25 Mei 2012

Historio Domus


Historio Domus Frater-Frater Seminari Tinggi KAJ 
(Kegiatan  Frater-Frater Seminari Tinggi KAJ)
Januari-April 2012


1 Januari  2012
Para frater merayakan tahun baru bersama di Wisma Cempaka. Detik-detik pergantian tahun dinantikan bersama dengan tawa canda. Tidak lupa juga iringan musik dan main kembang api...barbeque...tiup terompet...hahaha.... selamat tahun baru...!!semangat baru...!!

2-13 Januari 2012
Liburan semesteran telah tiba. Para frater boleh berlibur di rumah untuk sungkeman dengan orang tua. Beberapa frater juga melewatkan liburan bersama. Tapi, jangan lupa dengan tugas jaga wisma yooo...hehehehe...selamat berlibur :)

20 Januari 2012
Byuuurrr… wah asyiknya main air di Atlantis, Taman Impian Jaya Ancol. Frater Komunitas Cempaka liburan bersama. Dengan dipawangi oleh Fr. Budi, para frater menghabiskan harinya dengan bermain air. Hayo siapa yang belum pernah ke Atlantis...??? Acara ini didukung oleh umat paroki Cilincing yang mempunyai perhatian kepada frater -  terima kasih ya.

24-29 Januari 2012
Farter tingkat I menerima perutusan untuk ikut dalam Character Building Training 5 di Cannosa, Bintaro. Pelatihan ini diikuti oleh beberapa unit kelompok mahasiswa Katolik yang ada di Jakarta. Acara ini bertujuan untuk pembentukan karakter yang dewasa, mandiri dan bertanggung jawab.

28-29 Januari 2012
Rekoleksi bersama Rm. Frans Sule mendalami tema, “Serupa menyerupai Kristus.”

30 Januari 2012
Hayo kuliah....para frater memulai rangkaian kegiatan kuliah semester genap 2011—2012. Wah...semuanya udah kangen nieh untuk belajar lagi. Selepas liburan, pastinya semua frater melangkah dengan tegap dan menggowes sepedanya dengan penuh semangat.

20 Februari 2012
Satu frater KAJ bersama 4 frater OFM menerima tahbisan diakon di Paroki Pulomas, St. Bonaventura. Misa yang dipimpin oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Sebelum menerima tahbisan Diakon tertahbis Sony mengucapkan janji selibat.

25-26 Februari 2012
Rekoleksi bulan ini didampingi oleh Rm. Ferdinand, Pr. Materi rekoleksi yang didalami “Imamat dengan Ekaristi.” Rm. Ferdinand sebelumnya menjalani perutusan di tanah Papua sehingga dalam rekoleksi banyak bercerita tentang perutusan misi domestik yang sungguh meneguhkan iman, baik dalam imamat maupun penghayatan Ekaristi. Malam hari, para frater mendengarkan sharing yang dibawakan oleh Bapak Tamtomo yang mengupas pengalaman dari pandangan Gereja non-Katolik. Pesan Pak Tomo jelas, yaitu perlu menemukan satu nilai pokok dalam katolik yang dapat mempertahankan diri dari tawaran meninggalkan iman Katolik.

2 Maret 2012
Jumatan Pertama yang diadakan di Wisma Puruhita mendengarkan sharing dari Ketua Komisi Kepemudaan KAJ, Rm. Antonius Suyadi, Pr. Romo Yadi menceritakan tentang tantangan-tantangan yang dihadapai komisi kepemudaan. Orang muda adalah generasi penerus bangsa dan Gereja. Keep fight and not to yield...!!!yyeeaaahhhhh....

16-22 Maret 2012
Masa Ujian Tengah Semester, wah… mulai serius nieh untuk belajarnya. Semoga dapat hasil yang maksimal. Semangat tempur menghadapi ujian tertulis dan karya-karya tulis membuat para frater tetap optimis!

23-25 Maret 2012
23 Maret 2012 merupakan Hari Raya Nyepi dan komunitas ikut berpatisipasi dengan silentium. Silentium ini ditujukan lebih untuk Triduum Paskah 2012 yang dibawakan oleh Rm. Anton Hertasusilo, CICM dan Rm. Koelman, SJ. Kolaborasi kedua romo membuat para frater semakin siap menyonsosng Paskah. Siraman rohani selama Triduum juga menenangkan hati setelah melewati masa UTS.

