Spiritualitas Transformatoris
(Sebuah Pemaknaan Ekaristi sebagai Sakramen
Keselamatan)[1]
Oleh:
Diakon Prasetyo Handoyo Wicaksono
Pengantar
Suatu hari, beberapa
tahun yang lalu, dalam sebuah kesempatan, seorang teman tiba-tiba menyeletuk
kepada saya. Ia mengagumi kehebatan perekrut orang-orang yang mau menjadi
pelaku bom bunuh diri. Dalam waktu yang sangat singkat, sang perekrut pengantin (istilah untuk orang yang siap
menjalankan aksi bunuh diri), berhasil merubah cara berpikir, cara pandang, dan
cara bertindak seseorang untuk meyakini suatu paham tertentu. Sang pengantin pun rela meninggalkan cara
hidupnya yang lama hingga menyerahkan seluruh kehidupannya demi keberhasilan
aksi bom bunuh diri tersebut. Sebuah tindakan yang barangkali dalam tataran
pikiran kita terlihat sangat bodoh, namun baginya mampu dihayati sebagai
tindakan yang bernilai luhur.
Tema ini seolah
menyentak kami berdua. Betapa luar biasa daya transformasi yang ditularkan sang
perancang peledakan bom ini, sehingga daya internalisasinya dapat tertanam
begitu kuat. Sebuah pola yang sama nampaknya dapat diterapkan di dalam suatu
pola pembinaan yang berlangsung pada sebuah lembaga yang bercorak keagamaan
atau bahkan di dalam katekese dan pewartaan ajaran suatu agama. Namun yang
membedakan nampaknya terletak pada metode yang digunakan sehingga orang dalam
waktu yang singkat mampu mengarahkan keseluruhan hidup.
Kami pun tiba-tiba
juga teringat akan Ekaristi yang menjadi puncak perayaan iman Katolik. Sudah
tidak terhitung, berapa banyak perayaan Ekaristi yang telah kami ikuti. Kami
pun kemudian bertanya-tanya, sejauh mana Perayaan Ekaristi telah membentuk dan
memberikan anugerah dalam diri saya. Sebab jika Perayaan yang kami rayakan
setiap hari hanya sebatas perayaan saja, bagaimana dengan sebagian besar umat
yang hanya merayakan pada hari minggu saja? Maka dalam tulisan ini, saya
mencoba melihat sisi transfomasi dari ekaristi di dalam kehidupan umat beriman.
Ekaristi
Sebagai Puncak Kebersamaan dengan Tuhan dan Sesama
Manusia memiliki
kerinduan untuk hidup bersatu dengan Tuhan dan sesama. Kebersamaan dengan Allah
dan manusia mencapai kepenuhannnya dalam diri Yesus Kristus. Melalui Gerejalah
kehadiran Yesus bagi dunia ditampakkan. Kehadiran Yesus Kristus dan karya
penebusan ditampakkan dan dihadirkan secara meriah oleh Gereja di dalam
ekaristi. Di dalam Perayaan Ekaristi, seluruh misteri Kehidupan bersama dengan
Allah dan manusia yang mengalami kepenuhannya dalam Kristus dirayakan dan dihadirkan bagi umat beriman.[2]
Perayaan ekaristi
menjadi sumber dan puncak kehidupan umat
beriman Kristiani (LG 11,KHK Kan. 849). Dalam perayaan ekaristi itu, semua
kegiatan yang lain memperoleh sumber rahmat dan kekuatannya sekaligus terarah
kepadanya. Di dalam Ekaristi Yesus hadir dan bertindak bersama dan dengan
Gereja. Melalui perayaan Ekaristi ini, peristiwa pertemuan dan kebersamaan
antara Allah dan manusia melalui Kristus mengalami puncak dalam hal pengungkapan
dan pelaksanaannya. Di sinilah Gereja menampakkan hakekatnya sebagai sakamen
kebersamaan dengan Kristus (SC 2).
