15 Januari 2008

Selibat Bentuk Solidaritas Orang Yang Terpinggirkan (Relevansi Kanon 599):mirifica.net

Rm. D. Gst. Bgs. Kusumawanta, Pr

Pengantar

Selibat adalah sebuah bentuk panggilan hidup. Dalam konteks ini selibat memiliki makna penyerahan hidup, pembaktian hidup yang murni dan total kepada Tuhan demi Kerajaan Allah. Pembaktian hidup yang murni dan total terwujud dalam hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Hal tersebut menegaskan pada makna kanon 599 yang berbunyi: “Nasihat Injili kemurnian yang diterima demi Kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat”. Apakah selibat masih relevan di jaman ini? Dengan kata lain apakah panggilan hidup membiara atau panggilan hidup menjadi imam di jaman ini masih memiliki daya tarik bagi kaum muda? Apa makna selibat bagi orang yang terpinggirkan yang merupakan opsi pilihan Gereja Katolik?

Selibat dan hidup yang dibaktikan

Merujuk pada kanon pembuka bagian III tentang Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan dari KHK 1983, yakni kanon 573 § 1, yang berbicara tentang apa itu tarekat hidup bakti (La Vita Consecrata), kita dapat menelusuri makna selibat dalam kaitannya dengan Hidup yang dibaktikan. Kanon 573 § 1 menyatakan bahwa “hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injil adalah bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang atas dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai…”. Dari pernyataan itu dapatlah ditarik makna selibat pada umumnya merupakan pilihan hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah (bdk. Mat. 19:12). Kata dibaktikan (consecrare) mempunyai arti luas bisa menguduskan, menakdiskan, menarik diri dari dunia dan secara khusus diperuntukan bagi Allah (bdk. LG, 44; VC, 30). Tujuan dari hidup selibat dalam kaitannya dengan pilihan hidup yang dibaktikan adalah mengikuti Kristus secara lebih dekat (pressius), semuanya itu karena motivasi yang didorong oleh kuasa Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus, kehidupan selibat tidak akan tercapai dengan sempurna. Selain itu tujuan hidup selibat dalam konteks hidup yang dibaktikan adalah persembahan diri secara total kepada Allah yang dicintainya. Jadi selibat adalah sebuah karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada seseorang yang terpanggil mengikuti Kristus secara lebih dekat.

Selibat bentuk solidaritas

Nasihat Injil tentang kemurnian yang tidak lain adalah selibat diterima demi kerajaan Allah, menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi…(bdk. kan. 599). Karunia rahmat istimewa yang diberikan kepada orang selibater secara istimewa pula membebaskan hati manusia (bdk. 1 Kor 7:32-35), supaya hatinya berkobar mencintai Allah dan semua orang. Maka pilihan hidup yang demikian itu merupakan tanda yang amat khas, harta surgawi bagi kaum selibater yang membaktikan hidupnya bagi Allah dan kerasulan Gereja (bdk. PC, 12). Kebebasan hati tidak terikat oleh siapapun dan apapun karena hidupnya diserahbaktikan kepada Allah menjadi bentuk solidaritas bagi mereka yang bernasib kurang beruntung. Tanda solidaritas dari orang selibater itu nyata dalam sikap lepas bebas pada hal-hal duniawi dan melulu perhatian hidupnya bagi Allah dan sesama. Di bumi Indonesia ini banyak orang yang terpinggirkan, baik oleh karena hidupnya yang kurang beruntung maupun secara struktural terpinggirkan oleh kekuasaan. Mereka adalah kaum anawim seperti keluarga kudus di Nazareth: Maria, Yusuf dan Yesus sendiri. Hidup keluarga kudus di Nazareth selalu di bawah bayang-bayang tekanan penguasa sehingga berkali-kali harus mengungsi dan terpinggirkan. Mereka yang tergolong orang terpinggirkan adalah orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah dan lainnya. Mereka terpinggirkan karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan hidup keagamaan.