31 Maret 2012
Cinta Tanah Air bisa dinyatakan dalam berbagai macam diantaranya dengan menyanyikan lagu wajib. Bebeberapa frater mewakili komunitas menyanyikan lagu “Tanah Air Pusaka” dan medley lagu-lagu daerah dalam lomba akustik dalam menyambut Dies Natalis STF ke-43.  Nyanyian-nyanyian yang disumbangkan oleh para frater ini menang sebagai juara 3. Wah, semakin terasah dan percaya diri nih untuk menyanyi lagu kebangsaan..:)

5-8 April 2012
Pekan Suci Paskah, sebagian besar frater bertugas asistensi di paroki-paroki yang tersebar di KAJ. Beberapa diantaranya ada yang di Wisma dan merayakan misa Sabtu Paskah (7/4) bersama beberapa umat undangan secara sederhana dan khidmat di Wisma.
Selamat Paskah 2012!!!

9 April 2012
Para Frater diperkenankan pulang ke rumah untuk merayakan Paskah bersama keluarga. Kebahagiaan Paskah juga tidak luput untuk dirayakan dan dibagikan dalam keluarga. Wah...wah...pulang ke wisma, para frater membawa makan dari rumah. Benar-benar perjamuan Paskah...hohohoho

15-16 April 2012
Rekolesi oleh Rm. Marini, SX yang menggugah kembali spritualitas Paskah. Romo Marini memberi makna Kebangkitan Yesus yang memawa kehidupan baru. Hari Minggu (16/4) sesudah rekoleksi, komunitas dikunjungi oleh Putra Altar Santa Maria Regina, Bintaro. Kehadiran sekitar 20 orang diharapkan mendorong anak-anak untuk mengolah panggilannya menjadi imam. Cara dengan kunjungan ke seminari menjadi kesempatan mereka untuk tahu tentang kehidupan para calon imam.

21 April 2012
Pagi ini, komunitas hadir dalam undangan peresmian Gedung Perpustakaan yang baru dihadiri oelh penjabat penting negara setingkat menteri dan Vikjen KAJ, R.D Yohanes Subagyo. Malam Puncak Dies Natalis STF ke 43 berupa Malam Budaya. Komunitas mempersembah tim akustik yang sudah berhasil menyabet juara 3 tingkat STF.

28-29 April 2012
Minggu Panggilan euy....para frater disebar untuk melakukan aksi panggilan di beberapa paroki di Jakarta. Jauh sebelum ini, kami sudah mempersiapkan diri kami dengan baik. Hohohoho...selamat beraksi panggilan para frater...!!!

Persekutuan dalam Ekaristi


Persekutuan dalam Ekaristi
Oleh: Fr. Bonifasius Lumintang

Suatu hari, saya bekesempatan mengikuti perayaan ekaristi di sebuah paroki di Jakarta. Selesai lagu pembuka dinyanyikan, imam tidak langsung membuka perayaan ekaristi dengan tanda salib, melainkan imam mengajak segenap umat untuk memberikan salam kepada umat yang berada di sekelilingnya. Bagi saya, hal ini merupakan pengalaman yang menarik karena ungkapan berbagi salam mengingatkan kita bawasannya tidak ada ekaristi dalam komunitas yang anggotanya tidak mengasihi satu sama lain.[1] Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi apabila masing-masing anggotanya pun tidak mengenal satu sama lain ? Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi apabila “sekat-sekat” pembeda dan pemisah (suku, status sosial, dll) masih membelenggu dan tidak ditanggalkan?  Henri J.M.Nouwen merefleksikan dengan indah tentang arti hidup yang berbelas kasih. Ia mengatakan bahwa hidup yang berbelas kasih adalah hidup bersama. Belas kasih bukanlah sebuah watak khas pribadi, sikap pribadi atau suatu bakat istimewa, akan tetapi adalah sebuah cara hidup bersama (bdk. Flp 2 : 1 – 4).[2] Dari pengalaman sederhana di atas, lebih jauh lagi, kita dapat bertanya, Bagaimana aspek Communio (kesatuan) bergema setiap kali kita merayakan ekaristi?