Misteri Ekaristi ialah misteri Tuhan yang
menjadi santapan bagi seluruh umat manusia. Manusia pun bersekutu dengan Tuhan
dan sesama. Allah sendiri yang masuk secara langsung ke dalam hidup manusia.
Allah mendatangi umatNya dalam rupa makanan dan minuman yang disantap, dalam
rupa roti dan anggur. Dengan menerima santapan baru di dalam tubuhnya, hidup
manusia memperoleh suatu kesegaran baru. Tuhan masuk ke hidup manusia sampai
pada bagian yang paling dalam agar manusia bersatu dan bersama Dia, untuk
selanjutnya berani berjuang dalam hidup sehari-hari berkat penyertaanNya yang
merangkum dan meliputi semua itu.Kehadiran Allah yang sungguh nyata begitu
mendapat tempatnya di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi menghadirkan karya
penyelamatan Allah.
Di sinilah ekaristi
memperlihatkan relasi yang kuat akan Kehadiran Yesus yang berbelas kasih dan
mengundang semua orang dalam persaudaraan serta persekutuan denganNya.
Pemberian diri Yesus yang sehabis-habisnya melalui wafatnya di kayu salib
menjadi segi yang paling pokok dalam Perjamuan Ekaristi. Dan akhirnya Perayaan
Ekaristi mengungkapkan kebersamaan dengan Yesus yang bangkit. Dengan demikian
semakin jelas di sini bahwa Perayaan Ekaristi memperlihatkan kehadirian Allah
dalam diri Yesus yang sungguh nyata. Kehadiran itu tidak diperlihatkan hanya
dalam salah satu sisi hidupnya saja melainkan keseluruhannya.Perjumpaan Allah
dengan manusia di dalam ekaristi bukanlah sebuah pertemuan yang terjadi secara
kebetulan. Perjumpaan ini dilandaskan atas dasar cinta yang murni. Di dalam
Ekaristi, perjumpaan terjadi karena adanya inisiatif yang berasal dari Allah.
Inisiatif dari Allah tersebut kemudian ditanggapi oleh pihak manusia.
Adanya perjumpaan yang
didorong oleh cinta yang mendalam, seharusnya menggetarkan hati kita untuk
menyampaikan sikap yang serupa. Kita, yang senantiasa merayakannya, selayaknya
memiliki sikap yang terarah pada pengurbanan yang serupa kepada sesama. Kita pun ditantang untuk masuk dalam
pertanyaan, Apa yang selanjutnya dapat kita persembahkan? Melalui tubuh kita,
kita persembahkan segala hal yang membentuk hidup jasmani kita: waktu,
kesehatan, kekuatan, keahlian, perasaan-perasaan kita, segala hal yang selama
ini kita anggap bernilai. Melalui ‘darah’ kita mempersembahkan kerendahan hati,
kegagalan dalam hidup, penyakit-penyakit yang sedang menggerogoti hidup kita,
keterbatasan-keterbatasan yang kita alami dan semua hal yang ‘mematikan‘ kita.
yang terpenting di sini adalah persembahan seluruh kehendak dan pikiran kita.
