EKARISTI DAN
KOMUNITAS KASIH
Oleh: JacobusTarigan, Pr
Umat menghadiri misa, khususnya pada hari Minggu, Dies
Domini, bukan hanya karena kewajiban, tetapi lebih untuk memuliakan Allah, yang
adalah kasih. Mereka bersyukur atas kasih karunia Allah yang dialami dalam
hidup sehari-hari. Demikian juga umat mohon rahmat dan berkat untuk dapat
menjalankan kehidupan sesuai dengan contoh teladan dari Yesus Kristus,
mencintai sesama sampai menyerahkan nyawaNya sendiri. Umat memang tidak tahu
bahwa Ajaran Sosial Katolik merupakan bagian dari iman Katolik, tetapi mereka
melaksanakannya. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja, seperti Solidaritas,
Subsidiaritas, hormat terhadap kehidupan manusia dan lain-lain, sudah biasa
dijalankan dalam masyarakat, hanya saja belum radikal dan mudah diselewengkan.
Maka ketika misa, mereka mengharapkan homili dan Doa Umat sungguh-sungguh
mempertegas prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja. Bahasa teologis eksklusif
dari Ajaran Sosial Gereja, diharapkan oleh umat untuk diterjemahkan dengan
bahasa sehari-hari. Dan banyak pastor berhasil menterjemahkannya dalam homili
yang ringan, namun mendalam dengan contoh kehidupan sehari-hari. “Homili adalah bagian dari kegiatan liturgi
dan dimaksudkan untuk memacu pemahaman yang lebih mendalam tentang Sabda Allah,
sehingga dapat menghasilkan buah dalam kehidupan kaum beriman... Homili yang
mentah dan abstrak hendaknya dihindari” (Sacramentum Caritatis, 46).
Dengan menimba kekuatan dari Perayaan Ekaristi, umat
awam menjalani kehidupan keluarga dengan jatuh bangun. Hanya suami-isteri
saling memberikan sakramen perkawinan. Maka dalam perjalanannya, perkawinan itu
mengalami pasang-surut. Cinta yang minimal pada awal perkawinan berkembang
menjadi maksimal, namun bisa saja merosot ke minimal lagi. Banyak krisis
dialami suami-isteri : kesulitan ekonomi, biaya pendidikan anak dan biaya
kesehatan, pergaulan bebas dan lain-lain. Perkawinan bukan barang jadi yang
instan, tetapi merupakan sebuah proses. Di kota besar seperti Jakarta, banyak
suami-isteri lebih banyak waktu berada di luar rumah. Mungkin hanya Sabtu dan
Minggu, mereka beristirahat. Tetapi dari Senin sampai dengan Jumat, sejak jam
5.00 pagi mengendarai sepeda motor, diterpa hujan dan angin, dihadang oleh
kemacetan, resiko mendapatkan kecelakaan, dan pulang ke rumah sekitar jam
20.00. Di akhir bulan, mereka mendapatkan upah yang tidak mencukupi standar
hidup minimal. Walaupun mendapatkan tantangan hidup yang tidak ringan, umat
awam masih juga setia merayakan Ekaristi hari Minggu. Mereka berharap agar
liturgi ditata dengan baik, indah, menarik, menyentuh, tidak bertele-tele.
Demikian juga homili tidak menggurui mereka dengan nasihat-nasihat moralistis
murahan tentang perkawinan. Oleh karena itu pastor perlu hati-hati dalam
mempersiapkan homili tentang hidup berkeluarga. Pastoral perkawinan adalah
mendampingi, bukan mengatur mereka
yang menikah. Karena perkawinan pertama-tama adalah tanggungjawab suami-isteri.
“Karena itupun para selibater (imam
katolik, biarawan/biarawati) yang status sosio-ekonomis dan budaya agak tinggi
jaranglah orang yang paling cocok untuk pastoral perkawinan dan keluarga.
Mereka sukar mendapa empati mendalam yang perlu guna mendampingi perkawinan
orang dengan status sosio-ekonomis dan budaya yang terlalu berbeda” (Dr. C.
Groenen, OFM, 1993, Perkawinan
Sakramental, Yogyakarta: Kanisius, hal. 418).
Perayaan Ekaristi tentu tidak selesai dengan “Ite
Missa Est”. Umat diutus untuk menguduskan dan membangun dunia. Perutusan itu
tidaklah muluk-muluk. Orang miskin selalu ada dan ada dimana-mana. Sering orang
Jakarta beranggapan bahwa orang miskin ada di daerah, luar Jakarta. Padahal di
Jakarta terdapat banyak orang miskin. Dalam parokipun terdapat banyak umat yang
nyaris miskin. Misalnya mereka kehilangan pekerjaan sebagai supir angkot,
metromini dan bus umum. Kehadiran “busway” menggusur kendaraan lainnya dan
banyak supir katolik kehilangan pekerjaan. Mereka menghadapi kesulitan biaya
kesehatan dan pendidikan anak. Dan kita melupakan mereka, sebagai sesama
beriman katolik, dalam paroki yang sama. Hendaknya kita ingat, karya karitatif
adalah karya khas Gereja, opus proprium.
Paroki harus berbuat sesuatu untuk para supir katolik itu. Misalnya dalam misa
bernuansa Imlek di paroki Pulo Gebang, 29 Januari 2012, kolekte secara khusus
membantu keluarga para supir yang kehilangan pekerjaan. Memang jumlah uangnya
tidak seberapa, namun itu merupakan tanda kehadiran gereja di tengah umat. “Karena itu, selama masih ada kesempatan
bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada
kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).