Relevansinya di zaman sekarang

Tentang hidup selibat, tantangan pertama datang dari kebudayaan hedonisme yang meceraikan seksualitas dari norma moral obyektif, yang menempatkan seksualitas sebagai kesenangan atau kenikmatan semata-mata tanpa melihat aspek rohaninya. Hidup selibat di jaman sekarang justru memiliki sifat profetis bagi kebudayaan hedonisme. Hidup selibat menyajikan kepada masyarakat zaman sekarang bahwa teladan hidup murni demi kerajaan Allah itu menampakan: (1) keseimbangan dan penguasaan diri, (2) bentuk solidaritas bagi orang yang terpinggirkan, (3) kematangan psikologis dan afektif. Maka di zaman sekarang hidup selibat menjadi kesaksian tunggal kehadiran Allah di dunia yang dibelenggu oleh kenikmatan seksual (bdk. PC, 12; VC, 88). Oleh karena itu, kehidupan selibat (kemurnian) yang diperuntukan bagi Allah tetap relevan dan memiliki daya tarik bagi kaum muda yang mendambakan kebebasan hati untuk mengabdi kepada Allah dan sesama manusia secara total dan utuh.

Penutup

Di dunia sekarang yang sering menimbulkan kesan bahwa orang sudah tidak melihat lagi tanda-tanda kehadiran Allah lagi, kesaksian hidup selibat semakin diperlukan untuk menegaskan Allah hidup di tengah-tengah umatnya terutama mereka yang mendambakan pembebasan hati, terlebih mereka yang terpinggirkan. Dengan hidup selibat, mereka menjadi tanda hidup masa depan langit baru dan bumi yang baru (bdk. Wahyu 21:1). Hidup selibat yang dijiwai oleh semangat lepas bebas dari ikatan dan pembaktian hidup secara murni kepada Allah menjadi dorongan yang berharga bagi kaum selibater untuk selalu solider dengan orang yang terpinggirkan yakni kaum miskin dan tertindas.

Sertifikasi Guru: Harga Mahal bagi Guru yang Hebat

I Wayan Artika

Uji sertifikasi guru kini berada di antara harapan dan ketidakmungkinan. Semula sertifikasi guru dianggap enteng-enteng saja. Kenyataannya, hingga saat ini rupanya hal itu belum sepenuhnya berjalan, terutama disebabkan oleh kendala teknis.

Sejalan dengan itu, di lapangan, guru-guru pada umumnya pesimistis karena untuk lolos uji sertifikasi ternyata tidak mudah. Siapakah mereka yang pesimistis itu?

Mereka adalah guru-guru yang telah dikonstruksi "dalam mitos yang serba buruk" dalam profesi kependidikan dan kepengajaran di negara ini. Merekalah tipe guru kita yang senyatanya, yang diberi tugas amat "berat" oleh negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena tanpa idealisme dan nasionalisme yang menjadi spirit jiwanya, guru-guru kita sama saja dengan para buruh di pabrik sepatu.

Guru-guru kita adalah guru-guru yang serba tertinggal: tertinggal informasi mutakhir dalam bidangnya dan tertinggal teknologi. Hal ini lebih nyata lagi dalam kehidupan guru-guru di daerah, di pedesaan dan pesisir, atau di daerah-daerah yang jauh dari kota. Segala rupa ketertinggalan itulah "diwariskan" kepada murid-murid di kelasnya. Murid pun dididik di tengah iklim panjang serba ketertinggalan.

Guru-guru Indonesia adalah guru-guru yang tidak mau lagi belajar, membaca, dan berpikir. Sesuatu yang harus dilakukan secara mandiri, yang harus dilakukan sebagai kesadaran diri, yang harus dilakukan sebagai panggilan mulia.

Sejak mendapatkan nomor induk pegawai alias NIP, guru memulai kehidupan di sekolah-sekolahnya dan di masyarakat tempat mereka tinggal dengan stagnasi. Guru Indonesia tidak lagi belajar untuk dirinya sendiri, yang berkontribusi besar bagi murid-muridnya. Guru Indonesia tidak lagi membaca buku, majalah atau surat kabar, apalagi melakukan akses internet. Kalau ditelusuri, guru pasti berkilah bahwa di daerahnya bertugas, bacaan, buku, koran, dan sejenisnya tidak mudah diperoleh. Apalagi internet. Guru awam komputer dan internet.