Sakramen pada dasarnya
muncul sebagai suatu pertemuan antara Allah, yang datang kepada manusia, dan
manusia yang naik kepada Allah.[3]
Hal inilah yang membuat sakramen tidak tinggal sebagai sebuah karya monumental
dan sekedar rumusan kosong saja. Tanggapan manusia menjadi suatu tuntutan atas
tawaran Allah itu. Sakramen menjadi sungguh berbuah dalam hati manusia hanya
dalam penerimaan manusia yang rendah hati
Jelaslah bahwa di sini
sakramen bukanlah hanya sebuah ritus. Sakramen akan mengalami kepenuhan dalam
pengandaian terdapat hidup yang terbuka kepada Allah. Boff mengungkapkan bahwa
bagian esensial dari sebuah sakramen adalah suatu proses menjalani pertobatan
dan mencari Allah.[4]
Hal yang sama nampaknya dapat kita kenakan terhadap ekaristi sebagai sebuah
sakramen. Kurban Kristus di dalam ekaristi harus membawa pertobatan bagi
manusia yang menyantapnya. Maka sebenarnya kita harus melihat sakramen secara
lebih dinamis. Dengan kata lain, sakramen tidak terbatas pada sebuah ritus yang
sedang dijalankan. Dalam tangan yang menyambut uluran rahmat Allah pun
dibutuhkan sebuah hati, sehingga dimampukan juga untuk masuk dan juga
dipersatukan dalam sebuah perayaan. Dengan kata lain, kita yang masuk dalam
perayaan kurban, harus siap pula menjalani kurban yang sama, menghidupkan iman
Kristen dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Yesus. Pengalaman
sedih, sengsara, dan derita serta segala hal yang kita anggap sebagai
kemalangan dalam hidup akan menjadi suatu hal yang biasa. Kita yang secara
rutin mempersiapkan diri untuk merayakan Ekaristi, seharusnya menjadikan ekaristi
sebagai sebuah ungkapan yang hidup dari sebuah suatu kehidupan yang diterangi
iman.
Sakramen sebagai
Sakramen selalu mengandung sebuah komitmen untuk mengubah praksis hidup
seseorang. Perayaan ekaristi mengandung pula sebuah tuntutan pertobatan. Maka
jika di dalam Ekaristi seseorang menerima komuni (comunio = persekutuan), unsur-unsur comunio juga harus tampak dalam komunitas di mana mereka hidup.
Bagaimana mungkin komuni yang mereka rindukan dengan penuh pengharapan dalam
Ekaristi dapat terwujud jika dalam kehidupan luar kita yang tampak adalah sikap
saling memusuhi satu sama lain, memperlakukan orang dengan tidak adil? Komuni
yang diterima dalam Ekaristi pun akan menjadi hambar. Apa yang dialami dalam
Ekaristi menuntut praksis dalam kehidupan. “Perwujudan” Allah mengandaikan
kerjasama dengan manusia.
Dengan demikian,
setelah mengikuti Ekaristi, saya tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh
terhadap saudaraku yang lain. Apa gunanya kita mempersembahkan suatu
persembahan jika kita sendiri belum berdamai dengan saudara kita yang lain (
bdk. Mat 5:23-26)? Penolakkan terhadap saudaraku menyimpan makna bahwa saya pun
menolak Kristus dan memisahkan diriku dari persatuan tersebut. Kristus yang
kita terima dalam komuni adalah Kristus yang sama dan tak terbagi yang diterima
oleh orang di sampingku. Ia mempersatukan kita satu sama lain dengan
mempersatukan kita di dalam diriNya(bdk. Kis 2:42). Ekaristi menguatkan
kehidupan dan hidup yang kita jalani sendiri adalah kehidupan di tengah dunia
di mana kita sendiri menerima dan memberikan hidup. Hidup orang Kristen
haruslah mampu dipadankan dengan nilai-nilai injil, membiarkan sabda Allah
berbicara kepada kita. Kabar gembira harus dapat diwartakan melalui hidup kita
sehingga injil menjadi warta kehidupan.
Akhir
Kata ….
Terkadang bagi kita
yang dapat secara rutin dapat ikut merayakan dan menghadiri Perayaan Ekaristi,
nilai dan makna terdalam dari perayaan tersebut tidak dapat lagi kita rasakan.
Kerinduan akan perjumpaan dengan Kristus tidak dapat kita rasakan secara
mendalam. Ada bahaya bahwa kita merayakan dan ikut Ekaristi hanya ‘sekenanya’,
tanpa persiapan. Atau bahkan bersikap kompromis jika tidak bisa mengikuti
perayaan Ekaristi.
Saya teringat akan
pengalaman seseorang yang suatu ketika mengatakan merasa ‘pusing’, kosong, dan
hidup menjadi berantakan karena sudah hampir setahun tidak bisa menyambut
komuni di dalam perayaan Ekaristi berhubung permasalahan yang sedang dialaminya.
