25 Mei 2012

Ekaristi: Tanda Penuh Syukur


Ekaristi: Tanda Penuh Syukur
Oleh: Fr. Nemesius Pradipta

            Keuskupan Agung Jakarta menetapkan tahun 2012 sebagai “Tahun Ekaristi”. Sebagai calon imam diosesan Jakarta, selain turut serta dalam gerak-langkah keuskupan, Tahun Ekaristi merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali pengalaman serta memperdalam pengetahuan dan iman saya mengenai Ekaristi. Melalui proses pengolahan ini saya berharap semakin mampu memaknai Ekaristi sehingga, ketika saya menghadiri perayaan iman ini, saya sungguh didorong oleh rasa cinta dan kerinduan yang mendalam. Melalui tulisan ini, saya mencoba membagikan pengalaman betapa usaha saya untuk menghayati Ekaristi merupakan suatu proses jatuh-bangun.
            Dalam dua tahun terakhir ini, saya menyadari betapa pentingnya Ekaristi bagi penghayatan iman saya sebagai seorang calon imam. Kesadaran itu muncul ketika saya mencoba mengenang kembali waktu-waktu di mana saya mulai mampu mengenal Ekaristi secara lebih baik. Saya ingat sewaktu masih kecil, ketika kami sekeluarga pergi ke gereja, orang tua saya memiliki kebiasaan untuk duduk di bangku barisan terdepan. Jarak kami dengan altar sangatlah dekat. Karenanya, saya dapat melihat dengan jelas saat-saat di mana seorang imam memimpin Perayaan Ekaristi. Dari pengalaman itu, saya begitu terkesan pada bagian imam melakukan konsekrasi. Bagi saya konsekrasi adalah momen yang paling agung dan indah dalam Ekaristi.
             Pada rekoleksi beberapa waktu yang lalu, saya merenungkan betapa imam memiliki peranan yang amat penting dalam Ekaristi. Hanya melalui tangan seorang imamlah perayaan Ekaristi dapat dilakukan. Dan sebagai calon imam saya mempertanyakan apakah mungkin saya mampu menghayati Ekaristi kalau saya sendiri tidak memiliki kerinduan untuk mengikuti Ekaristi? Berdasarkan pengalaman ini saya berusaha menghayati Ekaristi secara lebih mendalam. Dan semenjak itu pula pergulatan saya yang penuh jatuh-bangun ini dimulai.
           
Kesadaran Atas Tiga Rahmat
            Sebagai seorang frater yang selalu mengikuti Ekaristi setiap hari, saya menyadari adanya beberapa godaan yang kerap kali muncul. Godaan-godaan tersebut antara lain rasa kantuk, rasa bosan, dan—yang paling parah—sikap mengabaikan dan menyepelekan Ekaristi. Padahal saya juga menyadari tiga rahmat yang sudah sepatutnya saya syukuri dalam hidup di Seminari berhubungan dengan pengalaman Ekaristi. Pertama, saya bisa mengikuti Ekaristi setiap hari. Kami, para frater atau seminaris, tidak perlu bersusah payah mencari imam untuk memimpin Ekaristi—bandingkan dengan umat di luar yang kerap kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari seorang imam. Para imam (romo) di Seminari, selain terjadwal, juga dengan setia menyediakan waktu mereka untuk memimpin perayaan Ekaristi. Bahkan di seminari, kami memiliki empat romo yang secara bergantian memimpin Ekaristi. Bagi saya kondisi semacam ini merupakan suatu rahmat yang luar biasa.
            Kedua, saya tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk datang ke kapel tercinta kami. Kapel seminari yang berada di lantai dua, hanya berjarak 10 m dari kamar saya. Saya hanya memerlukan 27 langkah kecil dan waktu 10 detik untuk sampai ke depan pintu kapel seminari. Bukankah keadaan ini juga merupakan rahmat yang sangat luar biasa bagi kami para calon imam, dibandingkan dengan perjuangan umat Katolik di KAJ untuk datang ke gereja. Mereka perlu memikirkan biaya, jarak tempuh, waktu, cuaca, dan segudang kondisi lain yang memang perlu mereka perjuangkan untuk menghadiri satu kali Perayaan Ekaristi di paroki setiap minggunya.
            Ketiga, saya menerima pengajaran secara formal mengenai Ekaristi di STF Driyarkara. Sebagai calon imam, mempelajari Ekaristi secara teologis dan sistematis merupakan salah satu kegiatan yang wajib dialami. Di bawah bimbingan dosen Ekaristi yang baik, selama satu semester pikiran saya dihujani dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan seputar Ekaristi. Saya diajak untuk menggali dasar-dasar Ekaristi melalui Kitab Suci, Magisterium, dan Tradisi Gereja. Kemudian, saya juga dipertemukan dengan pemikiran Jemaat Perdana dan para Bapa Gereja untuk mendengarkan perkembangan Ekaristi sejak awal kekristenan. Saya juga dihadapkan dengan kata-kata sulit seperti transubstansiasi, realis praesentia, konsekrasi, cenaculum, dan sebagainya. Ketika Ekaristi memasuki ruang kuliah, rasanya semua terasa sulit dan rumit. Tetapi melalui pengalaman ini saya bersyukur karena tidak semua orang memiliki kesempatan yang luar biasa ini.    
                       