Pemerintah Indonesia sadar, semampu keuangan negara, kualitas guru senantiasa ditingkatkan. Misalnya dengan penyelenggaraan seminar-seminar, lokakarya, pelatihan, dan penataran. Di lapangan justru ditemukan kondisi yang sebaliknya; seminar, lokakarya, pelatihan itu menjadi ritual.

Ketika guru ditunjuk menjadi peserta, mereka sama sekali tidak menyambutnya dengan kegairahan, tetapi dengan rasa malas. Jadi, guru tidak memiliki niat meremajakan dan mengembangkan dirinya sebagai SDM berkualitas. Hal lain, pada konteks ini, sambutan guru soal ini adalah, "Ada uang saku?"

Setelah di dalam kegiatan ilmiah atau di suatu pelatihan yang telah direncanakan dengan sebaik mungkin oleh panitia, guru-guru, peserta, mencampuri kerja panitia. Akhirnya, terjadilah pemadatan jadwal. Jika keinginan guru dituruti, kegiatan semacam itu dilakukan secara fiktif saja. Guru-guru siap menandatangani daftar hadir. Hal ini sering kita temukan. Ide baik penyelenggaraan kegiatan peningkatan kualitas guru pun tidak pernah dicapai karena guru-guru selalu diberi fasilitas untuk menolaknya.

Guru yang andal

Di balik kenyataan tersebut, bangsa ini masih memiliki sedikit guru yang andal. Guru-guru yang penuh dedikasi bagi bangsa ini. Guru-guru yang sadar akan pilihan profesinya, yang tidak henti belajar dan menjadikan guru sebagai pilihan profesinya. Mereka adalah guru-guru yang menikmati pekerjaannya dan bertanggung jawab atas pilihannya sebagai guru. Mereka ini sama sekali tidak menganggap kerja guru sebagai sambilan. Guru-guru yang benar-benar bekerja secara total.

Pemerintah juga tidak berdalih dalam hal mutu guru-guru Indonesia. Pemerintah berbesar hati mengakui bahwa kualitas guru Indonesia pada umumnya sangat rendah. Peningkatan kualitas guru adalah isu terpenting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Ujungnya adalah uji sertifikasi guru. Semula, ketika pada awal digulirkan, guru menyambutnya dengan gempita. Mereka memandang hal ini sebagai hak istimewa bagi guru dan bersifat pemerataan, bukan sebagai suatu kompetisi peningkatan karier atau harga mahal bagi suatu kualitas guru yang distandarkan. Pemerintah juga tidak gegabah dan tidak "pemurah hati" dalam soal ini.

Di mata guru Indonesia pada umumnya, uji sertifikasi adalah "revolusi" peningkatan gaji guru. Inilah yang dipahami oleh guru Indonesia. Padahal, ini adalah pilihan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan bangsa ini. Guru yang bagus mendapatkan "imbalan" atau penghargaan yang lebih nyata (berupa gaji yang dibayarkan) dari negara, tidak lagi berupa simbol-simbol (lencana, piagam, trofi, dan lain-lain).

Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah guru di Bali yang telah "ditunjuk" tengah menyiapkan satu portofolio dalam rangka uji sertifikasi. Ada sepuluh butir isian beserta rinciannya, harus pula dilampiri bukti-bukti fisik yang sah. Portofolio itu merekam dan mendokumentasi kinerja guru dalam suatu periode. Hal ini tidak sulit jika guru benar-benar berdedikasi tinggi dalam bidangnya.

Yang patut dipertimbangkan adalah bagaimana tim penilai portofolio itu bekerja. Apakah sanggup menembus etika buruk guru karena memalsukan suatu dokumen prestasi atau dokumen kinerjanya?

Guru malas menulis

Pada salah satu item portofolio itu diminta agar guru menuliskan buku, diktat, serta modul pembelajaran yang telah disusunnya minimal dalam satu semester dan telah diterbitkan di tingkat nasional, lokal, atau daerah. Hal ini sangat sulit dipenuhi karena guru paling antimenulis. Pokoknya, dalam butir "karya tulis" pasti banyak guru Indonesia yang gagal.

