Ekaristi: Tanda Penuh
Syukur
Oleh: Fr. Nemesius Pradipta
Keuskupan Agung Jakarta
menetapkan tahun 2012 sebagai “Tahun Ekaristi”. Sebagai calon imam diosesan
Jakarta, selain turut serta dalam gerak-langkah keuskupan, Tahun Ekaristi
merupakan saat yang tepat untuk melihat kembali pengalaman serta memperdalam pengetahuan
dan iman saya mengenai Ekaristi. Melalui proses pengolahan ini saya berharap
semakin mampu memaknai Ekaristi sehingga, ketika saya menghadiri perayaan iman
ini, saya sungguh didorong oleh rasa cinta dan kerinduan yang mendalam. Melalui
tulisan ini, saya mencoba membagikan pengalaman betapa usaha saya untuk
menghayati Ekaristi merupakan suatu proses jatuh-bangun.
Dalam
dua tahun terakhir ini, saya menyadari betapa pentingnya Ekaristi bagi penghayatan
iman saya sebagai seorang calon imam. Kesadaran itu muncul ketika saya mencoba
mengenang kembali waktu-waktu di mana saya mulai mampu mengenal Ekaristi secara
lebih baik. Saya ingat sewaktu masih kecil, ketika kami sekeluarga pergi ke gereja,
orang tua saya memiliki kebiasaan untuk duduk di bangku barisan terdepan. Jarak
kami dengan altar sangatlah dekat. Karenanya, saya dapat melihat dengan jelas
saat-saat di mana seorang imam memimpin Perayaan Ekaristi. Dari pengalaman itu,
saya begitu terkesan pada bagian imam melakukan konsekrasi. Bagi saya
konsekrasi adalah momen yang paling agung dan indah dalam Ekaristi.
Pada rekoleksi beberapa waktu yang lalu, saya
merenungkan betapa imam memiliki peranan yang amat penting dalam Ekaristi.
Hanya melalui tangan seorang imamlah perayaan Ekaristi dapat dilakukan. Dan
sebagai calon imam saya mempertanyakan apakah mungkin saya mampu menghayati
Ekaristi kalau saya sendiri tidak memiliki kerinduan untuk mengikuti Ekaristi? Berdasarkan
pengalaman ini saya berusaha menghayati Ekaristi secara lebih mendalam. Dan
semenjak itu pula pergulatan saya yang penuh jatuh-bangun ini dimulai.
Kesadaran Atas Tiga Rahmat
Sebagai seorang frater
yang selalu mengikuti Ekaristi setiap hari, saya menyadari adanya beberapa
godaan yang kerap kali muncul. Godaan-godaan tersebut antara lain rasa kantuk,
rasa bosan, dan—yang paling parah—sikap mengabaikan dan menyepelekan Ekaristi. Padahal saya juga menyadari tiga
rahmat yang sudah sepatutnya saya syukuri dalam hidup di Seminari berhubungan
dengan pengalaman Ekaristi. Pertama,
saya bisa mengikuti Ekaristi setiap hari. Kami, para frater atau seminaris,
tidak perlu bersusah payah mencari imam untuk memimpin Ekaristi—bandingkan
dengan umat di luar yang kerap kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari
seorang imam. Para imam (romo) di Seminari, selain terjadwal, juga dengan setia
menyediakan waktu mereka untuk memimpin perayaan Ekaristi. Bahkan di seminari,
kami memiliki empat romo yang secara bergantian memimpin Ekaristi. Bagi saya
kondisi semacam ini merupakan suatu rahmat yang luar biasa.
Kedua, saya tidak perlu menempuh
jarak yang jauh untuk datang ke kapel tercinta kami. Kapel seminari yang berada
di lantai dua, hanya berjarak 10 m dari kamar saya. Saya hanya memerlukan 27
langkah kecil dan waktu 10 detik untuk sampai ke depan pintu kapel seminari.
Bukankah keadaan ini juga merupakan rahmat yang sangat luar biasa bagi kami
para calon imam, dibandingkan dengan perjuangan umat Katolik di KAJ untuk
datang ke gereja. Mereka perlu memikirkan biaya, jarak tempuh, waktu, cuaca,
dan segudang kondisi lain yang memang perlu mereka perjuangkan untuk menghadiri
satu kali Perayaan Ekaristi di paroki setiap minggunya.
