Persekutuan dalam Ekaristi
Oleh: Fr. Bonifasius
Lumintang
Suatu hari, saya
bekesempatan mengikuti perayaan ekaristi di sebuah paroki di Jakarta. Selesai
lagu pembuka dinyanyikan, imam tidak langsung membuka perayaan ekaristi dengan
tanda salib, melainkan imam mengajak segenap umat untuk memberikan salam kepada
umat yang berada di sekelilingnya. Bagi saya, hal ini merupakan pengalaman yang
menarik karena ungkapan berbagi salam mengingatkan kita bawasannya tidak ada ekaristi dalam komunitas yang
anggotanya tidak mengasihi satu sama lain.[1]
Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi apabila masing-masing anggotanya
pun tidak mengenal satu sama lain ? Bagaimana perjamuan kasih dapat terjadi
apabila “sekat-sekat” pembeda dan pemisah (suku, status sosial, dll) masih
membelenggu dan tidak ditanggalkan? Henri
J.M.Nouwen merefleksikan dengan indah tentang arti hidup yang berbelas kasih.
Ia mengatakan bahwa hidup yang berbelas
kasih adalah hidup bersama. Belas kasih bukanlah sebuah watak khas pribadi,
sikap pribadi atau suatu bakat istimewa, akan tetapi adalah sebuah cara hidup
bersama (bdk. Flp 2 : 1 – 4).[2] Dari pengalaman sederhana
di atas, lebih jauh lagi, kita dapat bertanya, Bagaimana aspek Communio (kesatuan) bergema setiap kali kita merayakan ekaristi?
Bercermin Pada Tegangan
Antara Paulus dan Jemaat Korintus
Permasalahan dan
penjelasan yang berkaitan dengan ekaristi terdapat di dalam bab 10 (1 Kor 10:14-22)
dan 11 (1 Kor 11:17-34) dari surat pertamanya kepada jemaat di Korintus.
Konteks surat paulus kepada jemaat di Korintus adalah bahaya akan terjadinya
perpecahan. Paulus mencela pengelompokkan di antara orang-orang Korintus. Ia
tidak mengkritik bagi masing-masing kelompok, tetapi mengkritik jemaat sebagai
keseluruhan karena membiarkan dirinya dipecahkan dalam beberapa kelompok.[3]
“
Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu
tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan
roh-roh jahat” (1 Kor 10:21). Di dalam bab 10, Paulus memberikan
perhatian pertama-tama kepada aspek komunitas sebelum ia berbicara tentang
perayaan Ekaristi. Paulus hendak menegaskan bahwa kesehatan spiritual sebuah
komunitas merupakan syarat mutlak bagi setiap perayaan ekaristi. Baginya,
sungguh tidak mungkin mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan, namun sekaligus
ambil bagian dalam perjamuan roh-roh jahat yang pada akhrinya menyeret orang
tersebut berskutu dengah roh-roh jahat itu sendiri.
Dalam 1 Kor 11:17-34,
nampak secara jelas reaksi ketidaksenangan Paulus akan tingkah laku dan
praktek-praktek menyimpang yang dilakukan oleh jemaat Korintus dalam perayaan
ekaristi. Terjadi perpecahan yang di latar belakangi adanya konflik kepentingan
dan pembagian kelompok berdasarkan status sosial. Singkatnya, pada waktu itu terjadi
distingsi tegas antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Perlu diketahui bahwa
pada zaman Paulus, komunitas Yesus tidak memiliki bangunan gereja seperti yang
kita miliki sekarang ini (megah, mewah, ber-AC, dan mampu menampung ribuan umat
dalam ruangan luas dan besar). Untuk mengadakan perjamuan, dibutuhkan ruangan
yang besar. Perlunya ruang yang besar berarti bahwa Ekaristi diadakan di rumah
orang kaya.[4]
Dan si tuan rumah, tentu berhak menentukan siapa-siapa saja yang berhak masuk
ke tempat terhormat, dan siapa-siapa saja yang tidak. Semua orang Kristen
termasuk kaum miskin dan budak dapat diterima dalam ruang tamu (termasuk
halaman) untuk berpartisipasi dalam perjamuan – dengan hanya sedikit makanan
dan minuman atau sama sekali tidak ada, tetapi hanyalah sahabat-sahabat yang
sama kaya dan terhormat akan diundang oleh tuan rumah ke “mejanya” untuk
menikmati makanan.[5]
Persis inilah yang dikritik oleh Paulus.