Kalau benar adanya bahwa sepuluh butir portofolio tersebut dan telah distandarkan, uji sertifikasi guru tidaklah sesuatu yang sulit atau sesuatu yang tidak mungkin. Bagi guru yang belum menjalani uji sertifikasi, lima tahun ke depan harus menyiapkan diri, bekerja dengan baik, menulis buku, menyelenggarakan penelitian, melakukan bimbingan terhadap teman sejawat, mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, dan lain-lain, yang dilakukan demi peningkatan kualitas diri dan persembahan terbaik kepada murid-muridnya.

Portofolio tersebut tidak bisa diisi dalam setahun karena banyak butir yang diminta. Itu adalah rekaman atau dokumentasi kinerja guru. Itu dinilai atau dikaji oleh tim penilai, lalu dihargai, untuk dicatat berapa poin yang dicapai. Poin itu, dalam perjalanannya, bisa bertambah bisa juga berkurang, bergantung pada kinerja guru. Jadi, kehidupan guru-guru Indonesia dalam pekerjaannya menjadi lebih dinamis dan tidak stagnan sebagaimana saat ini.

Di sini, guru harus mengubah pandangannya soal sertifikasi. Bukan gaji tinggi sebagai yang pertama, melainkan kinerja yang hebat, bernilai tinggi, dan inilah yang patut kiranya dihargai mahal oleh negara. Dalam hal ini, negara berasumsi, semua itu akan berdampak sangat baik terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa.

I Wayan Artika Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali

Spe Salvi: Tentang Harapan: dari mirifica.net


14 Desember 2007 - 11:03
Spe Salvi: Tentang Harapan

Memasuki masa Adven, tepatnya tanggal 30 November 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan Ensiklik keduanya. Ensiklik itu berjudul, Spe Salvi. Ensiklik tersebut menegaskan kembali pentingnya kebutuhan akan harapan dalam masyarakat modern dan pentingnya umat Kristiani memulihkan arti harapan yang sebenarnya.

Paus memulai ensiklik 75 halamannya dengan menjelaskan bahwa “rahmat, sekalipun itu tidak mudah, dapat dihayati dan diterima jika tertuju kepada suatu tujuan dan jika tujuan itu diyakini benar dalam pencapaiannya”. Spe Salvi merupakan harta karun yang amat kaya dalam pembelajaran Paus, dengan referensi kehidupan para kudus dan Bapa Gereja. Ensiklik tersebut mengulas kebijaksanaan dan keutamaan harapan. Bapa Suci mengatakan, ”Pintu serba gelap tentang waktu, tentang masa depan, telah terbuka. Seseorang yang memiliki harapan akan hidup dengan cara yang berbeda. Seseorang yang memiliki harapan dianugerahi hadiah hidup baru.”

Tentu saja, hal ini memunculkan pertanyaan, apa itu harapan? Paus menulis bahwa untuk mengenal Tuhan, Tuhan yang benar, berarti menerima harapan. Namun harapan kristiani berbeda. Mengacu pada Kitab Suci Perjanjian Baru, Paus menulis, Kekristenan tidak membawa pesan revolusi sosial seperti yang telah membawa sial bagi Spartacus, yang berjuang hingga mengakibatkan pertumpahan darah. Yesus bukanlah Spartacus, Dia tidak mengadakan pertempuran demi pembebasan politis. "Yesus… membawa sesuatu samasekali berbeda, ialah suatu persekutuan dengan Tuhan segala raja, suatu persekutuan dengan Tuhan yang hidup dan yang berkombinasi dengan harapan yang lebih kuat daripada penderitaan para budak. Suatu harapan yang karenanya mengubah hidup dan dunia dari dalam," demikian penjelasannya. "Hal ini jelas bukan menunjuk pada suatu roh dasar alam semesta, yang memerintah umat manusia dan dunia, melainkan Tuhan. Dialah yang menguasai alam semesta. Bukan zat dan evolusi yang menentukan segalanya, tetapi akal budi, kehendak, cinta Allah"

Gagasan Kekristenan semacam itu mempengaruhi dunia, karena, “kuasa dahsyat unsur-unsur material yang tak dapat diubah, tidak lagi berkuasa. Karena manusia bukanlah budak dari alam semesta dan hukum-hukumnya. Manusia justru memiliki kehendak bebas." Umat Kristiani memiliki harapan hanya karena Yesus yang "mewartakan siapakah sebenarnya manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia agar sungguh-sungguh menjadi manusia bagi sesama”.