Ketiga, saya menerima pengajaran
secara formal mengenai Ekaristi di STF Driyarkara. Sebagai calon imam,
mempelajari Ekaristi secara teologis dan sistematis merupakan salah satu
kegiatan yang wajib dialami. Di bawah bimbingan dosen Ekaristi yang baik, selama
satu semester pikiran saya dihujani dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan
seputar Ekaristi. Saya diajak untuk menggali dasar-dasar Ekaristi melalui Kitab
Suci, Magisterium, dan Tradisi
Gereja. Kemudian, saya juga dipertemukan dengan pemikiran Jemaat Perdana dan
para Bapa Gereja untuk mendengarkan perkembangan Ekaristi sejak awal kekristenan.
Saya juga dihadapkan dengan kata-kata sulit seperti transubstansiasi, realis praesentia,
konsekrasi,
cenaculum, dan sebagainya. Ketika Ekaristi memasuki ruang kuliah, rasanya semua
terasa sulit dan rumit. Tetapi melalui pengalaman ini saya bersyukur karena tidak
semua orang memiliki kesempatan yang luar biasa ini.
Ekaristi dan Pergulatannya
Ketika menyadari akan
kelemahan dan kekurangan diri dalam
menghayati Ekaristi, saya merasa benar-benar kecewa. Ada suatu hal yang perlu
saya kembangkan tetapi saya tidak tahu harus memulainya dari mana. Menurut
saya, menghayati Ekaristi merupakan hal yang sulit sekali dilakukan. Meski saya mendapatkan pelajaran tentang Ekaristi,
saya merasa tidak mampu ketika diajak untuk menghayatinya. Semakin lama saya merenung, semakin terasa kekeringan itu dan dalam waktu yang panjang saya
merasa sendirian. Ekaristi seakan tidak memberikan suatu inspirasi yang
menghidupkan.
Setelah
melewati hari-hari yang panjang, dalam suatu rekoleksi saya diajak untuk memahami
Ekaristi secara ‘baru’. Saya tahu benar bahwa Ekaristi adalah “sumber” dan
“puncak” hidup orang Kristen. Tetapi pengetahuan itu hanyalah sebatas
pengetahuan rasional, tetapi tidak berangkat dari pengalaman iman saya akan Ekaristi. Dalam pertemuan itu saya sungguh
terkesan dengan ungkapan St. Agustinus tentang Ekaristi yaitu “Visibilis signum
invisibilis gratiae”, yang artinya tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan. Melalui
ungkapan ini, saya diingatkan bahwa kerap kali
kita lebih mementingkan tanda yang kelihatan, namun kita lupa akan peran rahmat Allah yang tidak kelihatan. Saya
sadar mengapa selama ini
Ekaristi kerap kali terasa kering dan membosankan. Bahkan, saya sering jatuh pada perasaan suka-tidak suka dan bukan
pada pertanyaan apakah Ekaristi dan doa-doa yang saya jalani menyentuh secara
personal.
Melalui
pemahaman iman inilah saya memang memerlukan suatu sikap baru dalam
mengembangkan hidup rohani sehingga tidak dangkal dan monoton. Maka memang
perlu suatu gerakan perubahan (Baca: Aggiornamento) dalam iman dengan berbagai cara. Misalnya: membaca
buku-buku yang berkaitan dengan Ekaristi, memperdalam devosi kepada Sakramen
Mahakudus, dan meniru orang lain yang dirasa memiliki pengalaman yang intim
dengan Ekaristi.
Kemudian, saya memutuskan untuk belajar dari
pengalaman santo-santa dalam menghayati Ekaristi. Saya mencoba melihat
bagaimana para kudus itu sangat mencintai Ekaristi dengan sangat mendalam dan
mesra. Kesempatan ini saya temukan dalam buku Yesus Kekasih Kita dalam Ekaristi karya P. Stefano M. Manelli. Beberapa santo-santa yang kerap
kali disebut dalam buku ini antara lain: St. Gemma Galgani, Padre Pio, St.
Katarina dari Sienna, M. Vianney, dan St. P. Yulianus Eymard. Melalui para kudus ini saya belajar
betapa iman memberikan kita kepastian yang tak tergoyahkan mengenai Ekaristi.
Ekaristi itu sedemikian besar sehingga tak seorang pun dapat menginginkan
sesuatu lain yang lebih besar. Sebagaimana St. P. Yulianus Eymard menyatakan di
akhir ajalnya bahwa kita sudah memiliki Ekaristi, sehingga tidak ada lagi yang
kita perlukan. Saya sungguh terkesan dengan penghayatan para kudus ini dalam
mencintai Ekaristi. Saya hanya memiliki gagasan Allah yang Mahabesar, tetapi
tidak mampu merasakan cinta-Nya. Sedangkan bagi mereka, Ekaristi adalah Cinta
yang melampaui segala cinta di surga dan di bumi.
Beberapa
waktu setelah itu, kami para frater diosesan mendapat kesempatan untuk bertemu
dengan Mgr. Suharyo secara pribadi. Dalam pertemuan itu saya dapat berbagi
cerita mengenai pergulatan dan sukacita menjalani panggilan sebagai calon imam
di Jakarta. Tak lupa pula saya menceritakan pergulatan yang saya hadapi selama
ini berkaitan dengan Ekaristi. Dengan sangat bangga saya menceritakan segala
“penemuan” rohani di atas kepada beliau. Mgr. Suharyo mendengar semua uraian
saya dengan tersenyum, lalu bertanya. “Frater, apa arti Ekaristi itu?” Dengan
cepat dan mantap saya menjawab bahwa Ekaristi berasal dari bahasa Yunani, “Eucharistia” yang artinya ucapan syukur. Kemudian, Mgr. Suharyo kembali
bertanya, “Apakah sampai saat ini frater sudah mensyukuri hidup frater?” Kini,
giliran saya yang tersipu malu karena tidak pernah memikirkan hal yang sederhana namun begitu mendalam itu.
Pada
pertemuan itu, Mgr. Suharyo menekankan bahwa segala usaha yang saya lakukan itu
baik. Tetapi hal itu akan semakin baik
bila saya mampu mensyukuri hidup ini. Ada banyak hal yang dapat disyukuri dalam
hidup kita. Mulailah mensyukuri sukacita, penderitaan, sakit, harapan,
kesedihan, kemalangan dan keberuntungan kita. Hidup manusia itu sungguh kaya
untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Dan melalui Ekaristi kita dapat
mempersembahkan semuanya kepada Tuhan.
Sumber Air yang Tidak Pernah
Mengering
Akhirnya, saya yakin
bahwa sepenggal pengalaman yang saya sampaikan di atas bukanlah akhir dari
pergulatan saya dalam menghayati Ekaristi. Saya sungguh
menyadari bahwa semua upaya yang saya lakukan untuk menghayati Ekaristi
merupakan proses jatuh-bangun sehingga setiap
pergulatan saya tidak pernah berhenti. Karenanya, saya semakin yakin bahwa Allah
tetap mendampingi seluruh pergulatan hidup yang saya hadapi. Kehadiran-Nya menjadi nyata dalam Ekaristi yang saya terima setiap hari,
sampai akhirnya nanti saya turut serta dalam perjamuan kudus di surga.
Sungguh
agunglah Ekaristi itu. Saya percaya bahwa Ekaristi ibarat sumber
air yang tidak pernah mengering dan di dalamnya tercurahlah air yang tidak akan habis
kesegarannya. Air ini begitu kaya, sebab sekali kita meminumnya, kita tidak
akan berkuasa menahan dorongan tubuh kita sendiri yang memintanya terus. Hal
ini persis seperti perempuan Samaria yang dengan penuh
kekaguman meminta air hidup kepada Yesus sehingga pada akhirnya jiwa kita
selalu disegarkan (Yoh 4: 14). Sungguh Ekaristi menjadi air
kehidupan yang penuh “misteri”.
1 komentar:
Salken
Posting Komentar