08 Mei 2012

Totalitas dan Kontekstual Strategi Merasul di Kota besar-Belajar dari St. Paulus


Totalitas dan Kontekstual Strategi Merasul
di Kota besar-Belajar dari St. Paulus
Oleh: Fr . Thomas Ulun Ismoyo
Melintasi jalan tol dalam kota Jakarta, ada pemandangan kontras yang dapat disaksikan. Selain tentu saja kabut polusi yang membuat langit biru Jakarta tak dapat dinikmati, sejumlah panorama yang menggambarkan wajah Jakarta tertampakkan. Apa saja? Ada puluhan – bahkan ratusan - aneka gedung tinggi yang menjulang ke atas seolah ingin menampilkan kembali kisah “menara babel” (Kej 11) di mana orang ingin “pamer” kekuatan, menunjukkan hegemoni dan keangkuhannya.
Namun di lain sisi, terutama di bagian utara, terhampar luas pemukiman kaum marginal yang saling berdesakan mencari lahan tersisa sebagai tempat peristirahatan sejenak dari kerasnya upaya mencari nafkah di kota ini. Dari sekilas pemandangan, tertuang sekilas gambaran tentang Jakarta. Jauh masuk ke dalam, dalam pergaulan maupun gaya hidup, kontras dalam kehidupan semakin menampakkan wajahnya. Sebagai kota besar, Jakarta memiliki semuanya untuk dimiliki, dinikmati, dan dieksplorasi Ada pelbagai gaya hidup yang dapat memanjakan raga yang penat dan tegang karena beban pekerjaan. Namun sebagai kota besar, Jakarta juga memiliki semuanya untuk ditangisi, diratapi, dan juga –lebih dari itu- diperhatikan. Sejuta keringat dan tetes air mata mengiringi derap langkah kaki kaum marjinal untuk berjuang dalam hidup.
Ya!! Jakarta: semuanya ada di sini, persis tertuang dalam sepenggal lirik dari sebuah lagu “Rumah Kita... Ada di sini”. Tempat kita hidup, tumbuh, berkembang, dan terpanggil melayani sebagai imam. Memandang Jakarta sebagai ladang Allah, pikiran saya tertuju pada kota Korintus yang dulu pernah menghangati hati dan pikiran St. Paulus dalam pewartaan tentang Kristus. Ia berkunjung, membangun jemaat, dan akhirnya berupaya untuk menyelesaikan masalah yang khas bagi kota-kota besar. Korintus mungkin tidak sama persis dengan Jakarta, namun ada kemiripan yang ditampakkan: Keduanya adalah kota pelabuhan, tempat perjumpaan antara pelbagai bangsa dan budaya, dan ada kesenjangan ekonomi yang cukup tinggi di tengah umat.
Kalau di Korintus, ada perjumpaan antara kekristenan, yahudi dan agama-agama pagan; maka di Jakarta terdapat pula hal yang sama, yaitu kemajemukan kepercayaan. Seluruh agama besar, sekte-sekte, aliran kepercayaan, bahkan ideologi atheis pun, dapat ditemui pengikutnya di kota ini Sebagai kota besar, jemaat di Korintus menghadapi sejumlah problem dalam kehidupannya. Karena masalah yang kompleks itu, kita menemukan aneka tema dalam di dalam surat-suratnya. Apa sajakah itu? Sejumlah hal yang dapat disebut adalah masalah kesenjangan social (1 Kor 11:17-24), perpecahan dalam jemaat karena pelbagai aliran (1 Kor 3:1-9), masalah moral (1Kor 6:12-20), dan sebagainya. Maka dalam suratnya ini, Paulus tidak hanya mewartakan Kristus, namun juga membahas pelbagai masalah konkret yang muncul dalam jemaat. Di dalamnya kita tidak hanya menemukan pewartaan bernada teologis, sakramentologis, dogmatis, katekese, namun juga pastoral. Apa yang dibuat dan ditanggapi oleh Paulus adalah bukti bahwa Ia sungguh berjerih payah dengan persoalan konkret dan kontekstual umatnya.
Walaupun kota Korintus mengandung sejumlah masalah, namun Paulus tetap menyayanginya dan memberi perhatian besar padanya bahkan melihat mereka sebagai anak-anaknya (1Kor 4:15). Ada sejumlah kunjungan yang telah dilakukannya, dan bahkan ketika ia tidak dapat hadir, ia mengutus Timotius supaya mereka tetap berteguh dalam iman (1 kor 4:17). Sebagai (calon) imam yang tinggal di Jakarta, kita bisa belajar dari Paulus via pengalaman, relasi, dan perjuangannya di Korintus.