Sebagaimana ditulis dalam Kitab Ibrani 11:1, Bapa Suci menunjukkan pengaruh positif iman. "Iman bukanlah melulu suatu upaya menusia mencari sesuatu yang di luar dirinya dan sesuatu yang samasekali tidak jelas. Iman, pada saat ini pun, justru memberi kita sesuatu yang nyata, yang selama ini kita cari. Iman itu pula yang memberi sebuah “bukti” tentang berbagai hal-hal yang masih tidak terlihat. "Iman," tulis Paus, "memberi basis baru dalam kehidupan. Ialah suatu pondasi baru yang di atasnya kita dapat berdiri, sesuatu yang merelatifkan hal-hal material yang selama ini jadi andalan.

Kehidupan Kekal

Ensiklik Paus tersebut bukan sesuatu yang abstrak. Paus memfokuskan pembahasan tentang kehidupan Kristiani modern. Paus mengajukan beberapa pertanyaan penting: Bagaimana kita menghidupi iman Kristiani dalam kehidupan? Apakah itu hidup yang berubah dan hidup yang memelihara harapan?” Bahkan yang lebih penting, ”Apakah kita sungguh-sungguh menginginkan hidup kekal?”

"Barangkali, saat ini banyak orang yang menolak iman hanya karena tidak melihat dan menemukan prospek yang menarik tentang kehidupan kekal,” demikian dugaan Paus, ”Memang yang dibutuhkan manusia tidak hanya hidup kekal, tetapi hidup saat ini, sehingga gagasan hidup kekal dipandang sebagai suatu yang sulit. Karena itu, untuk melanjutkan kehidupan selamanya, sampai akhir, gagasan hidup kekal lalu dipandang sebagai kutuk daripada berkat”

Konsekuensinya, ”ada pertentangan dalam sikap kita, yang menunjuk ke suatu pertentangan eksistensial mendalam dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, kita tidak ingin mati; demikian pula mereka yang mencintai kita, tidak ingin kita mati. Namun di sisi lain, kita ingin melanjutkan hidup dengan tanpa terbatas. Apakah memang dunia diciptakan seperti itu, lalu apa yang sebenarnya kita inginkan?"

Untuk menjawab pertanyaan mendalam seperti ini, Spe Salvi mengacu pada pendapat St. Agustinus, yang mengatakan bahwa, "akhirnya yang sungguh-sungguh kita inginkan hanya satu hal, “hidup yang terberkati, hidup yang sederhana, ialah ' kebahagiaan."

Iman Dan Harapan Jaman Modern

Bapa Suci memulai uraiannya tentang pemahaman Kristiani modern tentang harapan dengan bertanya, apakah harapan umat Kristiani bersifat individual? Dengan kata lain, apakah keselamatan seseorang tergantung hanya pada kehidupan pribadi seseorang, atau tergantung pada pelayanannya kepada sesama? Berkaitan dengan pertanyaan tentang sifat personal keselamatan, Sri Paus bertanya, "Bagaimana kita sampai pada penafsiran semacam ini tentang keselamatan jiwa dan bagaimana cara kita memahami bahwa gagasan Kristen sebagai suatu pencarian egois demi keselamatan yang menolak gagasan melayani sesama?”. "Visi yang terencana telah disempitkan di masa modern dan mengakibatkan krisis iman masa kini yang juga dapat disebut sebagai kisis harapan Kristiani,” kata Paus.

Dalam perkembangan dari tahun ke tahun, ideologi kemajuan menganggap bahwa bahwa kebahagiaan terletak pada hal yang bisa dilihat, sesuai potensi yang ada dalam diri manusia yaitu suatu konfirmasi iman, sebagaimana yang berlangsung saat ini,” Pada saat yang sama, dua kategori semakin popular sebagai ukuran kemajuan, ialah akal budi dan kehendak bebas. Hasil pemikiran ini ialah, “kemajuan selalu terkait dengan perkembangan dominant akal budi, dan akal budi dianggap sebagai suatu kekuatan yang baik dan suatu kekuatan untuk kebaikan.”