Saya pun teringat pula pada pengalaman ketika masa awal ‘belajar berpastoral’
di sebuah paroki di Kalimantan. Seorang umat dari sebuah stasi secara
mengejutkan menghampiri saya, “ Kenapa frater sudah lama tidak sembayang di
tempat kami? Kami sudah lama tidak menyambut roti.” Sapaan kecil dari bapak
tersebut saya pandang sebagai ungkapan kerinduan akan perjumpaan dengan Tuhan.
Maka suatu hal yang menggembirakan bagi mereka jika ada Pastor, frater, suster
atau bahkan katekis yang memimpin mereka sembayang dan membagi komuni, syukur
jika bisa mengadakan ekaristi. Mereka akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Dan setelah ibadat atau misa biasanya kami berkumpul bersama umat di dalam
rumah panjang. Suatu pengalaman yang mengesankan. Dua pengalaman tersebut seolah
mengingatkan saya kembali betapa bersyukurnya saya masih dapat merasakan
ekaristi setiap hari. Di sisi lain menjadi tantangan untuk senantiasa memaknai dengan
sungguh setiap kali mengikuti perayaan ekaristi.
Ekaristi tidak
berakhir pada saat komunitas yang berkumpul menyanyikan ayat terakhir dari lagu
penutup misa. Ekaristi berakhir pada sebuah perutusan. Kita dipanggil dan
diutus membawa warta keselamatan Allah kepada sesama. Spiritualitas Ekaristi
bukan merupakan sebuah spiritualitas yang hanya memperhatikan kedalaman
batin. Spiritualitas itu harus membawa
kita melihat ke dalam Komunitas Kristiani itu sendiri. Ekaristi hanya tetap
akan menjadi sebuah perayaan yang tak menghasilkan apapun jika tidak mampu membawa
kita pada jiwa sebagai murid yang diutus untuk membangun kasih di dalam
komunitas hidup Kristini.
Ekaristi tidak akan
berarti apa-apa jika tidak membentuk sikap untuk saling mengasihi kepada
sesamanya. Ekaristi tidak akan bermakna apa-apa jika diri kita senantiasa
diliputi rasa dendam dan benci. Sabda Allah yang kita dengar dalam Ekaristi
akan terasa sungguh kering jika hati kita tetap tertutup terhadap keberadaan
orang lain di sekitar kita. Transformasi Ekaristi hanya mungkin terjadi di
dalam sebuah komunitas yang saling mengasihi, dan di dalam komunitas yang
saling mengasihi itulah karya keselamatan Allah mengungkapkan kehadirannya yang
nyata (bdk.1Kor 11:21-22).
Disarikan
dari beberapa Sumber
Boff, Leonardo, OFM (terj. Dr.Konrad
Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari
Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta: Penerbit OBOR, 2007
Bremen, P.V.,SJ, ( Terj. A. Soenarja, SJ), Bagaikan Roti diremah, Yogyakarta:
Kanisius, 1984
Catalamesa, Raniero (Terj.N.J. Boumas, SVD
dkk.), Ekaristi Gaya Pengudusan Kita,
Ende: Nusa Indah , 1992.
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika2, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Osborne, Kenan B, OFM, (terj. Hartono Budi,
SJ dkk.), Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2008
[1]
Tulisan ini merupakan ringkasan dengan beberapa tambahan dari paper yang pernah
dibuat pada mata kuliah seminar “Ekaristi dan Transformasi Hidup”.
[2]
Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen
Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hlm. 266.
[3]
Lih. Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen, Jakarta:
Penerbit OBOR, 2007, hlm.131.
[4]
Leonardo Boff, OFM (terj. Dr.Konrad Kebung, SVD), Sakramen-Sakramen dari Hidup dan Hidup dari Sakramen-Sakramen,hlm.
131
1 komentar:
Salken
Posting Komentar