Belajar dan Bertumbuh Bersama
Umat
oleh Fr. Albertus Yogo Prasetianto
Setiap
kali diminta untuk ikut serta dalam pameran atau promosi panggilan di
paroki-paroki, selalu
saja ada sebuah ganjalan dalam hati saya. Bagaimanakah menjelaskan spritualitas
imam diosesan kepada umat beriman. Agak sulit juga rupanya saya merumuskan
seperti apakah spritualitas imam diosesan Jakarta – setidaknya hal ini berlaku bagi saya.
Spiritualitas selalu terkait dengan sesuatu yang menggerakkan seseorang,
menjadi daya hidup untuk melakukan sesuatu. Sebagai calon imam Keuskupan Agung
Jakarta tentunya saya perlu
mengenali dan kemudian mendalami spiritualitas imam diosesan Jakarta dengan
segala kekhasan di dalamnya. Berikut ini pengalaman saya berkecimpung dalam
kehidupan paroki sebagai seorang frater TOP-er di paroki yang terletak nan jauh dari Jakarta, yaitu Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga,
Kabanjahe. Pengalaman saya berpastoral di Kabanjahe sekilas memang tidak ada
kaitannya dengan Keuskupan Agung Jakarta, apalagi dengan spiritualitas imam
diosesannya. Namun,
semangat pastoral yang ada di sini boleh juga dibagikan kepada teman-teman di
Jakarta.
Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Kabanjahe
Kalau kita bepergian dari arah Medan
menuju Kabanjahe, kita
akan melewati beberapa tempat hingga tiba di Kabanjahe. Persis sebelum masuk ke
Kabanjahe, ada
tempat yang telah dikenal banyak orang. Namanya Berastagi. Kira-kira dari tempat
inilah hingga ke arah Kabanjahe dan sekitarnya, kita akan menemukan salib yang menjulang tinggi
di mana-mana. Ada banyak gereja di Tanah Karo ini. Dan, salah satunya
adalah Gereja Katolik Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Paroki Santa Perawan Maria
Diangkat ke Surga, Kabanjahe terletak di
Jl. Letnan Rata Perangin-angin No. 13, Kabanjahe. Buku baptis paroki ini
tercatat sejak 1 Agustus 1948. Sudah lebih dari 50 tahun paroki ini berdiri dan
terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Berdasarkan data 2009 jumlah umat
tercatat 17.325 jiwa. Mereka tersebar dalam tiga rayon, yaitu Rayon Kabanjahe,
Rayon Tiga Panah, dan Rayon Sukadame. Masing-masing rayon tersebut
dibagi lagi dalam stasi-stasi dan lingkungan-lingkungan. Total stasi yang ada
sebanyak 20 stasi.
Strategi pelayanan pastoral
dilakukan dengan cara mengadakan kunjungan ke stasi-stasi dan
lingkungan-lingkungan. Dalam kunjungan tersebut pelayan pastoral dapat
mengadakan pelayanan sakramental, pengajaran/katekese, ataupun pertemuan
berkaitan dengan urusan-urusan administratif. Di stasi-stasi hanya sebulan
sekali Perayaan Ekaristi Hari Minggu diadakan, di luar itu diadakan Ibadat
Sabda. Dalam ibadat inilah, peran awam dalam hidup menggereja begitu nyata. Dari
umat, oleh umat, dan untuk umat. Ibadat sabda dipimpin oleh umat, kotbah
diberikan oleh umat, dan kolekte dikumpulkan demi kepentingan umat. Jika Gereja
Katolik masih tetap hidup di kampung-kampung yang ada di Tanah Karo sampai
dengan sekarang, semua itu adalah hasil kerja keras Voorhanger (Ketua Dewan Stasi) bersama
pengurus stasi lainnya. Mereka adalah perpanjangan tangan para Gembala Paroki
bagi umat di stasi-stasi.
Menumbuhkan semangat cinta kasih pastoral
“Mejuah-juah
Frater, je nari kam? Kai margandu?”[1]
Begitulah umat seringkali menyapa saya. Sapaan hangat yang selalu saya alami
tiap kali bertemu dengan orang-orang baru. Kehangatan inilah yang
perlahan-lahan melunturkan ketakutan saya melangkah ke tempat yang baru. Inilah
pertama kalinya saya datang ke Tanah Karo. Tanah Karo Simalem begitulah orang
sini menyebutnya, tanah yang subur, damai dan menentramkan. Tidak pernah terbersit
sedikit pun dalam pikiran saya bahwa suatu saat akan pergi ke tempat ini, apalagi sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta.
Dalam bayangan saya selama ini dengan menjadi calon imam Keuskupan Agung
Jakarta hidup dan karya
saya akan dicurahkan sepenuhnya untuk Jakarta. Ternyata hidup panggilan itu
jauh lebih luas dari JaTaBek[2].
Ada sebuah kutipan Kitab Suci yang
berbunyi, “Bertolaklah ke
tempat yang dalam”. Kata-kata
ini diucapkan Yesus kepada murid-murid-Nya yang mulai frustasi karena sepanjang
malam tidak mendapat ikan. Seseorang yang hendak mengikuti Yesus dan menekuni
jalan panggilan rasanya perlu merenungkan sabda Yesus ini. Mau dan berani untuk
terus mengolah diri dan masuk pada kedalaman. Namun, bagi saya
kadang tempat ini terlalu dalam, jauh lebih dalam dari yang saya bayangkan.
Awal-awal berada di tempat ini agaknya saya shock
culture. Budaya dan kebiasaan baru selalu menarik untuk dikenali, namun sekaligus
memberi guncangan. Persoalan utama sebenarnya berkaitan dengan bahasa.
Seperti di kebanyakan daerah di
Indonesia semakin menuju ke kota, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan semakin ke
pelosok daerah bahasa yang digunakan adalah bahasa setempat. Bahasa Indonesia
dan Bahasa Karo bersandingan mengisi keseharian orang-orang di sini. Semakin ke
Kabanjahe kita akan semakin
sering mendengar
Bahasa Indonesia dan semakin ke
kampung-kampung kita akan
sering mendengar
Bahasa Karo. Beruntunglah saya bahwa bahasa Indonesia dimengerti oleh
kebanyakan umat, meskipun bahasa yang
digunakan dalam liturgi di stasi-stasi menggunakan Bahasa Karo.
Salah satu tugas yang diberikan
kepada saya adalah
mengunjungi stasi-stasi. Sesuai dengan jadwal perjalanan yang sudah dibuat, setiap hari Minggu saya
pergi ke stasi untuk memimpin ibadat sabda. Selain itu, pada hari-hari
biasa pun saya juga mengunjungi dua stasi yang menjadi stasi binaan. Perjumpaan
dengan umat di stasi-stasi merupakan pengalaman yang
luar biasa untuk saya. Luar biasa, karena dalam perjalanan waktu hambatan bahasa tidak
penghalang untuk menjalin komunikasi yang lebih dalam.
Pernah suatu kali saya diminta untuk
melatih koor di sebuah stasi. Stasi Rumamis-Tambunen namanya. Seingat saya
selama di Jakarta tidak pernah melatih koor, kalau sekadar membaca not mungkin
sedikit-sedikit saya bisa. Dengan modal seadanya saya datang ke stasi tersebut.
Dua hal yang menjadi kekhawatiran saya waktu itu. Pertama, lagu yang harus
dilatih adalah lagu Karo. Kedua, sebelum latihan seorang umat sempat berkata, “Frater, kami
tidak bisa baca not. Bagaimana kalau kita
langsung kata-katanya saja?” Dalam hati saya hanya bisa berkata, “Mati deh gue!” “Baiklah kalau begitu, nande. Mari
kita coba bersama-sama,” hanya itu yang bisa saya ucapkan sambil tersenyum
kecut. Setengah jam pertama latihan berjalan dengan terseok-seok. Baris per baris diulang terus-menerus. Namun, alangkah
terkejutnya saya karena di akhir
latihan kami dapat menyanyikan lagu secara utuh, meski belum sempurna. “Kok bisa ya? Ahh, mungkin inilah
yang disebut dengan mukjizat,” pikir
saya. Malam itu saya kembali ke Kabanjahe dengan perasaan yang luar biasa.
