08 Mei 2012

RENUNGAN KECIL TENTANG TUGAS BELAJAR


RENUNGAN KECIL TENTANG TUGAS BELAJAR
Fr. Uut

Pendahuluan
Di dalam bukunya yang berjudul “Courage to be Catholic”, George Weigel[1] menulis bahwa masalah Gereja Katolik di Amerika Serikat pada khususnya dan di penjuru dunia pada umumnya, adalah masalah permuridan. Identitas seorang murid terletak pada kesetiaannya mengikuti Sang Guru. Ketika Si Murid tidak lagi mengikuti Sang Guru, sebenarnya dia bukan lagi murid Sang Guru: entah ia menjadi guru bagi dirinya sendiri(otodidak) atau berguru pada yang lainnya. Begitulah yang sedang terjadi saat ini atas diri banyak murid Yesus: mereka melihat banyak hal lain, berguru pada beragam pusat rujukan, di luar Sang Guru Sejati. George Weisel merenungkan masalah permuridan kristiani ini di dalam konteks persoalan yang menggoncang kehidupan para imam di Amerika Serikat, yaitu masalah pelecehan seksual. Dengan pisau pengamatan yang tajam, ia mengurai satu per satu gulungan persoalan yang kusut itu. Dari sana ia menarik kesimpulan: entah awam, entah imam, entah uskup, semuanya berhadapan dengan satu masalah pokok, yaitu kesetiaan mengikuti Sang Guru.

Belajar – kesetiaan
Nah, kalau diminta merenungkan tentang tugas belajar yang sedang saya jalani, saya langsung ingat pada tulisan George Weisel di atas. Belajar itu susah-susah mudah. Susah kalau perhatian saya ditarik oleh banyak pesona yang lain di luar tugas utama. Mudah kalau bahan pelajaran itu sendiri menjadi pesona dan daya tarik bagi saya. Akan tetapi, kalau tugas belajar hanya disandarkan pada daya tarik, ya begitu jadinya. Yang akan terjadi adalah tarik tambang antara daya tarik yang satu dengan daya tarik yang lainnya. Persis di sini tugas belajar dapat dikaitkan dengan kesetiaan: sebosan dan sekering apa pun bahan pelajaran yang dihadapi, ia harus dihadapi dan didalami. Soal kegunaan di masa depan, itu urusan nanti. Akan tetapi perlu juga diperhatikan bahwa kesetiaan bukan berarti maju terus pantang mundur. Ini jurus kuda delman yang hanya bisa melihat ke depan dan satu arah. Untuk bisa setia, orang mesti kreatif. Bahan yang membosankan dan kering kerontang itu, demi pelaksanaan tugas, mestinya bisa digali dan diolah sehingga menjadi menarik; dihubung-hubungkan dengan berkas kuliah lainnya; dibuat pertanyaan dan penyelidikan, dan seribu satu macam cara lainnya.
Saya sendiri berjuang untuk menghidupkan bahan pelajaran yang saya terima selama ini. Sebisa mungkin, setiap materi yang ada saya kaitkan dengan situasi di tanah air pada umumnya dan di kota Jakarta serta Keuskupan Agung Jakarta pada khususnya. Kreativitas dapat dikembangkan kalau tantangan pastoral diketahui. Biasanya, orang jadi kreatif kalau ada kesulitan yang meminta jawaban. Sebab itu, informasi dan sarana komunikasi menjadi penting. Tanpa informasi tentang tanah air, sulit bagi saya memetakan tantangan yang ada di tanah air. Ingatan saja tidak cukup.  Berita dari tanah air yang saya dapatkan kemudian menjadi partner dialog bagi setiap mata kuliah yang saya terima. Tanpa dialog ini, pelajaran yang ada akan menjadi kering karena tidak punya wajah. Wajah dapat saya temui melalui informasi dan permenungan atas situasi tanah air. Wajah tanah air inilah yang menjadi daya dorong untuk terus setia.
 Membawa berita dan situasi tanah air ke dalam kelas ternyata dapat menciptakan daya tarik sendiri bagi setiap pelajaran yang saya ikuti. Sebagai contoh: semester yang baru lalu saya mengambil satu seminar yang membahas komunitas basis gerejawi. Di dalam seminar ini, kami mengupas setiap persoalan yang berkaitan dengan komunitas basis di negara kami masing-masing. Seminar menjadi menarik ketika setiap peserta menceritakan pengalaman mereka dalam berkomunitas. Di Kolombia, misalnya, nama komunitas basis erat dikaitkan dengan gerakan politik kiri sehingga banyak uskup di sana melarang gerakan semacam ini. Di Afrika, model komunitas basis tidak mengalami banyak kesulitan mengingat masih eratnya ikatan antara keluarga di dalam satu suku. Komunitas basis di Asia diakui memegang peranan penting sebagai wahana bagi terselenggaranya dialog antara Gereja dengan kebudayaan, dengan masalah keadilan sosial, dan dengan agama-agama lainnya. Saya sendiri mendapat kesempatan untuk menjelaskan peran komunitas basis bagi gerakan kaum buruh di kota metropolitan semacam Jakarta.
Singkat kata, tugas belajar pertama-tama tidak dikaitkan dengan daya tarik suatu pelajaran tetapi dikaitkan dengan kesetiaan menjalankan tugas yang sudah diberikan. Agar dapat setia, diperlukan kreativitas yang nantinya dapat membuka cakrawala baru di dalam mendekati suatu bahan yang semula dianggap kering. Tentu ini tidak hanya berlaku bagi tugas belajar, tetapi juga bagi kehidupan yang lebih luas.