”Kemajuan dengan demikian adalah kesalingtergantungan, ialah kemajuan menuju kebebasan yang sempurna." Sehingga, "dua konsep utama, akal budi dan kehendak bebas secara diam-diam telah ditafsirkan secara bertentangan dengan iman dan Gereja," kata Paus. Harus diakui, perkembangan ilmu pengetahuan modern telah mengurung iman dan harapan personal. Namun justru karena itu, semakin kelihatan bahwa dunia dan manusia jaman ini memerlukan Tuhan, ialah Tuhan yang benar. Ilmu pengetahuan memang mendukung kehidupan manusia, tetapi tidak mampu menembus sisi terdalam kehidupan manusia.

Tepatlah jika, manusia ditebus hanya oleh kasih. Kasih itulah yang membingkai hidup sosial sebagai baik dan indah, dilengkapi sebuah harapan yang besar, pasti, penuh, dijamin Allah dan demi Allah yang adalah kasih. Allah itulah yang rela merendahkan diri dalam sosok Yesus, yang memberikan hidupNya demi keselamatan manusia dan di dalam Yesus pula manusia akan kembali pada akhir jaman. Hanya dalam Yesus kita menaruh harapan dan hanya dalam Dia kita menantikan kepenuhan harapan. Bersama Bunda Maria, BundaNya, Gereja menyongsong Sang Pengantin. Karena Yesus lebih dulu melakukan itu semua dengan penuh kasih, harapan dan iman yang ditunjukkan dalam kasih nyata. Sebuah kehadiranNya yang berdaya guna demi keselamatan manusia.

Implikasi Politis

Sebagaimana kita ketahui, gagasan baru tentang kemajuan telah mengakibatkan perubahan bersejarah. "Spe Salvi" menunjuk "dua langkah-langkah penting dalam perwujudan politis tentang harapan. Karena, kedua akal budi dan kehendak bebas, sangat penting dalam pengembangan harapan Kristiani.

Perkembangan yang pertama ialah “Revolusi Perancis - suatu usaha untuk penerapan akal budi dan kehendak bebas sebagai kenyataan politis." Sepanjang abad kedelapanbelas, masyarakat “mempertahankan imannya dalam perkembangan jaman sebagai bentuk baru harapan manusia”. "Meskipun demikian," Puas mengisahkan, "perkembangan teknis dan industrialisasi yang sangat cepat mengakibatkan munculnya situasi sosial baru yang cepat pula: muncul kelas pekerja industri tertindas, yang disebut “kaum buruh industri”.

"Setelah revolusi kaum kaya pada tahun 1789 itu, tibalah giliran munculnya suatu revolusi baru, ialah revolusi kaum buruh"… "Karl Marx menggagas rapat umum dan mempromosikan pemikiran dan analisanya yang tajam untuk membentuk kelompok mayoritas baru ini. Gagasannya tentang sejarah, jelas-jela demi keselamatan manusia. Janjinya, analisanya dan pemikirannya yang jernih tentang perubahan radikal, masih menjadi daya tarik yang belum punah”

Paus menyimpulkan "namun dalam gagasan Marx tentang kemenangan revolusi, justru kesalahan pokok Marx menjadi semakin jelas. Ia lupa bahwa manusia tetaplah manusia. Ia menafsirkan secara salah mengenai manusia dan kebebasan manusia. Ia lupa bahwa kebebasan selalu berpeluang menjadi kebebasan negatif yang sangat liar. Marx berpikir jika suatu saat sistem ekonomi diatur dengan rapi, segalanya akan secara otomatis teratur dengan rapi. Padahal tidak demikian. Kesalahan Marx yang terutama ialah gagasan tentang materialisme: manusia tidak melulu hasil kondisi-kondisi ekonomi dan tidaklah mungkin menebus manusia tanpa menciptakan suatu lingkungan ekonomi baik."