Bercermin Pada Tegangan Antara Paulus dan Jemaat Korintus
Permasalahan dan penjelasan yang berkaitan dengan ekaristi terdapat di dalam bab 10 (1 Kor 10:14-22) dan 11 (1 Kor 11:17-34) dari surat pertamanya kepada jemaat di Korintus. Konteks surat paulus kepada jemaat di Korintus adalah bahaya akan terjadinya perpecahan. Paulus mencela pengelompokkan di antara orang-orang Korintus. Ia tidak mengkritik bagi masing-masing kelompok, tetapi mengkritik jemaat sebagai keseluruhan karena membiarkan dirinya dipecahkan dalam beberapa kelompok.[3]
“ Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat” (1 Kor 10:21). Di dalam bab 10, Paulus memberikan perhatian pertama-tama kepada aspek komunitas sebelum ia berbicara tentang perayaan Ekaristi. Paulus hendak menegaskan bahwa kesehatan spiritual sebuah komunitas merupakan syarat mutlak bagi setiap perayaan ekaristi. Baginya, sungguh tidak mungkin mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan, namun sekaligus ambil bagian dalam perjamuan roh-roh jahat yang pada akhrinya menyeret orang tersebut berskutu dengah roh-roh jahat itu sendiri.
Dalam 1 Kor 11:17-34, nampak secara jelas reaksi ketidaksenangan Paulus akan tingkah laku dan praktek-praktek menyimpang yang dilakukan oleh jemaat Korintus dalam perayaan ekaristi. Terjadi perpecahan yang di latar belakangi adanya konflik kepentingan dan pembagian kelompok berdasarkan status sosial. Singkatnya, pada waktu itu terjadi distingsi tegas antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Perlu diketahui bahwa pada zaman Paulus, komunitas Yesus tidak memiliki bangunan gereja seperti yang kita miliki sekarang ini (megah, mewah, ber-AC, dan mampu menampung ribuan umat dalam ruangan luas dan besar). Untuk mengadakan perjamuan, dibutuhkan ruangan yang besar. Perlunya ruang yang besar berarti bahwa Ekaristi diadakan di rumah orang kaya.[4] Dan si tuan rumah, tentu berhak menentukan siapa-siapa saja yang berhak masuk ke tempat terhormat, dan siapa-siapa saja yang tidak. Semua orang Kristen termasuk kaum miskin dan budak dapat diterima dalam ruang tamu (termasuk halaman) untuk berpartisipasi dalam perjamuan – dengan hanya sedikit makanan dan minuman atau sama sekali tidak ada, tetapi hanyalah sahabat-sahabat yang sama kaya dan terhormat akan diundang oleh tuan rumah ke “mejanya” untuk menikmati makanan.[5]
 Persis inilah yang dikritik oleh Paulus. Pemisahan itu tidak cocok dengan gambaran Paulus tentang jemaat Allah. Baginya, selama masih ada pemisahan seperti itu, tidak akan tercipta komunitas ekaristis. Tidak mungkin ada ekaristi di dalam komunitas yang anggota-anggotanya tidak saling mengasihi. Dalam perjamuan Tuhan hadir dalam rupa roti dan anggur, tubuh dan darah-Nya (realis prasentia). Karenanya jika dalam perjamuan tiada rasa saling menghormati, malahan menyingkirkan dan memecah belah persaudaraan, atau yang satu menjadi batu sandungan bagi yang lain, ia berdosa terhadap Kristus. Di sini diletakkan dasar tentang apa yang disebut sebagai communicatio in sacris, relasi yang membangun dan menyatukan dalam segala apa yang kudus dan saleh.[6]

Persekutuaan dengan Kristus = Persekutuan dengan Sesama
Dalam ekaristi, Tuhan Yesus adalah tuan rumah, namun juga menjadi kurban perjamuan itu sendiri. Ia hadir dalam rupa roti dan anggur. Menyantap roti dan anggur, yang adalah tubuh dan darah Kristus berarti ikut ambil bagian / berpartisipasi dalam persekutuan (koinonia) dengan tubuh dan darah Kristus. Istilah koinonia, yang menunjuk pada pengertian mengenai persaudaraan dekat dengan istilah haima dan soima yang punya arti persaudaraan dengan seseorang atau dengan sesuatu. Mereka yang hadir dalam perjamuan tersebut diajak terutama untuk membangun kesatuan terlebih dengan Kristus Yesus (aspek vertikal). Bersatu dengan Kristus dapat kita maknai sebagai berhubungan satu sama lain dengan pikiran dan perasaan Kristus artinya dengan cara yang sama seperti yang ditempuh Kristus dalam menghubungi kita, dalam penghambaan dan kerendahan hati.  Dan, berangkat dari kesatuan dengan Tuhan itu lalu dibangunlah kesatuan dengan sesama, satu sama lain (aspek horizontal).  
Berkati ikut serta dalam satu tubuh yang sama, maka kita yang banyak disatukan dalam satu tubuh – Gereja. Gereja karenanya lahir dan hidup dari serta dalam Ekaristi. Kristologi menentukan eklesiologi, dan bukan sebaliknya. Gereja dengan demikian merupkan tempat di mana kenangan akan kristus menjadi hidup.  Oleh karena itu, Ekaristi dengan demikian manjadi tanda kesatuan Gereja. Gereja menjadi tubuh Kristus sebab gereja disatukan melalui Ekaristi.[7]