Ekaristi dan  Pergulatannya
            Ketika menyadari akan kelemahan dan kekurangan diri dalam menghayati Ekaristi, saya merasa benar-benar kecewa. Ada suatu hal yang perlu saya kembangkan tetapi saya tidak tahu harus memulainya dari mana. Menurut saya, menghayati Ekaristi merupakan hal yang sulit sekali dilakukan. Meski saya mendapatkan pelajaran tentang Ekaristi, saya merasa tidak mampu ketika diajak untuk menghayatinya. Semakin lama saya merenung, semakin terasa kekeringan itu dan dalam waktu yang panjang saya merasa sendirian. Ekaristi seakan tidak memberikan suatu inspirasi yang menghidupkan.
            Setelah melewati hari-hari yang panjang, dalam suatu rekoleksi saya diajak untuk memahami Ekaristi secara ‘baru’. Saya tahu benar bahwa Ekaristi adalah “sumber” dan “puncak” hidup orang Kristen. Tetapi pengetahuan itu hanyalah sebatas pengetahuan rasional, tetapi tidak berangkat dari pengalaman iman saya akan Ekaristi. Dalam pertemuan itu saya sungguh terkesan dengan ungkapan St. Agustinus tentang Ekaristi yaituVisibilis signum invisibilis gratiae, yang artinya tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan. Melalui ungkapan ini, saya diingatkan bahwa kerap kali kita lebih mementingkan tanda yang kelihatan, namun kita lupa akan peran rahmat Allah yang tidak kelihatan. Saya sadar mengapa selama ini Ekaristi kerap kali terasa kering dan membosankan. Bahkan, saya sering jatuh pada perasaan suka-tidak suka dan bukan pada pertanyaan apakah Ekaristi dan doa-doa yang saya jalani menyentuh secara personal.
            Melalui pemahaman iman inilah saya memang memerlukan suatu sikap baru dalam mengembangkan hidup rohani sehingga tidak dangkal dan monoton. Maka memang perlu suatu gerakan perubahan (Baca: Aggiornamento) dalam iman dengan berbagai cara. Misalnya: membaca buku-buku yang berkaitan dengan Ekaristi, memperdalam devosi kepada Sakramen Mahakudus, dan meniru orang lain yang dirasa memiliki pengalaman yang intim dengan Ekaristi.
             Kemudian, saya memutuskan untuk belajar dari pengalaman santo-santa dalam menghayati Ekaristi. Saya mencoba melihat bagaimana para kudus itu sangat mencintai Ekaristi dengan sangat mendalam dan mesra. Kesempatan ini saya temukan dalam buku Yesus Kekasih Kita dalam Ekaristi karya P. Stefano M. Manelli. Beberapa santo-santa yang kerap kali disebut dalam buku ini antara lain: St. Gemma Galgani, Padre Pio, St. Katarina dari Sienna, M. Vianney, dan St. P. Yulianus Eymard.       Melalui para kudus ini saya belajar betapa iman memberikan kita kepastian yang tak tergoyahkan mengenai Ekaristi. Ekaristi itu sedemikian besar sehingga tak seorang pun dapat menginginkan sesuatu lain yang lebih besar. Sebagaimana St. P. Yulianus Eymard menyatakan di akhir ajalnya bahwa kita sudah memiliki Ekaristi, sehingga tidak ada lagi yang kita perlukan. Saya sungguh terkesan dengan penghayatan para kudus ini dalam mencintai Ekaristi. Saya hanya memiliki gagasan Allah yang Mahabesar, tetapi tidak mampu merasakan cinta-Nya. Sedangkan bagi mereka, Ekaristi adalah Cinta yang melampaui segala cinta di surga dan di bumi.
            Beberapa waktu setelah itu, kami para frater diosesan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Mgr. Suharyo secara pribadi. Dalam pertemuan itu saya dapat berbagi cerita mengenai pergulatan dan sukacita menjalani panggilan sebagai calon imam di Jakarta. Tak lupa pula saya menceritakan pergulatan yang saya hadapi selama ini berkaitan dengan Ekaristi. Dengan sangat bangga saya menceritakan segala “penemuan” rohani di atas kepada beliau. Mgr. Suharyo mendengar semua uraian saya dengan tersenyum, lalu bertanya. “Frater, apa arti Ekaristi itu?” Dengan cepat dan mantap saya menjawab bahwa Ekaristi berasal dari bahasa Yunani, Eucharistia yang artinya ucapan syukur. Kemudian, Mgr. Suharyo kembali bertanya, “Apakah sampai saat ini frater sudah mensyukuri hidup frater?” Kini, giliran saya yang tersipu malu karena tidak pernah memikirkan hal yang sederhana namun begitu mendalam itu.
            Pada pertemuan itu, Mgr. Suharyo menekankan bahwa segala usaha yang saya lakukan itu baik. Tetapi hal itu akan semakin baik bila saya mampu mensyukuri hidup ini. Ada banyak hal yang dapat disyukuri dalam hidup kita. Mulailah mensyukuri sukacita, penderitaan, sakit, harapan, kesedihan, kemalangan dan keberuntungan kita. Hidup manusia itu sungguh kaya untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Dan melalui Ekaristi kita dapat mempersembahkan semuanya kepada Tuhan.