Mungkin Meskipun Sulit

Keutamaan teologal tentang harapan terarah kepada keselamatan dan visi kebahagiaan. Semua itu hanya dapat diperoleh seseorang hanya karena rahmat Tuhan. Hal ini dikatakan profesor filsafat dari University of America, Robert Sokolowski mengomentari Ensiklik baru Paus Benediktus XVI tersebut.

Ia mengatakan, "St. Thomas Aquinas, mempunyai beberapa keterangan sangat bagus tentang harapan. Ia menunjuk bahwa hal itu mengacu pada hal-hal yang mempunyai dua unsur: mungkin untuk mencapai, tetapi sulit. Jika sesuatu mustahil untuk dicapai, tentu kita tidak mengharapkan itu. Kita mungkin ingin bisa menjangkaunya, tetapi keinginan itu tipis akan berhasil. Tetapi kemudian pasrah.

Kita mengetahui bahwa kita tidak bisa mencapai kebaikan yang baik semacam itu."Sebaliknya, jika sesuatu itu mungkin dan mudah untuk dicapai, maka kita tidak mengharapkannya. Kita akan berlalu begitu saja dan melakukan begitu saja. Aku tidak berharap bahwa aku akan makan siang hari ini, kecuali jika aku dalam situasi sangat putus-asa, atau aku baru saja makan siang,” demikian ia mencontohkan.

Peran Iman

Pada jaman ini, pemahaman keutamaan teologal tentang harapan diarahkan pada visi kebahagiaan dan keselamatan manusia. Iman merupakan keutamaan teologal yang menyingkapkan kemungkinan itu kepada kita. .Iman mewahyukan kebenaran bahwa Tuhan telah menebus manusia dalam kematian dan kebangkitan Yesus. Iman membuat segala sesuatu mungkin dan dapat dimengerti sehingga kita sebaiknya hidup bersatu dalam Tritunggal Mahakudus. ”Kita bersatu dalam keputraan Yesus. Iman Gereja menunjukkan kepada kita bahwa tujuan akhir kita tidak hanya di dunia ini dan dalam komunitas manusia, tetapi persatuan di surga dalam kehidupan Illahi. Sehingga hidup ini menjadi serba mungkin. Namun, hal itu tidak mudah."

Sesungguhnya, tidak hanya sulit tetapi mustahil bagi kita, jika manusia mengandalkan kemampuan diri sendiri. Keselamatan manusia hanya karena karya Tuhan saja. Kita menyebutnya sebagai rahmat Tuhan semata. Karena itu, kita seharusnya tidak berharap di dalam diri kita sendiri, tetapi berharap di dalam Tuhan. Meskipun keselamatan itu karya dan rahmat Tuhan semata, namun berkatNya boleh kita alami.

Iman, Bukan Optimisme

"Keutamaan teologal tentang harapan berbeda dengan optimisme. Karena optimisme sifatnya duniawi. Layaknya sikap, di mana kita mengharapkan 'berbagai hal akan terjadi. Tentu hal ini bukan disposisi yang buruk, meskipun tidak realistis. Namun, hal-hal seperti itu merupakan suatu harapan duniawi, dalam kodrat manusia. Kita cenderung berpikir bahwa jika orang-orang melakukan kebebasan, akan tercipta kebaikan bersama. Inilah manfaat yang baik tentang harapan di balik gagasan demokrasi atau republik. Keduanya tampaknya tipe yang baik dalam urusan manusia, karena semakin banyak orang menyumbangkan talenta demi kebaikan bersama. Namun, "Teologi harapan meyakinkan tidak dalam konteks kodrat manusia, tetapi dalam relasi dengan Tuhan. Bukan pertama-tama dalam hubungan dengan manusia, tetapi dalam hubungan dengan keselamatan kekal”.

Dengan demikian, harapan kebaikan bersama menuntut syarat adanya keutamaan imanen, ialah menerima kebenaran-kebenaran Illahi, yang mewahyukan kepada kita dimensi yang sangat mungkin dari harapan. Karena, harapan pada gilirannya menggerakkan seseorang kepada cinta kasih, di mana manusia menanggapi kasih Tuhan. Manusia membalas mengasihiNya dan mengamalkan kasih kepada sesama. Itu semua hanya terjadi karena rahmat Tuhan semata. (A. Luluk Widyawan, Pr dari berbagai sumber)