25 Mei 2012

Once Again!

Once Again!
Oleh: Fr. Fulgentius Rinto Krisjandika

Pengantar
Pada tanggal 15 Januari 2012 sampai dengan 15 Februari 2012, aku beserta kawan-kawanku menjalani kegiatan probasi luar[1]. Dalam kesempatan ini, aku belajar untuk menjalani dan merasakan kehidupan orang lain yang berjuang untuk bisa mencari nafkah (sesuap nasi). Namun, lebih dari itu, aku membawa visi-misi pribadi dalam probasi luar ini, yakni belajar untuk bisa hidup dengan fasilitas yang apa adanya dan belajar untuk tetap mampu hidup teratur dalam ketidakteraturan (mandiri). Bukan hanya itu saja, mengingat kegiatan ini juga merupakan proses dari formatio sebagai calon imam, aku mempunyai target yakni tetap bisa menjalin relasi dengan Gusti dalam ketidakteraturannya waktu itu. Bagiku, ini merupakan kesempatan untuk bisa belajar hidup mandiri baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan rohani. Hal ini sederhana tapi aku sadar, akan sulit untuk dilakukan.
Aku diutus bersama dengan Fr. Angga untuk menjalani probasi luar di P.T. Mitra Perkasa Ekatama, Bantar Gebang, Bekasi. Kami tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari tempat bekerja. Pimpinan di tempat kami bekerja bernama Bapak Budi, sedangkan pimpinan produksi bernama Bapak Herda.  Kami dibimbing oleh Bapak Panggung sebagai leader di bagian perakitan (assembling).

Menjelang Perutusan
Namun, apa yang aku rasakan sungguh berbeda. Sebelum aku berangkat tepatnya pada hari Minggu 15 Januari 2012, aku bersama empat orang teman mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Santa Anna, Duren Sawit. Sepanjang perayaan Ekaristi, aku merasa deg-degan atau bisa dikata aku merasa takut dan cemas karena aku belum mengetahui akan apa yang terjadi nanti. Aku cemas sehingga sungguh tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan tenang. Tiap kali aku merasa cemas, aku hanya minta tolong pada-Nya untuk memelukku hingga aku merasa tenang. Aku merasa sungguh memerlukannya. Selama misa, aku hanya bisa memohon dan memohon. Bukan aku ingin menuntut Tuhan, tapi memang inilah yang aku butuhkan saat ini. Namun, hingga perayaan Ekaristi berakhir, aku belum merasa siap untuk bisa memulai rangkaian probasi luar ini. Tapi, selesai perayaan Ekaristi, aku menyadari bahwa aku harus siap dalam memulai probasi luar ini.
Aku tidak akan pernah siap jika belum dimulai dan tidak dimulai. Maka hanya dalam doa aku mengucap kata siap dan mohon bantuan Tuhan ketika membawa tas nanti. “Tuhan tolong bantu aku membawa tas yang berat ini” batinku dalam hati. Tetapi, Tuhan tahu apa yang aku butuhkan saat itu. Tuhan memang murah hati. Dia tidak pergi meninggalkanku sendiri. Dia memberiku penghiburan ketika selesai berdoa. Ketika selesai berdoa, aku terkejut karena ada dua orang murid bina imanku yang langsung duduk bersebelahan dengan diriku. Aku berpikir bahwa mereka itu umat, tapi ternyata muridku sendiri yaitu Mona dan Angie. Kami pun sempat bercanda tawa sejenak dan aku diminta untuk menandatangani kartu tugas mereka. Akupun akhirnya pulang dengan perasaan yang sudah terhibur oleh-Nya. Aku pulang dengan ringan hati dan penuh rasa syukur karena kemurahan hati-Nya yang begitu nyata. “Gila…, ‘Bapak’ gua!”, teriakku dalam hati. Aku lihat Dia yang menghibur melalui dua orang murid itu. Tuhan memang punya banyak cara untuk bisa menjamah anak-anak-Nya.   
Akhirnya, aku dan beberapa teman berangkat untuk memulai ‘segalanya’. Meski tas yang aku bawa berat, tapi aku tidak merasa terbebani. Aku percaya Tuhan sudah membantuku untuk membawakan tas ini. Hingga akhirnya, aku ingin cepat-cepat sampai untuk menata dan melihat situasi lingkungan di tempat tinggal baruku. “Tuhan, aku mohon temani dan bantu aku menjalani petualangan formatio ini! Amin.”, doaku dalam hati.
Malam hari sebelum pergi tidur, aku mencoba untuk membaringkan badan dan menikmati alas tidurku kali ini. Kurasakan alas ini begitu kasarnya dengan bantal yang hanya berupa tas ransel saja. Yah…, inilah hidup yang apa adanya. Aku berdoa agar Tuhan memberikan istirahat yang hangat pula untuk teman-temanku lainnya. Kupejamkan mata dan kusyukuri semuanya.