Kita berbuat baik bagi sesama, bukan hanya karena kita
diutus Ite Missa Est, tetapi setelah
kita berbuat baik, kita kembali lagi merayakan Ekaristi. Kita berbuat baik
berdasarkan iman kita pada Yesus Kristus, yang menampakkan wajah kasih Allah.
Umat yang saling mengasihi satu sama lain dalam perbuatan nyata, akan
memberikan makna yang lebih mendalam para perayaan Ekaristi. Melalui pelbagai
program kegiatan konkret dari Seksi Sosial Paroki dan beberapa kegiatan
karitatif lainnya, umat paroki sebagai komunitas akan merayakan Ekaristi
semakin liturgis. Ekaristi menjadi semakin menarik, tidak hanya dengan menata
upacara liturginya, tetapi justru harus diawali dengan adanya saling mengasihi
diantara umat paroki. Bahkan dapat dikatakan, “Tanpa komunitas yang anggota-anggotanya saling mengasihi, tidak ada
Ekaristi” (Keenan B. Osborne, OFM, 2008, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, hal.
17).
Umat diutus untuk membangun tatanan dunia yang lebih
sejahtera dan adil. Kaum awam menyandang tugas khusus untuk menata masyarakat
melalui karya mereka di bidang ekonomi, sosial, legislatif, eksekutif,
yudikatif dan kultural. Sejarah Negara Indonesia mencatat, orang Katolik selalu
turut berperan aktif dalam membangun bangsa. Pahlawan I. J. Kasimo, sebagai
salah satu contoh, patut diteladani. Ia memberikan inspirasi kepada kita dalam
hal kejujuran dan keindonesiaan. Ia tidak berjuang hanya untuk suku Jawa tetapi
bagi seluruh bangsa, “salus populi,
suprematex”. Di tengah pluralisme agama dan budaya, Kasimo memperlihatkan
bahwa umat Katolik bukanlah umat Katolik di Indonesia, tetapi umat Katolik
Indonesia merupakan bagian utuh dari kemajemukan bangsa Indonesia. Namun
sayangnya, pada hari ini kita sulit menemukan generasi muda Katolik sebagai
pemimpin di bidang politik kemasyarakatan. Memang dengan menyandang predikat
Katolik saja, tidak semua politisi Katolik berhasil menjadi pemimpin yang
jujur. Ada juga yang terjebak dalam sikap kompromistis, plin-plan, dan
oportunis. Lalu pemimpin macam apakah yang kita harapkan hari ini? “Seorang yang eksekutif, yang berani
mengambil keputusan-keputusan strategis, memonitor keputusan-keputusan itu
berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang diputuskan, bertindak tegas dengan
kepentingan rakyat sebagai batu sendi dan batu penjuru tindakan-tindakannya.
Memimpin itu konotasinya memerintah, tidak cukup dengan membuat pernyataan,
tetapi sebagai pemimpin negara, memerintah berarti govern, memang tidak salah membuat pernyataan itu termasuk kegiatan
memerintah” (St. Sularto (penyusun), 2011, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jacob Oetama, Jakarta: Penerbit
Buku KOMPAS, hal. 527).
Untuk mewujudkan tugas perutusan secara realistis dan
seimbang dalam tata dunia, hendaknya kaum awam sungguh mempelajari Ajaran Sosial
Gereja. Ditegaskan beberapa prinsip dalam Ajaran Sosial Gereja, antara lain :
penghargaan terhadap martabat manusia, hormat terhadap kehidupan manusia,
kemerdekaan berserikat, hak untuk berpartisipasi, perhatian lebih kepada yang
lemah dan miskin, Solidaritas, Subsidiaritas, kesetaraan martabat, kebaikan
umum prinsip stewardship. Paham awal Ajaran Sosial Gereja telah dilaksanakan
dalam Gereja Perdana yang dapat dibaca dalam Perjanjian Baru dan selanjutnya
ditegaskan lagi sejak Paus Leo XIII. Menghadapi perubahan masyarakat dan
tantangan zaman, dikeluarkan Ajaran Sosial Gereja oleh para paus. Banyak imam
merintis pelaksanaan Ajaran Sosial Gereja dan banyak awam mempraktekkan Ajaran
Sosial Gereja secara konsisten dan konsekuen di tempat kerja dan profesinya
tanpa berkhotbah muluk-muluk. Sayangnya, banyak karya awam yang diinspirasi
oleh Ajaran Sosial Gereja luput dari perhatian para imam, sehingga belum
mendapatkan dukungan dan bimbingan. “Para
Gembala Gereja hendaknya tak henti-hentinya mendukung, membimbing dan mendorong
kaum beriman awam untuk menghayati sepenuhnya panggilan mereka kepada kekudusan
dalam dunia ini, yang sedemikian dikasihi oleh Allah sehingga Ia menyerahkan
PutraNya demi keselamatannya” (Sacaramentum
Caritatis, no. 79).
Ekaristi dan komunitas kasih tak dapat dipisahkan.
Bukan namanya komunitas ekaristis, kalau masih saja tetap ada kelompok kaya dan
kelompok miskin dalam paroki dan dalam lingkungan sekitar. Tidak mungkin ada
Ekaristi di dalam komunitas yang anggotanya tidak saling mengasihi. Rupanya
kita masih dalam proses menuju Komunitas Ekaristi.
1 komentar:
Salken
Posting Komentar