Karya pastoral di Paroki Santa
Perawan Maria, Kabanjahe merupakan perjuangan untuk memberdayakan seluruh umat
paroki. Umat yang digembalakan adalah semua, baik yang ada di kota maupun di
desa. Para pastor sebagai gembala utama paroki tidak berdiri sendirian, tetapi disokong
dengan kehadiran pengurus-pengurus gereja mulai dari tingkat lingkungan, stasi,
rayon hingga tingkat dewan paroki. Semuanya digerakkan oleh semangat yang sama, yaitu semangat
cinta kasih pastoral. Semangat inilah yang selalu mengobarkan keinginan untuk melayani atas dasar
kecintaan pada umat.
Spiritualitas yang bersumberkan pada cinta kasih pastoral
Salah satu kekhasan imam diosesan adalah inkardinasinya dalam Gereja
partikular yang tumbuh dalam konteks sosio-kemasyarakatan tertentu. Dalam
konteks Jakarta, tentunya imam dan calon imam
Keuskupan Agung Jakarta perlu melibatkan diri seutuhnya dengan dinamika umat
JaTaBek. JaTaBek sebagai ladang penggembalaan menyimpan berbagai keragaman suku
bangsa, status sosial, tingkat kesejahteraan ekonomi, pendidikan, mata
pencaharian, dlsb. Dalam usaha untuk mengingkardinasikan dirinya dengan Gereja
Partikular, (calon) imam Keuskupan Agung Jakarta memerlukan strategi jitu dalam
pelayanan pastoralnya.
Hampir serupa dengan
strategi Pastoral Gembala Baik, strategi pastoral yang diterapkan di Kabanjahe
berusaha untuk menggembalakan seluruh umat yang ada di paroki. Berbeda dengan
hidup menggereja di Jakarta yang kebanyakan umat datang ke Gereja Paroki, di Kabanjahe para pelayan pastoral mendatangi umatnya.
Pengelompokan umat dalam stasi-stasi mengharuskan para pelayan pastoral untuk
mendatangi umat. Dalam kunjungan dan pelayanan pastoral inilah, setiap gembala melibatkan diri dengan perjuangan hidup umatnya.
Cinta kasih pastoral mengalahkan hambatan jarak, waktu, bahasa, dan keadaan alam, bahkan hambatan dari dalam
diri demi pemberdayaan umat.
Belajar dari Kabanjahe, setidaknya ada dua hal yang boleh jadi bahan pemikiran kita
bersama. Pertama, spiritualitas imam diosesan selalu terkait dengan konteks
lokalitas umat yang dilayani. Untuk mengetahui seperti apakah
umat yang kita layani, tidak bisa tidak kita perlu terjun
langsung dengan mencari, mengunjungi dan melayani mereka. Tentunya setiap
daerah atau tempat karya pastoral memiliki perbedaan, namun semangat untuk mencari, mengunjungi dan melayani umat
tidak boleh dilupakan. Kedua, dalam lokalitas tersebut kita menemukan adanya
keberagaman dalam diri umat. Berdasarkan pengamatan langsung dan pengolahan data
statistik, tentunya kita akan menemukan identitas
dan latar belakang umat yang kita layani. Pengalaman saya di sini menunjukkan
bahwa umat yang kita layani akan lebih merasa tersapa, jika kita masuk dengan cara mereka. Jeli melihat ‘pintu
masuk’ yang sesuai dengan umat yang dilayani tentunya akan memudahkan kita
untuk menjalankan karya penggembalaan.
Demikian beberapa hal
terkait dengan pengalaman saya belajar berpastoral di Tanah Karo. Spiritualitas
imam diosesan selalu terkait dengan konteks di mana seorang (calon) imam
diosesan bertumbuh dan berkembang. Dalam
kaitannya dengan hidup menggereja di paroki, salah satu aspek
spiritualitas imam diosesan adalah bagaimana menumbuhkan kecintaan pada umat
yang dilayani. Semangat cinta kasih pastoral
merupakan aplikasi konkret dari spiritualitas imam diosesan.
1 komentar:
Salken
Posting Komentar