Refleksi
Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2011 -2015 menegaskan bahwa “ Gereja Keuskupan Agung Jakarta bercita-cita menjadi Umat Allah yang, atas dorongan dan tuntunan Roh Kudus, semakin memperdalam imannya akan Yesus Kristus, membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyrakat”. Apa yang dirumuskan dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta kiranya merangkum apa yang hendak penulis sampaikan kali ini. Rumusan tersebut dapat menjadi titik tolak kita untuk bertanya  Apakah gema persekutuan dan persatuan dalam kasih yang diwariskan Yesus lewat ekaristi terasa dalam komunitas paroki atau keuskupan atau komunitas-komunitas religius? Kalau setiap umat kristiani mampu tekun menimba kekuatan kasih dalam perayaan ekaristi tentu membuat orang lain akan berkata “Yang begini belum pernah kita lihat” (Mrk 2:12) dan pada akhirnya “...mereka disukai semua orang” (Kis 2:44-47).
  
      


[1] Osborne, Kenan B. Komunitas Ekaristi dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. 2012. Hlm. 94
[2] Nouwen, Henri J.M. Sehati Seperasaan: Sebuah Permenungan Tentang Hidup Kristen. Yogyakarta: Kanisius.1987. Hlm. 68
[3] Salah satu contoh gambaran situasi perpecahan itu dapat kita lihat pada 1 Kor 1:12 “...Aku dari golongan Paulus, atau Aku dari golongan Apolos, atau Aku dari golongan Kefas, atau Aku dari golongan Kristus. Menanggapi itu Paulus menekankan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya dasar. Yesus Kristus tidak terbagi-bagi (ayat 13).
[4] Harun, Martin. Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi. Jakarta: STF Driyarkara.2011.Hlm 97-98
[5] Harus diakui bahwa distingsi yang demikian itu juga semakin dipertegas oleh kebiasaan bangsa Roma yang menggolongkan para tamu menurut tingkat sosialnya dan hampir mengabaikan orang-orang yang dianggap rendah.
[6] Diambil dari diktat kuliah Ekaristi yang disusun oleh T. Krispurwana Cahyadi, SJ. Hlm. 5-7
[7] Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Partoral. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hlm 238

Perayaan Misteri Iman


Perayaan Misteri Iman
Oleh : Fr. Bernardus Dimas Indragraha

            Pada Kamis Putih, 17 April 2003, Bapa Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik Ecclesia de Eucharistia (Gereja Hidup dari Ekaristi). Ensiklik ini ditujukan kepada Para Uskup, Imam dan Diakon, Penyandang Hidup Bakti, Pria dan Perempuan, dan Segenap Para Beriman..
            Paus Yohanes Paulus II menulis ensiklik ini untuk menyikapi berbagai keredupan yang terjadi di banyak bagian Gereja mengenai Ekaristi. Keredupan itu antara lain praktek adorasi ekaristi yang hampir terlupakan, penyalahgunaan dan pemiskinan akan makna Ekaristi, penyempitan hakikat sakramental Ekaristi ke soal daya gunanya dalam pewartaan hingga mengabaikan prinsip-prinsip ajaran Katolik, dan aneka praktek Perayaan ekaristi yang berbeda dari disiplin iman Gereja.
            Beberapa poin penting yang dibahas mengenai Ekaristi dalam ensiklik ini adalah mengenai Ekaristi sebagai perayaanMisteri Iman, Ekaristi Membangun Gereja, Sifat Apostolik Ekaristi dan Gereja, Persekutuan Gerejani, dan Bunda Maria “Wanita Ekaristi“. Tulisan ini akan membahas pemikiran Yohanes Paulus II mengenai Ekaristi sebagai perayaan Misteri Iman berdasarkan atas Ensiklik Ecclesia de Eucharistia.

