seseorang yang hendak mengikuti Yesus dan menekuni jalan panggilan rasanya perlu merenungkan sabda Yesus ini. Mau dan berani untuk terus mengolah diri dan masuk pada kedalaman. Namun, bagi saya kadang tempat ini terlalu dalam, jauh lebih dalam dari yang saya bayangkan. Awal-awal berada di tempat ini agaknya saya shock culture. Budaya dan kebiasaan baru selalu menarik untuk dikenali, namun sekaligus memberi guncangan. Persoalan utama sebenarnya berkaitan dengan bahasa.
            Seperti di kebanyakan daerah di Indonesia semakin menuju ke kota, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan semakin ke pelosok daerah bahasa yang digunakan adalah bahasa setempat. Bahasa Indonesia dan Bahasa Karo bersandingan mengisi keseharian orang-orang di sini. Semakin ke Kabanjahe kita akan semakin sering mendengar Bahasa Indonesia dan semakin ke kampung-kampung kita akan sering mendengar Bahasa Karo. Beruntunglah saya bahwa bahasa Indonesia dimengerti oleh kebanyakan umat, meskipun bahasa yang digunakan dalam liturgi di stasi-stasi menggunakan Bahasa Karo.
            Salah satu tugas yang diberikan kepada saya adalah mengunjungi stasi-stasi. Sesuai dengan jadwal perjalanan yang sudah dibuat, setiap hari Minggu saya pergi ke stasi untuk memimpin ibadat sabda. Selain itu, pada hari-hari biasa pun saya juga mengunjungi dua stasi yang menjadi stasi binaan. Perjumpaan dengan umat di stasi-stasi merupakan pengalaman yang luar biasa untuk saya. Luar biasa, karena dalam perjalanan waktu hambatan bahasa tidak penghalang untuk menjalin komunikasi yang lebih dalam.
            Pernah suatu kali saya diminta untuk melatih koor di sebuah stasi. Stasi Rumamis-Tambunen namanya. Seingat saya selama di Jakarta tidak pernah melatih koor, kalau sekadar membaca not mungkin sedikit-sedikit saya bisa. Dengan modal seadanya saya datang ke stasi tersebut. Dua hal yang menjadi kekhawatiran saya waktu itu. Pertama, lagu yang harus dilatih adalah lagu Karo. Kedua, sebelum latihan seorang umat sempat berkata, “Frater, kami tidak bisa baca not. Bagaimana kalau kita langsung kata-katanya saja? Dalam hati saya hanya bisa berkata,Mati deh gue!” “Baiklah kalau begitu, nande. Mari kita coba bersama-sama,” hanya itu yang bisa saya ucapkan sambil tersenyum kecut. Setengah jam pertama latihan berjalan dengan terseok-seok. Baris per baris diulang terus-menerus. Namun, alangkah terkejutnya saya karena di akhir latihan kami dapat menyanyikan lagu secara utuh, meski belum sempurna. “Kok bisa ya? Ahh, mungkin inilah yang disebut dengan mukjizat,pikir saya. Malam itu saya kembali ke Kabanjahe dengan perasaan yang luar biasa.
            Karya pastoral di Paroki Santa Perawan Maria, Kabanjahe merupakan perjuangan untuk memberdayakan seluruh umat paroki. Umat yang digembalakan adalah semua, baik yang ada di kota maupun di desa. Para pastor sebagai gembala utama paroki tidak berdiri sendirian, tetapi disokong dengan kehadiran pengurus-pengurus gereja mulai dari tingkat lingkungan, stasi, rayon hingga tingkat dewan paroki. Semuanya digerakkan oleh semangat yang sama, yaitu semangat cinta kasih pastoral. Semangat inilah yang selalu mengobarkan keinginan untuk melayani atas dasar kecintaan pada umat.

Spiritualitas yang bersumberkan pada cinta kasih pastoral
            Salah satu kekhasan imam diosesan adalah inkardinasinya dalam Gereja partikular yang tumbuh dalam konteks sosio-kemasyarakatan tertentu. Dalam konteks Jakarta, tentunya imam dan calon imam Keuskupan Agung Jakarta perlu melibatkan diri seutuhnya dengan dinamika umat JaTaBek. JaTaBek sebagai ladang penggembalaan menyimpan berbagai keragaman suku bangsa, status sosial, tingkat kesejahteraan ekonomi, pendidikan, mata pencaharian, dlsb. Dalam usaha untuk mengingkardinasikan dirinya dengan Gereja Partikular, (calon) imam Keuskupan Agung Jakarta memerlukan strategi jitu dalam pelayanan pastoralnya.
            Hampir serupa dengan strategi Pastoral Gembala Baik, strategi pastoral yang diterapkan di Kabanjahe berusaha untuk menggembalakan seluruh umat yang ada di paroki. Berbeda dengan hidup menggereja di Jakarta yang kebanyakan umat datang ke Gereja Paroki, di Kabanjahe para pelayan pastoral mendatangi umatnya. Pengelompokan umat dalam stasi-stasi mengharuskan para pelayan pastoral untuk mendatangi umat. Dalam kunjungan dan pelayanan pastoral inilah, setiap gembala melibatkan diri dengan perjuangan hidup umatnya. Cinta kasih pastoral mengalahkan hambatan jarak, waktu, bahasa, dan keadaan alam, bahkan hambatan dari dalam diri demi pemberdayaan umat.
            Belajar dari Kabanjahe, setidaknya ada dua hal yang boleh jadi bahan pemikiran kita bersama. Pertama, spiritualitas imam diosesan selalu terkait dengan konteks lokalitas umat yang dilayani. Untuk mengetahui seperti apakah umat yang kita layani, tidak bisa tidak kita perlu terjun langsung dengan mencari, mengunjungi dan melayani mereka. Tentunya setiap daerah atau tempat karya pastoral memiliki perbedaan, namun semangat untuk mencari, mengunjungi dan melayani umat tidak boleh dilupakan. Kedua, dalam lokalitas tersebut kita menemukan adanya keberagaman dalam diri umat. Berdasarkan pengamatan langsung dan pengolahan data statistik, tentunya kita akan menemukan identitas dan latar belakang umat yang kita layani. Pengalaman saya di sini menunjukkan bahwa umat yang kita layani akan lebih merasa tersapa, jika kita masuk dengan cara mereka. Jeli melihat ‘pintu masuk’ yang sesuai dengan umat yang dilayani tentunya akan memudahkan kita untuk menjalankan karya penggembalaan.   
            Demikian beberapa hal terkait dengan pengalaman saya belajar berpastoral di Tanah Karo. Spiritualitas imam diosesan selalu terkait dengan konteks di mana seorang (calon) imam diosesan bertumbuh dan berkembang. Dalam kaitannya dengan hidup menggereja di paroki, salah satu aspek spiritualitas imam diosesan adalah bagaimana menumbuhkan kecintaan pada umat yang dilayani. Semangat cinta kasih pastoral merupakan aplikasi konkret dari spiritualitas imam diosesan.

           
           



[1] Mejuah-juah frater, dari mana (asal) kamu? Apa margamu?
[2] Jakarta, Tangerang, dan Bekasi