Pergilah engkau diutus!
Pagi hari tepat pukul 06.00, aku terbangun dari tidur dan merasakan badanku yang pegal-pegal. Lagi-lagi aku merasakan sungguh, inilah hidup yang apa adanya. Akupun bangkit dan merasakan segarnya udara pagi hari. Sungguh menyegarkan dan menumbuhkan kembali semangatku. Aku bergegas mandi dan kubawa rasa syukurku ini dengan ibadat pagi (laudes). Setelah sarapan, kami pun bergegas menuju ke pabrik dan tepat pukul 08.00, bel berbunyi tanda waktunya sudah tiba bagiku.
Di hari pertama bekerja, tepatnya hari Senin 6 Januari 2012, pekerjaan diawali dengan briefing dari kepala produksi. Kami memperkenalkan diri, dan setelah itu briefing dari tiap-tiap leader. Setelah itu, kami minum susu kemudian langsung bekerja. Di hari pertama bekerja ini, aku mendapat tugas dari Pak Panggung untuk menyenai (membuat alur pada baut) baut panjang dan pendek yang akan digunakan untuk bike lift. Aku diajari dulu oleh Mas Febry, rekanku. Selama 8 jam aku belum dapat menyelesaikan semua baut yang harus disenai. Dengan rasa pegal dan lengket karena keringat yang terus mengucur, aku berusaha setia pada tugas ini. Bagiku, kali ini aku belajar untuk setia pada perutusan terutama pada suatu tugas. Jam istirahat sungguh menjadi jam siesta[2] bagi kami.
Selesai bekerja, aku hanya bisa berjalan dan merasakan lelah dengan badan yang lengket karena keringat. Ya, inilah yang namanya kerasnya bekerja. Meski demikian, di hari pertamaku bekerja, aku masih belum dapat menikmati tugas perutusanku ini. Aku selalu merasa untuk ingin cepat pulang dan berisitrahat.
Sementara itu, aku seperti mendapat teguran keras dari Tuhan sendiri karena ketika aku mengeluh, aku justru dapat melihat keceriaan para karyawan lain ketika bekerja. Pekerjaan mereka memang lebih berat tapi mengapa mereka tampak begitu tanpa bebannya dalam bekerja? Aku salut pada mereka. Maka aku harus segera berbenah.
Hari pertama kulalui dengan terus-menerus mengeluh. Hari berikutnya, dalam laudes kubawa permohonan agar dapat menikmati perutusan ini. Dan ternyata, kurasakan betapa baiknya Tuhan. Tuhan begitu peduli padaku. Tak menyangka bahwa Tuhan sungguh mengerti akan apa yang aku butuhkan. Aku sungguh merasakan ada kekuatan baru dalam diriku. Wow! Rasa pegal itu tak kurasakan lagi. Rahmat-Nya yang dulu pernah kurasakan ketika peregrinasi[3], kini kurasakan kembali. Keajaibannya selalu hadir pada setiap orang yang membutuhkannya! Mintalah maka kamu akan mendapat. Meski pekerjaan masih sama, tapi kini aku senang karena ketika bekerja aku juga dapat berelasi dengan beberapa karyawan di sana. Sebagian besar dari mereka adalah orang Jawa. Maka aku dapat dengan mudah masuk dalam cara mereka bercanda tawa. Bekerja dengan ringan hati inilah yang aku rasakan. Aku dapat menikmati setiap pekerjaan baru yang diberikan padaku. Bukan hanya menyenai, tapi aku juga dapat belajar untuk merakit bike lift, oil driner, exhaust bike pipe, menggerinda, special tool dan mem-packingnya juga. Aku mendapat perutusan untuk mengirim barang ke Yamaha di Pulo Gadung dan ke Departermen Kelautan di Slipi bersama Pak Gito. Bike lift merupakan pekerjaan yang paling berat dan butuh waktu yang lama, tapi kini aku bersyukur karena aku tetap dapat menikmati perutusanku terutama dalam bekerja. Itulah pekerjaan yang selama ini kudapatkan. Tuhan berkarya melalui banyak cara.