Misteri Iman
            Bapa Suci memandang Ekaristi sebagai suatu pemberian unggulan dari Allah Bapa kepada umat manusia (EdE 11). Hal ini berarti bahwa Ekaristi merupakan pemberian yang lebih berharga dari berbagai pemberian atau karunia lainnya sebab Ekaristi merupakan penyerahan diri, pribadi-Nya sendiri dari kemanusiaan-Nya yang suci demi keselamatan manusia. Dengan demikian, Ekaristi menjadi peringatan sekaligus penghadiran kembali peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus.
            Waktu Gereja merayakan Ekaristi terwujudlah peristiwa penyelamatan kita lewat Kurban Kristus. Lewat Ekaristi, kita dimungkinkan untuk ambil bagian dalam kurban tersebut. Dengan mengambil bagian dalam kurban itu, kita mempersembahkan dir mereka sendiri di dalam Kurban Ilahi kepada Bapa. Dengan demikian, umat beriman memperoleh buah dari kurban yang tak kunjung kering. Inilah iman yang dihayati oleh seluruh generasi Kristen sepanjang abad (EdE 13).      
            Selanjutnya, Bapa Suci menegaskan kembali beberapa ajaran iman Gereja tentang Ekaristi. Bapa Suci menegaskan bahwa dalam Ekaristi terjadi penghadiran secara real dalam Ekaristi, yaitu kehadiran Kristus, Allah-Manusia, secara penuh. Kehadiran tersebut terwujud dalam rupa roti dan anggur yang sudah dikonsekrasi atau yang dikenal dengan istilah transubstansiasi. Hal ini sungguh sulit untuk dipahami secara nalar manusia, oleh karena itu Bapa Suci menekankan bahwa Ekaristi adalah misteri iman, misteri yang mengatasi pemahaman manusia dan hanya dapat diterima oleh iman(EdE 14).
            Paus juga mengutip pandangan St. Sirillus dari Yerusalem mengenai perubahan roti dan anggur ini, “Dalam roti dan anggur, janganlah hanya melihat unsur alamiah, sebab Tuhan telah tegas mengatakan bahwa itu adalah tubuh dan darah-Nya: iman memastikan bagimu, kendati indera menunjuk kepada yang lain.” Berbagai upaya untuk memahami perubahan substansi ini dilakukan oleh para teolog, namun Bapa Suci mengakui bahwa masih ada jarak yang tidak bisa dipahami dan hal itu sekali lagi merupakan misteri iman (EdE 14).
            Kurban Ekaristi ini barulah dapat menyelamatkan umat manusia apabila kita mau menyambut tubuh dan darah Tuhan dalam komuni. Dengan memakan Tubuh dan meminum Darah-Nya, kita mengalami kesatuan batin dengan Kristus. Seperti Sabda-Nya, “Barangsiapa makan Tubuh-Ku akan hidup dalam Aku” (Yoh 6:57). Hal ini menunjukkan bahwa Ekaristi adalah sungguh-sungguh perjamuan dan Kristus mempersembahkan diri-Nya sebagai santapan kita.
            Dalam Ekaristi, Yesus Kristus juga mencurahkan Roh-Nya. Kita yang menerima Tubuh dan Darah-Nya tidak hanya dipersatukan dengan Kristus saja tetapi juga menerima karunia roh, sesuai dengan Doa dalam Misale Romawi, “Berilah agar kami yang menerima santapan tubuh dan darah-Nya dipenuhi dengan Roh-Nya sehingga menjadi satu tubuh dan satu roh dalam Kristus.”
            Pada akhirnya, kita juga dipersatukan oleh persekutuan Gereja Surgawi (Bunda Maria dan Para Kudus) dan menjadi bagian dari kawanan besar (EdE 18), yang berseru: “Pujian bagi Tuhan kita yang duduk di atas takhta dan bagi Anakdomba!” (Why 7:10). Ekaristi sejatinya merupakan gambaran sekilas surga yang nampak di bumi. Ekaristi merupakan sinar Yerusalem surgawi yang menembus awan sejarah kita dan menerangi perjalanan kita. Dengan demikian, Ekaristi mendampingi perjalanan hidup manusia selama-lamanya.
            Namun, bukan berarti kita tidak ikut ambil bagian dalam dinamika kehidupan di dunia. Sri Paus sangat menekankan pentingnya peran serta kita dalam kehidupan dunia, terutama dalam menciptakan perdamaian dan solidaritas yang tangguh, membela hidup manusia, dan membantu mereka yang lemah, miskin, dan tidak berdaya. Tugas umat Kristen adalah memberikan kontribusi dalam cahaya Injil untuk membangun dunia yang lebih humanis, suatu dunia yang secara penuh berharmoni dengan rencana Allah (EdE 20)
           