Belajar -- Kerendahan Hati
Saya meraskan bahwa tantangan lain di dalam belajar, selain kesetiaan, adalah kerendahan hati. Halangan utama yang saya alami dalam belajar adalah merasa diri sudah tahu. Ketika saya merasa sudah tahu semuanya, tidak ada lagi kebutuhan untuk belajar dan akhirnya tugas belajar itu sendiri kehilangan makna, selain beban semata. Merasa diri sudah tahu menjadi awal bagi ketertutupan. Lantas, ketertutupan ini melanggengkan kenyataan bahwa saya itu sebenarnya tidak tahu. Ketika saya tertutup di dalam ketidaktahuan yang tidak saya sadari, di dalam diri saya lahir ketakutan. Dan pada akhirnya ketakutan menciptakan kekerasan. Kekerasan ini bisa mengambil wujud pemberontakan terhadap teguran atau pemberitahuan, debat kusir, mau menang sendiri di dalam diskusi, sampai kepada kekerasan fisik.
Sikap merasa diri sudah tahu bisa membuat orang tertidur di dalam kelas (walau tidak semua yang tidur di dalam kelas adalah mereka yang merasa diri sudah tahu), dalam arti sehebat apa pun professor yang sedang mengajar, bahan kuliah yang diajarkannya tidak punya daya tarik lagi. Sikap ini sama dengan menutup telinga dan budi atas kebaruan yang sebenarnya terjadi setiap waktu. Singkat kata, belajar, selain menuntut kesetiaan, juga menuntut kerendahan hati. Tepatlah kata Sokrates: pengetahuan diawali dari kekaguman. Orang bisa kagum kalau ia punya sikap terbuka (disimbolkan dengan mulut yang terngaga di hadapan kenyataan yang mengagumkan, sambil mengeluarkan suara…..aaahhh).
Saya merasa, belajar di Roma pun akan sia-sia kalau rasa ingin tahu yang sehat tidak dikembangkan. Di tempat di mana saya belajar, orang dapat menggali banyak hal: mulai dari bahasa baru (karena para pelajar datang dari beragam bangsa), soal komputer, soal ilmu pengetahun umum (yang bahannya dapat ditemukan dengan mudah di kios-kios pinggir jalan) sampai soal sejarah kota Roma sendiri. Tapi, tanpa rasa ingin tahu, tanpa kesadaran bahwa saya ini sebenarnya belum tahu banyak hal dan masih harus banyak belajar, semua itu tidak bersuara.
Rasa ingin tahu yang sehat bukan berarti setiap hal yang menarik lantas harus ditanggapi. Ingat butir pertama: kesetiaan pada bahan pelajaran yang wajib digumuli. Hal lain di luar tugas utama ini, menjadi nomor ke sekian. Tetapi, setia pada bahan kuliah tidak kemudian mematikan rasa ingin tahu ini. Sebisa mungkin, nah di sini kreativitas mulai mengambil peranan, setiap hal yang menarik tadi dikaitkan dengan bahan kuliah. Jadinya klop.

Penutup
Akhir kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa tugas belajar dapat dijalankan kalau di hadapan saya ada satu “wajah”. “Wajah” inilah yang membuat tugas belajar menjadi penting dan menyatukannya dengan kehidupan. “Wajah” ini dapat berwujud wajah banyak orang: yang haus akan bimbingan dan tuntunan untuk menemukan makna hidup, yang tidak punya pembela ketika hak mereka ditindas, yang butuh teman dan penghiburan…..yang akhirnya menjadi wajah Sang Guru Agung itu sendiri. Murid, atau orang yang belajar, adalah dia yang memandang “wajah” Sang Guru.
Roma, 16 Maret 2006                                                                                     


[1] Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Witness to Hope, yang merupakan suatu biografi atas kehidupan Paus Yohanes Paulus II. Bukunya tebal, tapi menarik. Cocok buat para penghuni Seminari Tinggi Yohanes Paulus II. Saya rekomendasikan (atau sudah jadi bahan diskusi di sana….semoga).