Beberapa kali aku salut pada Pak Panggung yang dengan setia dan sabar, membimbing dan mengajar kami. Aku bahkan merasa takut kalau-kalau kehadiranku justru merusak kinerja mereka. Namun melihat ketulusan hati Pak Panggung, aku bersyukur karena dapat belajar dari apa yang menjadi pekerjaanku. Akupun juga pernah ditegur oleh Pak Heri, salah satu karyawan di assembling. Aku ditegur karena masuk ke WC tanpa melepas alas kaki (sepatu). Aku tidak merasa terpuruk karena kesalahanku, tapi aku justru tersenyum penuh rasa syukur karena dengan demikian aku dapat mengerti peraturan yang ada. Pernah suatu sore, aku melihat kembali peristiwa (teguran) itu. Dan aku bersyukur karena bisa belajar untuk menerima kritikan orang lain. Maka aku harus berbenah. Maka dari itu, aku berusaha menjalani peraturan dengan sebaik mungkin. Paling tidak, aku sudah dapat melepas sepatu dan meletakkannya pada rak yang ada ketika hendak ke kamar mandi. Kini, aku merasa bukan karena aku yang berhasil, melainkan ini juga keberhasilan Tuhan dalam membimbingku.
Akupun juga pernah ditegur oleh Pak Panggung untuk berani bertanya terutama bertanya mengenai bahan-bahan yang diperlukan. Bagiku, teguran-teguran seperti ini membantu diriku untuk bisa lebih peka. Dengan begitu, aku benar-benar merasakan bahwa aku ini bekerja bukan menunggu pekerjaan. Hingga pada akhirnya, aku kembali bersyukur karena aku ternyata dapat bekerja denan totalitas sehingga beberapa kali aku dan Mas Febry dapat menyelesaikan suatu pekerjaan lebih cepat dari jadwal sehingga kami dapat membantu teman yang lain. Akupun akhirnya merasa puas dengan apa yang menjadi hasil dari pekerjaanku dan Mas Febry. Meskipun tetap merasakan lelah, tapi rasa puas tetap mempengaruhi perasaan dalam diriku.
Menyenangkan juga aku dapat merasakan turun ke dunia umat yang sesungguhnya. Ya, inilah salah satu situasi kehidupan umat di KAJ. Aku bahkan merasakan keindahan dapat hidup apa adanya di tengah situasi umat KAJ. Yang terpenting adalah rasa syukurku karena bisa belajar banyak dari indahnya kehidupan di luar. Aku justru tertantang untuk tetap hidup sederhana dalam kelimpahan ‘harta’.
Kini telah kurasakan bagaimana penyertaan-Nya yang Dia berikan pada anak-anak-Nya sampai pada akhir zaman itu. Karena percaya atau tidak, aku sudah merasakannya sendiri! Aku merasakannya lagi!


[1] Kegiatan bekerja dan tinggal di luar seminari (Wisma Puruhita) selama sebulan menjadi buruh, kuli, ataupun pekerja  lainnya.
[2] Waktu  tidur siang di seminari
[3] Peziarahan batin dengan berjalan kaki sejauh  min. 80 Km.