Merayakan Misteri Iman Bersama Maria
            Bagi Yohanes Paulus II, Maria adalah “Wanita Ekaristi” karena dia telah mempersembahkan rahim perawannya kepada Penjelmaan Sabda Allah. Maria adalah orang yang membantu kita untuk memahami misteri iman yang begitu hebat ini karena Maria telah terlebih dahulu menerima YEsus dalam dirinya. Kitapun pada saat ini menerima Yesus juga melalui perayaan Ekaristi. Untuk itu, Maria menjadi teladan yang tepat bagi umat beriman dalam Merayakan Misteri Iman.
            Dalam ensiklik ini, Paus Yohanes Paulus II menceritakan pengalamannya ketika memimpin perayaan Ekaristi pertama kalinya, pada Tanggal 2 November 1946 di Krakow (EdE 59). Paus begitu terpukau oleh permenungan atas hosti dan piala. Bagi beliau, pada saat itu waktu dan ruang seolah “melebur” dan drama Golgota dihadirkan hidup-hidup. Sejak pengalaman itu, Beliau mampu untuk mengenal kembali roti dan anggur yang terkonsekrasi dalam diri Yesus, sang Pelintas dalam perjalanan ke Emaus, yang bergabung dan membuka mata dan hati mereka untuk mengobarkan semangat mereka dalam pengharapan baru (Luk 24:13-35).
            Misteri iman yang dirayakan dalam Perayaan Ekaristi menjadi kekuatan bagi Gereja, dalam menempuh perjalanan hidup kristiani. Kehadiran kembali Kristus dalam perayaan Ekaristi menjadi tanda bahwa Yesus senantiasa terlibat dalam perjalanan sejarah manusia. Hanya saja, misteri iman ini masih belum dihayati dan dialami sepenuhnya sehingga manusia masih jatuh dalam penyempitan makna akan Ekaristi. Untuk itulah, pada akhir ensiklik, Sri Paus mengajak umat beriman untuk mau meneladani Maria yang tersuci, tempat misteri Ekaristi menampakkan diri sebagai misteri terang (EdE 62).

   

Ekaristi: Tanda Penuh Syukur


Ekaristi: Tanda Penuh Syukur
Oleh: Fr. Nemesius Pradipta

            Keuskupan Agung Jakarta menetapkan tahun 2012 sebagai “Tahun Ekaristi”. Sebagai calon imam diosesan Jakarta, selain turut serta dalam gerak-langkah keuskupan, Tahun Ekaristi merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali pengalaman serta memperdalam pengetahuan dan iman saya mengenai Ekaristi. Melalui proses pengolahan ini saya berharap semakin mampu memaknai Ekaristi sehingga, ketika saya menghadiri perayaan iman ini, saya sungguh didorong oleh rasa cinta dan kerinduan yang mendalam. Melalui tulisan ini, saya mencoba membagikan pengalaman betapa usaha saya untuk menghayati Ekaristi merupakan suatu proses jatuh-bangun.
            Dalam dua tahun terakhir ini, saya menyadari betapa pentingnya Ekaristi bagi penghayatan iman saya sebagai seorang calon imam. Kesadaran itu muncul ketika saya mencoba mengenang kembali waktu-waktu di mana saya mulai mampu mengenal Ekaristi secara lebih baik. Saya ingat sewaktu masih kecil, ketika kami sekeluarga pergi ke gereja, orang tua saya memiliki kebiasaan untuk duduk di bangku barisan terdepan. Jarak kami dengan altar sangatlah dekat. Karenanya, saya dapat melihat dengan jelas saat-saat di mana seorang imam memimpin Perayaan Ekaristi. Dari pengalaman itu, saya begitu terkesan pada bagian imam melakukan konsekrasi. Bagi saya konsekrasi adalah momen yang paling agung dan indah dalam Ekaristi.
             Pada rekoleksi beberapa waktu yang lalu, saya merenungkan betapa imam memiliki peranan yang amat penting dalam Ekaristi. Hanya melalui tangan seorang imamlah perayaan Ekaristi dapat dilakukan. Dan sebagai calon imam saya mempertanyakan apakah mungkin saya mampu menghayati Ekaristi kalau saya sendiri tidak memiliki kerinduan untuk mengikuti Ekaristi? Berdasarkan pengalaman ini saya berusaha menghayati Ekaristi secara lebih mendalam. Dan semenjak itu pula pergulatan saya yang penuh jatuh-bangun ini dimulai.
           
