Once Again!
Oleh:
Fr. Fulgentius Rinto Krisjandika
Pengantar
Pada
tanggal 15 Januari 2012 sampai dengan 15 Februari 2012, aku beserta
kawan-kawanku menjalani kegiatan probasi luar[1].
Dalam kesempatan ini, aku belajar untuk menjalani dan merasakan kehidupan orang
lain yang berjuang untuk bisa mencari nafkah (sesuap nasi). Namun, lebih dari
itu, aku membawa visi-misi pribadi dalam probasi luar ini, yakni belajar untuk
bisa hidup dengan fasilitas yang apa adanya dan belajar untuk tetap mampu hidup
teratur dalam ketidakteraturan (mandiri). Bukan hanya itu saja, mengingat
kegiatan ini juga merupakan proses dari formatio sebagai calon imam, aku
mempunyai target yakni tetap bisa menjalin relasi dengan Gusti dalam ketidakteraturannya waktu itu. Bagiku, ini merupakan
kesempatan untuk bisa belajar hidup mandiri baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam kehidupan rohani. Hal ini sederhana tapi aku sadar, akan sulit
untuk dilakukan.
Aku
diutus bersama dengan Fr. Angga untuk menjalani probasi luar di P.T. Mitra
Perkasa Ekatama, Bantar Gebang, Bekasi. Kami tinggal di sebuah kontrakan yang
tidak jauh dari tempat bekerja. Pimpinan di tempat kami bekerja bernama Bapak
Budi, sedangkan pimpinan produksi bernama Bapak Herda. Kami dibimbing oleh Bapak Panggung sebagai leader di bagian perakitan (assembling).
Menjelang Perutusan
Namun,
apa yang aku rasakan sungguh berbeda. Sebelum aku berangkat tepatnya pada hari
Minggu 15 Januari 2012, aku bersama empat orang teman mengikuti perayaan Ekaristi
di Paroki Santa Anna, Duren Sawit. Sepanjang perayaan Ekaristi, aku merasa deg-degan atau bisa dikata aku merasa
takut dan cemas karena aku belum mengetahui akan apa yang terjadi nanti. Aku
cemas sehingga sungguh tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi dengan tenang.
Tiap kali aku merasa cemas, aku hanya minta tolong pada-Nya untuk memelukku
hingga aku merasa tenang. Aku merasa sungguh memerlukannya. Selama misa, aku
hanya bisa memohon dan memohon. Bukan aku ingin menuntut Tuhan, tapi memang inilah
yang aku butuhkan saat ini. Namun, hingga perayaan Ekaristi berakhir, aku belum
merasa siap untuk bisa memulai rangkaian probasi luar ini. Tapi, selesai
perayaan Ekaristi, aku menyadari bahwa aku harus siap dalam memulai probasi
luar ini.
Aku
tidak akan pernah siap jika belum dimulai dan tidak dimulai. Maka hanya dalam
doa aku mengucap kata siap dan mohon bantuan Tuhan ketika membawa tas nanti. “Tuhan
tolong bantu aku membawa tas yang berat ini” batinku dalam hati. Tetapi, Tuhan tahu apa yang aku
butuhkan saat itu. Tuhan memang murah hati. Dia tidak pergi meninggalkanku
sendiri. Dia memberiku penghiburan ketika selesai berdoa. Ketika selesai
berdoa, aku terkejut karena ada dua orang murid bina imanku yang langsung duduk
bersebelahan dengan diriku. Aku berpikir bahwa mereka itu umat, tapi ternyata
muridku sendiri yaitu Mona dan Angie. Kami pun sempat bercanda tawa sejenak dan
aku diminta untuk menandatangani kartu tugas mereka. Akupun akhirnya pulang
dengan perasaan yang sudah terhibur oleh-Nya. Aku pulang dengan ringan hati dan
penuh rasa syukur karena kemurahan hati-Nya yang begitu nyata. “Gila…, ‘Bapak’ gua!”, teriakku dalam
hati. Aku lihat Dia yang menghibur melalui dua orang murid itu. Tuhan memang
punya banyak cara untuk bisa menjamah anak-anak-Nya.