Sumber Air yang Tidak Pernah Mengering
            Akhirnya, saya yakin bahwa sepenggal pengalaman yang saya sampaikan di atas bukanlah akhir dari pergulatan saya dalam menghayati Ekaristi. Saya sungguh menyadari bahwa semua upaya yang saya lakukan untuk menghayati Ekaristi merupakan proses jatuh-bangun sehingga setiap pergulatan saya tidak pernah berhenti. Karenanya, saya semakin yakin bahwa Allah tetap mendampingi seluruh pergulatan hidup yang  saya hadapi. Kehadiran-Nya menjadi nyata dalam Ekaristi yang saya terima setiap hari, sampai akhirnya nanti saya turut serta dalam perjamuan kudus di surga.
            Sungguh agunglah Ekaristi itu. Saya percaya bahwa Ekaristi ibarat sumber air yang tidak pernah mengering dan di dalamnya tercurahlah air yang tidak akan habis kesegarannya. Air ini begitu kaya, sebab sekali kita meminumnya, kita tidak akan berkuasa menahan dorongan tubuh kita sendiri yang memintanya terus. Hal ini persis seperti perempuan Samaria yang dengan penuh kekaguman meminta air hidup kepada Yesus sehingga pada akhirnya jiwa kita selalu disegarkan (Yoh 4: 14). Sungguh Ekaristi menjadi air kehidupan yang penuh “misteri”.