Kesadaran Atas Tiga Rahmat
            Sebagai seorang frater yang selalu mengikuti Ekaristi setiap hari, saya menyadari adanya beberapa godaan yang kerap kali muncul. Godaan-godaan tersebut antara lain rasa kantuk, rasa bosan, dan—yang paling parah—sikap mengabaikan dan menyepelekan Ekaristi. Padahal saya juga menyadari tiga rahmat yang sudah sepatutnya saya syukuri dalam hidup di Seminari berhubungan dengan pengalaman Ekaristi. Pertama, saya bisa mengikuti Ekaristi setiap hari. Kami, para frater atau seminaris, tidak perlu bersusah payah mencari imam untuk memimpin Ekaristi—bandingkan dengan umat di luar yang kerap kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari seorang imam. Para imam (romo) di Seminari, selain terjadwal, juga dengan setia menyediakan waktu mereka untuk memimpin perayaan Ekaristi. Bahkan di seminari, kami memiliki empat romo yang secara bergantian memimpin Ekaristi. Bagi saya kondisi semacam ini merupakan suatu rahmat yang luar biasa.
            Kedua, saya tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk datang ke kapel tercinta kami. Kapel seminari yang berada di lantai dua, hanya berjarak 10 m dari kamar saya. Saya hanya memerlukan 27 langkah kecil dan waktu 10 detik untuk sampai ke depan pintu kapel seminari. Bukankah keadaan ini juga merupakan rahmat yang sangat luar biasa bagi kami para calon imam, dibandingkan dengan perjuangan umat Katolik di KAJ untuk datang ke gereja. Mereka perlu memikirkan biaya, jarak tempuh, waktu, cuaca, dan segudang kondisi lain yang memang perlu mereka perjuangkan untuk menghadiri satu kali Perayaan Ekaristi di paroki setiap minggunya.
            Ketiga, saya menerima pengajaran secara formal mengenai Ekaristi di STF Driyarkara. Sebagai calon imam, mempelajari Ekaristi secara teologis dan sistematis merupakan salah satu kegiatan yang wajib dialami. Di bawah bimbingan dosen Ekaristi yang baik, selama satu semester pikiran saya dihujani dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan seputar Ekaristi. Saya diajak untuk menggali dasar-dasar Ekaristi melalui Kitab Suci, Magisterium, dan Tradisi Gereja. Kemudian, saya juga dipertemukan dengan pemikiran Jemaat Perdana dan para Bapa Gereja untuk mendengarkan perkembangan Ekaristi sejak awal kekristenan. Saya juga dihadapkan dengan kata-kata sulit seperti transubstansiasi, realis praesentia, konsekrasi, cenaculum, dan sebagainya. Ketika Ekaristi memasuki ruang kuliah, rasanya semua terasa sulit dan rumit. Tetapi melalui pengalaman ini saya bersyukur karena tidak semua orang memiliki kesempatan yang luar biasa ini.    
                       