Akhirnya,
aku dan beberapa teman berangkat untuk memulai ‘segalanya’. Meski tas yang aku
bawa berat, tapi aku tidak merasa terbebani. Aku percaya Tuhan sudah membantuku
untuk membawakan tas ini. Hingga akhirnya, aku ingin cepat-cepat sampai untuk
menata dan melihat situasi lingkungan di tempat tinggal baruku. “Tuhan, aku
mohon temani dan bantu aku menjalani petualangan formatio ini! Amin.”, doaku dalam hati.
Malam
hari sebelum pergi tidur, aku mencoba untuk membaringkan badan dan menikmati
alas tidurku kali ini. Kurasakan alas ini begitu kasarnya dengan bantal yang hanya
berupa tas ransel saja. Yah…, inilah hidup yang apa adanya. Aku berdoa agar
Tuhan memberikan istirahat yang hangat pula untuk teman-temanku lainnya. Kupejamkan
mata dan kusyukuri semuanya.
Pergilah
engkau diutus!
Pagi
hari tepat pukul 06.00, aku terbangun dari tidur dan merasakan badanku yang pegal-pegal.
Lagi-lagi aku merasakan sungguh, inilah hidup yang apa adanya. Akupun bangkit
dan merasakan segarnya udara pagi hari. Sungguh menyegarkan dan menumbuhkan
kembali semangatku. Aku bergegas mandi dan kubawa rasa syukurku ini dengan ibadat
pagi (laudes). Setelah sarapan, kami pun
bergegas menuju ke pabrik dan tepat pukul 08.00, bel berbunyi tanda waktunya
sudah tiba bagiku.
Di
hari pertama bekerja, tepatnya hari Senin 6 Januari 2012, pekerjaan diawali
dengan briefing dari kepala produksi.
Kami memperkenalkan diri, dan setelah itu briefing
dari tiap-tiap leader. Setelah itu,
kami minum susu kemudian langsung bekerja. Di hari pertama bekerja ini, aku
mendapat tugas dari Pak Panggung untuk menyenai (membuat alur pada baut)
baut panjang dan pendek yang akan digunakan untuk bike lift. Aku diajari
dulu oleh Mas Febry, rekanku. Selama 8 jam aku belum dapat menyelesaikan semua
baut yang harus disenai. Dengan rasa pegal dan lengket karena keringat yang
terus mengucur, aku berusaha setia pada tugas ini. Bagiku, kali ini aku belajar
untuk setia pada perutusan terutama pada suatu tugas. Jam istirahat sungguh
menjadi jam siesta[2]
bagi kami.
Selesai
bekerja, aku hanya bisa berjalan dan merasakan lelah dengan badan yang lengket
karena keringat. Ya, inilah yang namanya kerasnya bekerja. Meski demikian, di
hari pertamaku bekerja, aku masih belum dapat menikmati tugas perutusanku ini.
Aku selalu merasa untuk ingin cepat pulang dan berisitrahat.
Sementara
itu, aku seperti mendapat teguran keras dari Tuhan sendiri karena ketika aku
mengeluh, aku justru dapat melihat keceriaan para karyawan lain ketika bekerja.
Pekerjaan mereka memang lebih berat tapi mengapa mereka tampak begitu tanpa
bebannya dalam bekerja? Aku salut pada mereka. Maka aku harus segera berbenah.