Entah kebetulan atau tidak, Bapa Suci Benediktus XVI telah menetapkan tahun 2008 ini sebagai tahun Paulus. Pelbagai paroki, kampus, media massa, dan sejumlah lembaga Katolik berencana meramaikan tahun Paulus ini dengan sejumlah cara: seminar, lomba, dsb; tak terkecuali kampus teologi FTW Yogyakarta. Dalam khotbah pembukaan tahun ajaran baru Fakultas Teologi Wedabhakti dan sekaligus tahun Paulus, Rm. Kieser, SJ memberi pertanyaan reflektif untuk kami para calon teologan, calon imam dan calon pewarta iman (dengan kata lain: calon penerus misi St. Paulus): “Apakah jika tahun ini Paulus mendarat di Tanjung Priok, Nabire (atau pelabuhan lainnya), adakah ia menjumpai kita sebagai teman seperjalanannya?” Ini menggugah hati saya. Bagaimana pun Paulus telah menjadi rasul yang berjerih payah dalam membangun iman Gereja awal (patut diingat pula bahwa karya Paulus, yaitu surat kepada jemaat di Tesalonika, adalah karya tulis tertua dalam Perjanjian Baru, yang mendahului penulisan Injil-injil!!) yang terlestari hingga kini. Sekali lagi, untuk merasul di kota besar seperti Jakarta, kita bisa belajar dari Paulus.
Apa yang bisa kita pelajari? Ada sekian banyak gagasan yang dapat diambil, namun saya hanya ingin menawarkan dua gagasan pokok: Satu, jerih payahnya untuk membangun jemaat menjadi satu tubuh karena situasi jemaat yang berada dalam ancaman terpecah belah. Dengan kata lain ada totalitas untuk berkarya bagi semuanya, tanpa pilih-pilih, tanpa syarat atau pamrih. Bahwa “upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah...” dan “...Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” (1 Kor 9:18). Apakah kita sudah mau bersikap demikian? Atau kita hanya bersedia dan (bahkan) terikat untuk melayani pada sejumlah kecil orang yang bisa memberikan kita rasa aman? Hal ini mungkin senada dengan khotbah Mgr Julius Kardinal Darmaatmadja dalam misa pentahbisan sembilan orang diakon, Jumat 15 Agustus 2008 yang lalu: bahwa cara pastoral imam di Jakarta terkadang kurang menyentuh keseluruhan dan kurang memperhatikan sejumlah kecil golongan tertentu, yang tak tersapa dan tak terlayani.
Dua, Paulus mau belajar dan mencermati masalah dan kehidupan konkret umatnya. Ia mencermati masalah moralitas (konkretnya:percabulan), hubungan dengan kepercayaan lain (konkretnya tentang makanan persembahan berhala), kesenjangan sosial (perpecahan dalam perjamuan makan), dsb. Maka Paulus (juga) berteologi dari bawah, dari situasi konkret jemaatnya: sebuah teologi konteksual yang langsung mengena bagi umat yang dilayaninya. Maka kita diajak untuk mau belajar mengenal dan berdialog dengan situasi konkret jemaat sehingga kita dapat semakin bijak dalam menyiapkan strategi, mengarahkan, dan menentukan arah langkah pastoral di bumi Jakarta tempat kita berpijak Bagaimana mungkin bisa melayani dengan baik bila kita tidak menyediakan diri untuk mendengarkan dan terbuka pada aneka gagasan (juga dari kaum awam) dari umat untuk umat? Maka strategi pastoral yang hendak digagas adalah pastoral yang “tidak menutup mata dan telinga” terhadap realitas (juga yang buruk) dan gagasan, entah itu sekecil apapun. Demikianlah kita tahu bahwa salah satu sumber penggerak pastoral kita adalah apa yang sedang dibutuhkan dan digulati oleh umat.
Potret kota besar Jakarta adalah realitas ladang Allah, di mana kita adalah para pekerjanya. “Di mana bumi dipijak, di situ pulalah langit dijunjung”. Realitas ini tidak dapat ditolak, namun patut dipelajari. Ini bukan ancaman, tapi tantangan. Di tanah Jakarta, kita dapat menemukan tanah yang tipis, tanah yang berbatu, semak belukar, dan tentu saja (syukur kepada Allah!) tanah yang baik. Adalah usaha kita bersama-sama dengan umat Allah seluruhnya mengupayakan agar benih Allah jatuh dan tumbuh di tanah yang baik. Beranikah kita menggarap ladang itu menjadi tanah yang subur untuk didiami? Diilhami oleh semangat St. Paulus, beranikah kita berjerih payah dalam kerasulan kita....” menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang?” Semoga St Paulus mendapatkan kita sebagai teman-teman seperjalannya: menjadi Rasul dan pewarta Injil Yesus Kristus.
_____________________________

Tidak ada komentar: