Saya, Tambal Ban, dan Seminari
Fr.
Wahyu Kristian Wijaya
Nama
saya Wahyu Kristian Wijaya. Saya berasal dari keluarga sederhana yang tinggal
di daerah Prambanan, sebuah kota
di Jawa Tengah. Saya dua bersaudara. Adik saya bernama Wahyu Dwi
Kristianto. Ayah bekerja di bengkel sepeda ontel
sedangkan ibu membuka warung rokok dan sembako. Sejak kecil, saya sudah
diajarkan untuk hidup mandiri. Ketika TK, saya sudah berangkat sekolah sendiri
dengan jalan kaki dan SD juga demikian. Saat kelas empat SD, saya sudah mulai
membantu ayah bekerja di bengkel. Pada mulanya, hanya mengantar makan siang,
tapi lama-lama saya mulai membantu menambal ban sepeda. Kegiatan ini saya lakukan setelah pulang
sekolah hingga sore setiap hari. Melalui kegiatan harian tersebut, nilai-nilai
kebaikan mulai ditanamkan dalam diri saya, entah dengan membantu orang lain
ataupun dengan tekun bekerja keras pada pekerjaan dan pelajaran di sekolah.
Sedari kecil, saya diajak ke gereja bersama dengan
naik sepeda ontel. Jarak gereja dari
rumah lebih dari 10 km. Kata orang tua saya, waktu masih kecil saya di gereja
sering jalan-jalan. Bersamaan
dengan itu pula, dalam keluarga, kehidupan doa saya mulai ditanamkan sejak
kecil dengan berdoa sebelum dan sesudah makan, akan tidur dan bangun tidur, dan
belajar. Ketika duduk di bangku SMP, saya mulai aktif di kegiatan misdinar. Pada
waktu kelas dua, saya menjadi ketua misdinar. Pada saat itulah, saya merasa
tertarik dan terpanggil untuk menjadi imam.
Suatu ketika, di paroki saya akan ada perayaan ekaristi
pada pukul 21.00. Akan tetapi, pada waktunya, Romo yang memimpin misa belum
datang dan ia terlambat hingga setengah jam. Perayaan ekaristi pun berjalan
dengan tidak lancar. Homili ditiadakan dengan alasan Romo mengalami kelelahan.
Pada saat melihat kejadian Romo yang mengalami kelelahan tersebut, sya
bertanya,“ kok sampai kayak gini?“ Situasi macam itu makin menggerakkan
saya untuk menjadi imam. Namun, saya tidak mengutarakan keinginan ini kepada
orang tua; mengingat, saya masih dibutuhkan dalam keluarga dengan bekerja di
bengkel untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suatu ketika, saya juga pernah dimarahi
karena terlalu sering ke gereja sehingga perkerjaan di bengkel menjadi tidak
terurusi. Saat itu, saya semakin sadar betapa pentingnya membantu orang tua
khususnya bekerja. Dan, sampai masa belajar saya di STM, saya masih membantu
bekerja setelah pulang sekolah.
Pada saat lulus STM, saya pergi ke Jakarta karena
mendapat pekerjaan. Pada saat bekerja, keinginan untuk menjadi imam masih terus
hidup dan saya membinanya dengan mengadakan bimbingan rohani pada seorang pastor
di paroki Arnoldus Bekasi. Pada
tahun 2004, saya mengutarakan keinginan saya untuk menjadi imam kepada
keluarga. Saya merasa sudah dewasa dan adik saya sudah bisa membantu ayah
bekerja di bengkel sehingga “saya sudah tidak dibutuhkan lagi “dalam hal
bekerja di rumah. Namun, jawaban atau tanggapan dari keluarga, khususnya ibu
dan adik begitu pasif. Hanya ayah yang merestui saya. Konsekuensinya, saya harus
mengundur waktu untuk masuk seminari.
Dalam
perjalanan selanjutnya, saya terus mengadakan bimbingan rohani dengan Pastor
Lusius Sari Uran SVD, Pastor Paroki Arnoldus Bekasi. Dalam bimbingan, saya
disarankan untuk menyakinkan ibu agar mengijinkan saya masuk seminari. Karena,
jika ibu tidak mengijinkan saya, hal ini bisa menjadi beban di masa mendatang. Saya
bersyukur karena ayah berusaha menyakinkan ibu dan adik saya supaya memperbolehkan
saya masuk seminari dan menjadi imam.
Ternyata, mereka tetap tidak mengijinkan saya masuk seminari. Tetapi,
saya merasakan, di balik pengalaman ini, Tuhan memiliki rencana lain. Pada
bulan Mei 2006, terjadi gempa di Yogyakarta dan Klaten. Rumah saya terkena gempa
dan keluarga harus tinggal di tenda pengungsian. Pada waktu itu, saya masih
bekerja dan mendapat bantuan dari perusahaan yang cukup untuk memperbaiki
rumah. Sekarang rumah sudah berdiri kembali dan saya bersyukur kepada Tuhan
masih diberi rahmat keselamatan kepada keluarga sehingga selamat.
Saya merefleksikan atau memaknai kejadian tersebut
sebagai jalan yang diberikan Tuhan bagi saya. Seandainya tetap memaksakan diri
untuk masuk seminari pada tahun 2004, mungkin saya tidak dapat membantu biaya
perbaikan rumah. Tetapi, Allah memang berkehendak lain. Malahan, hati ibu dan
adik saya makin diketuk-Nya untuk mengijinkan saya berjalan bersama-Nya:
menjadi imam.
Saya begitu senangnya dan bersemangat untuk segera
mendaftarkan diri ke Seminari Tinggi KAJ. Memang, sebelumnya, saya pernah
mengikuti retret panggilan yang diadakan oleh Seminari Tinggi KAJ di Samadi.
Dalam retret terungkap keprihatinan umat tentang jumlah imam di KAJ yang
sedikit dan banyaknya umat yang perlu dilayani. Keprihatinan ini membuat
keinginan saya untuk menjadi imam di KAJ semakin tinggi. Lalu, saya memutuskan
untuk mengikuti solisitasi di Wisma Puruhita. Saya merasa, semuanya telah
direncanakan Tuhan tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Sekarang, saya berada di Tahun Orientasi Rohani
Seminari Tinggi Yohanes Paulus II KAJ dan membina kehidupan rohani saya sebagai
seorang calon imam. Bersama dengan itu, saya juga mengolah pengalaman hidup
pribadi, hidup studi, hidup komunitas, dan hidup berpastoral. Saya merasa
begitu bersemengat menjalani semuanya ini. Dan, akhirnya, saya sungguh
mengimani bahwa Tuhan telah memiliki rencana atas hidup saya ini.©
* * *
1 komentar:
Salken
Posting Komentar