Pemisahan itu tidak cocok dengan gambaran Paulus tentang jemaat Allah. Baginya,
selama masih ada pemisahan seperti itu, tidak akan tercipta komunitas
ekaristis. Tidak mungkin ada ekaristi di
dalam komunitas yang anggota-anggotanya tidak saling mengasihi. Dalam
perjamuan Tuhan hadir dalam rupa roti dan anggur, tubuh dan darah-Nya (realis prasentia). Karenanya jika dalam
perjamuan tiada rasa saling menghormati, malahan menyingkirkan dan memecah
belah persaudaraan, atau yang satu menjadi batu sandungan bagi yang lain, ia
berdosa terhadap Kristus. Di sini diletakkan dasar tentang apa yang disebut
sebagai communicatio in sacris, relasi
yang membangun dan menyatukan dalam segala apa yang kudus dan saleh.[6]
Persekutuaan dengan
Kristus = Persekutuan dengan Sesama
Dalam ekaristi, Tuhan
Yesus adalah tuan rumah, namun juga menjadi kurban perjamuan itu sendiri. Ia
hadir dalam rupa roti dan anggur. Menyantap roti dan anggur, yang adalah tubuh
dan darah Kristus berarti ikut ambil bagian / berpartisipasi dalam persekutuan
(koinonia) dengan tubuh dan darah
Kristus. Istilah koinonia, yang
menunjuk pada pengertian mengenai persaudaraan dekat dengan istilah haima dan soima yang punya arti
persaudaraan dengan seseorang atau dengan sesuatu. Mereka yang hadir dalam
perjamuan tersebut diajak terutama untuk membangun kesatuan terlebih dengan
Kristus Yesus (aspek vertikal). Bersatu dengan Kristus dapat kita maknai
sebagai berhubungan satu sama lain dengan pikiran dan perasaan Kristus artinya
dengan cara yang sama seperti yang ditempuh Kristus dalam menghubungi kita,
dalam penghambaan dan kerendahan hati. Dan, berangkat dari kesatuan dengan Tuhan itu
lalu dibangunlah kesatuan dengan sesama, satu sama lain (aspek horizontal).
Berkati ikut serta
dalam satu tubuh yang sama, maka kita yang banyak disatukan dalam satu tubuh –
Gereja. Gereja karenanya lahir dan hidup dari serta dalam Ekaristi. Kristologi
menentukan eklesiologi, dan bukan sebaliknya. Gereja dengan demikian merupkan
tempat di mana kenangan akan kristus menjadi hidup. Oleh karena itu, Ekaristi dengan demikian
manjadi tanda kesatuan Gereja. Gereja menjadi tubuh Kristus sebab gereja disatukan
melalui Ekaristi.[7]
Refleksi
Arah Dasar Pastoral
Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2011 -2015 menegaskan bahwa “ Gereja Keuskupan Agung Jakarta bercita-cita menjadi Umat Allah yang,
atas dorongan dan tuntunan Roh Kudus, semakin memperdalam imannya akan Yesus
Kristus, membangun persaudaraan sejati dan terlibat dalam pelayanan kasih di
tengah masyrakat”. Apa yang dirumuskan dalam Arah Dasar Keuskupan Agung
Jakarta kiranya merangkum apa yang hendak penulis sampaikan kali ini. Rumusan
tersebut dapat menjadi titik tolak kita untuk bertanya Apakah gema persekutuan dan persatuan dalam
kasih yang diwariskan Yesus lewat ekaristi terasa dalam komunitas paroki atau
keuskupan atau komunitas-komunitas religius? Kalau setiap umat kristiani mampu
tekun menimba kekuatan kasih dalam perayaan ekaristi tentu membuat orang lain
akan berkata “Yang begini belum pernah kita lihat” (Mrk 2:12) dan pada akhirnya
“...mereka disukai semua orang” (Kis 2:44-47).
[1] Osborne, Kenan B. Komunitas
Ekaristi dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. 2012. Hlm. 94
[2] Nouwen, Henri J.M. Sehati
Seperasaan: Sebuah Permenungan Tentang Hidup Kristen. Yogyakarta:
Kanisius.1987. Hlm. 68
[3] Salah satu contoh gambaran situasi perpecahan itu dapat kita lihat
pada 1 Kor 1:12 “...Aku dari golongan
Paulus, atau Aku dari golongan Apolos, atau Aku dari golongan Kefas, atau Aku
dari golongan Kristus. Menanggapi itu Paulus menekankan bahwa Yesus Kristus
adalah satu-satunya dasar. Yesus Kristus tidak terbagi-bagi (ayat 13).
[4] Harun, Martin. Surat-Surat Paulus:
Pengantar, Tafsir, Teologi. Jakarta: STF Driyarkara.2011.Hlm 97-98
[5] Harus diakui bahwa distingsi yang demikian itu juga semakin dipertegas
oleh kebiasaan bangsa Roma yang menggolongkan para tamu menurut tingkat
sosialnya dan hampir mengabaikan orang-orang yang dianggap rendah.
[6] Diambil dari diktat kuliah Ekaristi yang disusun oleh T. Krispurwana
Cahyadi, SJ. Hlm. 5-7
[7] Martasudjita, E. Ekaristi:
Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Partoral. Yogyakarta: Kanisius. 2009. Hlm
238
1 komentar:
Situs katolik
Posting Komentar