Hari
pertama kulalui dengan terus-menerus mengeluh. Hari berikutnya, dalam laudes kubawa permohonan agar dapat
menikmati perutusan ini. Dan ternyata, kurasakan betapa baiknya Tuhan. Tuhan
begitu peduli padaku. Tak menyangka bahwa Tuhan sungguh mengerti akan apa yang
aku butuhkan. Aku sungguh merasakan ada kekuatan baru dalam diriku. Wow! Rasa
pegal itu tak kurasakan lagi. Rahmat-Nya yang dulu pernah kurasakan ketika peregrinasi[3],
kini kurasakan kembali. Keajaibannya selalu hadir pada setiap orang yang
membutuhkannya! Mintalah maka kamu akan mendapat. Meski pekerjaan masih sama,
tapi kini aku senang karena ketika bekerja aku juga dapat berelasi dengan
beberapa karyawan di sana. Sebagian besar dari mereka adalah orang Jawa. Maka
aku dapat dengan mudah masuk dalam cara mereka bercanda tawa. Bekerja dengan
ringan hati inilah yang aku rasakan. Aku dapat menikmati setiap pekerjaan baru
yang diberikan padaku. Bukan hanya menyenai, tapi aku juga dapat belajar
untuk merakit bike lift, oil driner, exhaust bike pipe, menggerinda, special
tool dan mem-packingnya juga. Aku
mendapat perutusan untuk mengirim barang ke Yamaha di Pulo Gadung dan ke
Departermen Kelautan di Slipi bersama Pak Gito. Bike lift merupakan
pekerjaan yang paling berat dan butuh waktu yang lama, tapi kini aku bersyukur karena
aku tetap dapat menikmati perutusanku terutama dalam bekerja. Itulah pekerjaan
yang selama ini kudapatkan. Tuhan berkarya melalui banyak cara.
Beberapa
kali aku salut pada Pak Panggung yang dengan setia dan sabar, membimbing dan
mengajar kami. Aku bahkan merasa takut kalau-kalau kehadiranku justru merusak
kinerja mereka. Namun melihat ketulusan hati Pak Panggung, aku bersyukur karena
dapat belajar dari apa yang menjadi pekerjaanku. Akupun juga pernah ditegur
oleh Pak Heri, salah satu karyawan di assembling.
Aku ditegur karena masuk ke WC tanpa melepas alas kaki (sepatu). Aku tidak
merasa terpuruk karena kesalahanku, tapi aku justru tersenyum penuh rasa syukur
karena dengan demikian aku dapat mengerti peraturan yang ada. Pernah suatu
sore, aku melihat kembali peristiwa (teguran) itu. Dan aku bersyukur karena
bisa belajar untuk menerima kritikan orang lain. Maka aku harus berbenah. Maka
dari itu, aku berusaha menjalani peraturan dengan sebaik mungkin. Paling tidak,
aku sudah dapat melepas sepatu dan meletakkannya pada rak yang ada ketika
hendak ke kamar mandi. Kini, aku merasa bukan karena aku yang berhasil,
melainkan ini juga keberhasilan Tuhan dalam membimbingku.
Akupun
juga pernah ditegur oleh Pak Panggung untuk berani bertanya terutama bertanya
mengenai bahan-bahan yang diperlukan. Bagiku, teguran-teguran seperti ini
membantu diriku untuk bisa lebih peka. Dengan begitu, aku benar-benar merasakan
bahwa aku ini bekerja bukan menunggu pekerjaan. Hingga pada akhirnya, aku
kembali bersyukur karena aku ternyata dapat bekerja denan totalitas sehingga
beberapa kali aku dan Mas Febry dapat menyelesaikan suatu pekerjaan lebih cepat
dari jadwal sehingga kami dapat membantu teman yang lain. Akupun akhirnya
merasa puas dengan apa yang menjadi hasil dari pekerjaanku dan Mas Febry.
Meskipun tetap merasakan lelah, tapi rasa puas tetap mempengaruhi perasaan
dalam diriku.
Menyenangkan
juga aku dapat merasakan turun ke dunia umat yang sesungguhnya. Ya, inilah
salah satu situasi kehidupan umat di KAJ. Aku bahkan merasakan keindahan dapat
hidup apa adanya di tengah situasi umat KAJ. Yang terpenting adalah rasa
syukurku karena bisa belajar banyak dari indahnya kehidupan di luar. Aku justru
tertantang untuk tetap hidup sederhana dalam kelimpahan ‘harta’.
Kini
telah kurasakan bagaimana penyertaan-Nya yang Dia berikan pada anak-anak-Nya
sampai pada akhir zaman itu. Karena percaya atau tidak, aku sudah merasakannya
sendiri! Aku merasakannya lagi!
1 komentar:
Salken
Posting Komentar