Ekaristi dan  Pergulatannya
            Ketika menyadari akan kelemahan dan kekurangan diri dalam menghayati Ekaristi, saya merasa benar-benar kecewa. Ada suatu hal yang perlu saya kembangkan tetapi saya tidak tahu harus memulainya dari mana. Menurut saya, menghayati Ekaristi merupakan hal yang sulit sekali dilakukan. Meski saya mendapatkan pelajaran tentang Ekaristi, saya merasa tidak mampu ketika diajak untuk menghayatinya. Semakin lama saya merenung, semakin terasa kekeringan itu dan dalam waktu yang panjang saya merasa sendirian. Ekaristi seakan tidak memberikan suatu inspirasi yang menghidupkan.
            Setelah melewati hari-hari yang panjang, dalam suatu rekoleksi saya diajak untuk memahami Ekaristi secara ‘baru’. Saya tahu benar bahwa Ekaristi adalah “sumber” dan “puncak” hidup orang Kristen. Tetapi pengetahuan itu hanyalah sebatas pengetahuan rasional, tetapi tidak berangkat dari pengalaman iman saya akan Ekaristi. Dalam pertemuan itu saya sungguh terkesan dengan ungkapan St. Agustinus tentang Ekaristi yaituVisibilis signum invisibilis gratiae, yang artinya tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan. Melalui ungkapan ini, saya diingatkan bahwa kerap kali kita lebih mementingkan tanda yang kelihatan, namun kita lupa akan peran rahmat Allah yang tidak kelihatan. Saya sadar mengapa selama ini Ekaristi kerap kali terasa kering dan membosankan. Bahkan, saya sering jatuh pada perasaan suka-tidak suka dan bukan pada pertanyaan apakah Ekaristi dan doa-doa yang saya jalani menyentuh secara personal.
            Melalui pemahaman iman inilah saya memang memerlukan suatu sikap baru dalam mengembangkan hidup rohani sehingga tidak dangkal dan monoton. Maka memang perlu suatu gerakan perubahan (Baca: Aggiornamento) dalam iman dengan berbagai cara. Misalnya: membaca buku-buku yang berkaitan dengan Ekaristi, memperdalam devosi kepada Sakramen Mahakudus, dan meniru orang lain yang dirasa memiliki pengalaman yang intim dengan Ekaristi.
             Kemudian, saya memutuskan untuk belajar dari pengalaman santo-santa dalam menghayati Ekaristi. Saya mencoba melihat bagaimana para kudus itu sangat mencintai Ekaristi dengan sangat mendalam dan mesra. Kesempatan ini saya temukan dalam buku Yesus Kekasih Kita dalam Ekaristi karya P. Stefano M. Manelli. Beberapa santo-santa yang kerap kali disebut dalam buku ini antara lain: St. Gemma Galgani, Padre Pio, St. Katarina dari Sienna, M. Vianney, dan St. P. Yulianus Eymard.       Melalui para kudus ini saya belajar betapa iman memberikan kita kepastian yang tak tergoyahkan mengenai Ekaristi. Ekaristi itu sedemikian besar sehingga tak seorang pun dapat menginginkan sesuatu lain yang lebih besar. Sebagaimana St. P. Yulianus Eymard menyatakan di akhir ajalnya bahwa kita sudah memiliki Ekaristi, sehingga tidak ada lagi yang kita perlukan. Saya sungguh terkesan dengan penghayatan para kudus ini dalam mencintai Ekaristi. Saya hanya memiliki gagasan Allah yang Mahabesar, tetapi tidak mampu merasakan cinta-Nya. Sedangkan bagi mereka, Ekaristi adalah Cinta yang melampaui segala cinta di surga dan di bumi.
            Beberapa waktu setelah itu, kami para frater diosesan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Mgr. Suharyo secara pribadi. Dalam pertemuan itu saya dapat berbagi cerita mengenai pergulatan dan sukacita menjalani panggilan sebagai calon imam di Jakarta. Tak lupa pula saya menceritakan pergulatan yang saya hadapi selama ini berkaitan dengan Ekaristi. Dengan sangat bangga saya menceritakan segala “penemuan” rohani di atas kepada beliau. Mgr. Suharyo mendengar semua uraian saya dengan tersenyum, lalu bertanya. “Frater, apa arti Ekaristi itu?” Dengan cepat dan mantap saya menjawab bahwa Ekaristi berasal dari bahasa Yunani, Eucharistia yang artinya ucapan syukur. Kemudian, Mgr. Suharyo kembali bertanya, “Apakah sampai saat ini frater sudah mensyukuri hidup frater?” Kini, giliran saya yang tersipu malu karena tidak pernah memikirkan hal yang sederhana namun begitu mendalam itu.
            Pada pertemuan itu, Mgr. Suharyo menekankan bahwa segala usaha yang saya lakukan itu baik. Tetapi hal itu akan semakin baik bila saya mampu mensyukuri hidup ini. Ada banyak hal yang dapat disyukuri dalam hidup kita. Mulailah mensyukuri sukacita, penderitaan, sakit, harapan, kesedihan, kemalangan dan keberuntungan kita. Hidup manusia itu sungguh kaya untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Dan melalui Ekaristi kita dapat mempersembahkan semuanya kepada Tuhan.

Sumber Air yang Tidak Pernah Mengering
            Akhirnya, saya yakin bahwa sepenggal pengalaman yang saya sampaikan di atas bukanlah akhir dari pergulatan saya dalam menghayati Ekaristi. Saya sungguh menyadari bahwa semua upaya yang saya lakukan untuk menghayati Ekaristi merupakan proses jatuh-bangun sehingga setiap pergulatan saya tidak pernah berhenti. Karenanya, saya semakin yakin bahwa Allah tetap mendampingi seluruh pergulatan hidup yang  saya hadapi. Kehadiran-Nya menjadi nyata dalam Ekaristi yang saya terima setiap hari, sampai akhirnya nanti saya turut serta dalam perjamuan kudus di surga.
            Sungguh agunglah Ekaristi itu. Saya percaya bahwa Ekaristi ibarat sumber air yang tidak pernah mengering dan di dalamnya tercurahlah air yang tidak akan habis kesegarannya. Air ini begitu kaya, sebab sekali kita meminumnya, kita tidak akan berkuasa menahan dorongan tubuh kita sendiri yang memintanya terus. Hal ini persis seperti perempuan Samaria yang dengan penuh kekaguman meminta air hidup kepada Yesus sehingga pada akhirnya jiwa kita selalu disegarkan (Yoh 4: 14). Sungguh Ekaristi menjadi air kehidupan yang penuh “misteri”.