Spiritualitas Imam KAJ :
Meneladan, Mendidik dan Doa
Oleh: Fr. Paulus Dwi Hadianto
Ada seorang seminaris bertanya
kepada saya dalam suatu kesempatan. Ia bertanya, “Frater! Kalau Yesuit itu
punya spiritualitas Ignatian, kalau Frater sebagai calon imam Projo spiritualitasnya itu apa?” Saya terdiam
sejenak dan mencoba menjawabnya secara sederhana. “Spiritualitas imam projo itu
spiritualitas Yesus Kristus” jawab saya singkat. Jawaban tersebut terlontar
karena saya masih mengingat pelajaran Spiritualitas yang diberikan oleh seorang
Romo pada saat saya menjalani Tahun Orientasi Rohani di Wisma Puruhita, Klender,
Jakarta Timur. Saya mengingat benar perkataan tersebut bahwa semangat yang
senantiasa dihidupi oleh imam projo atau diosesan hendaknya adalah semangat
yang dimiliki oleh Yesus sendiri. Oleh karena itu, imam projo dapat menggali
semangat Yesus yang tertuang dalam Kitab Suci. Memang, semua semangat yang
dimiliki para imam tarekat berasal dari para pendiri yang tentunya pun mengambil
nilai-nilai hidupnya dari Kitab Suci. Lalu pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah, spiritualitas apakah yang khas dari imam projo? Atau pertanyaan yang
lebih spesifik lagi adalah apakah yang khas dari spiritualitas imam diosesan
Jakarta?
Dalam tulisan ini (saya lebih
menganggapnya sebagai sharing), saya
mencoba menggali spiritualitas imam diosesan Jakarta berdasarkan pengalaman saya
belajar berpastoral dan apa yang pernah saya dapatkan dalam pendidikan di
Seminari Tinggi. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membatasi akan kayanya spiritualitas
imam diosesan Jakarta yang bisa digali oleh masing-masing imam atau calon imam
KAJ.
Spiritualitas
: Pengalaman Akan Allah
Spiritualitas adalah proses
perkembangan pengalaman akan Allah di dalam diri dan di dalam hidup konkret.
Spiritualitas pun tidak dapat dipisahkan dengan teologi yang berusaha menghadirkan
pesan Sabda Allah pada tempat dan waktu tertentu. Dengan kata lain,
spiritualitas merupakan usaha untuk mengekspresikan pengalaman akan Allah di sini yang menunjuk pada tempat dan sekarang yang menunjuk pada waktu dengan
berbagai cara.[1] Dasar spiritualitas imamat
adalah pengalaman akan Allah dari mereka yang menerima tahbisan imamat. Bagaimana
orang mengetahui dan memperoleh pengalaman akan Allah hanya dapat diketahui dan
dimengerti oleh orang yang memilikinya.[2]
Pengalaman akan Allah pun sebenarnya adalah bagaimana orang menanggapi
panggilan hidupnya. Semakin orang berusaha untuk memperoleh pengalaman ini,
dengan sendirinya ia juga semakin berusaha bertanggungjawab. Semakin ia
memiliki pengalaman yang lebih mendalam, ia akan semakin berusaha untuk
memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dengan baik karena pengalaman akan Allah
diwujudkan dalam perbuatan melalui
berbagai bentuk.[3]
Para imam diosesan mengejar
kesempurnaan hidup terutama dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan pastoral
mereka. Secara khusus, mereka dipanggil untuk pelayanan dalam gereja setempat
yang dipimpin oleh Uskup.[4]
Imam diosesan hendaknya selalu bergerak
seirama dengan derap langkah keuskupan di mana ia menginkardinasikan dirinya. Dengan demikian, ciri khas spiritualitas imam diosesan Jakarta terletak pada ikatan erat mereka dengan Uskup sebagai
pimpinan, serta kerja sama mereka dengan sesama imam dan umat di KAJ. Dalam hal
ini, wilayah
Keuskupan Agung Jakarta menjadi tempat bagi para
imam diosesan KAJ untuk memperdalam pengalaman akan Allah sehingga semakin
dapat bertanggungjawab akan karya perutusannya.
Saya pribadi belum mendapatkan tahbisan imamat. Namun, pengalaman akan Allah tentunya juga bisa saya dapatkan melalui pengalaman hidup selama
tinggal dan belajar berpastoral di KAJ. Pengalaman saya ini lebih merupakan
sebuah upaya untuk mengarah pada spiritualitas imam diosesan Jakarta yang akan
saya hidupi.
Spiritualitas
Imam KAJ : Spiritualitas Konteks
Keuskupan Agung Jakarta adalah keuskupan
yang luas yang meliputi wilayah Tangerang di sebelah Barat sampai Cikarang di
sebelah Timur dan Jakarta Utara di sebelah Utara sampai Cijantung di sebelah
Selatan. Jakarta menjadi barometer bagi wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Jakarta pun memiliki daya tarik yang luar biasa dari segi ekonomi sehingga
banyak sekali perantau yang ingin tinggal di Jakarta atau bekerja di Jakarta.
Setiap hari ribuan orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk bekerja dari
daerah Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi hingga Cikarang. Jakarta itu multi etnis
dan multi budaya.
Kompleksitas medan karya tersebut
membawa akibat pada kompleksitas pengalaman dan tantangan. Pengalaman akan
Allah yang didapat tentunya akan sangat bervariatif sehingga saya menyebutnya
dengan istilah Spiritualitas Konteks.
Spiritualitas Konteks adalah pengalaman akan Allah dalam medan karya tertentu.[5]
Dalam amanat Angelus di koran L’Osservatore Romano dikatakan bahwa …Tetapi sama-sama pasti
juga, bahwa hidup dan pelayanan imam harus menyesuaikan diri dengan setiap
zaman dan situasi kehidupan...[6]
Oleh karena itu, pertama-tama setiap imam harus berusaha dan terbuka terhadap
Roh Kudus yang bekerja di medan pastoral masing-masing untuk mengenal umat dan
kebutuhan rohaninya serta umatnya. Imam diosesan Jakarta dapat menemukan Allah
dalam setiap pengalaman hidupnya di medan karya yang dia emban.
Meneladan
Saya sudah menjalani masa Tahun
Orientasi Pastoral[7] selama kurang lebih satu
setengah tahun. Selama satu tahun pertama, saya bertugas di SMA Gonzaga selain juga Seminari Wacana Bhakti,
Jakarta. Di tahun yang kedua ini, saya full time berkarya di Seminari Wacana Bhakti. Keduanya kurang lebih
memiliki bidang yang sama yaitu pendidikan. SMA Gonzaga adalah tempat pendidikan anak SMA yang umum dan Seminari Wacana Bhakti
adalah tempat pendidikan calon-calon imam.
Berkarya di bidang pendidikan
merupakan hal yang menarik karena saya mendapat
banyak pengalaman bergumul dengan kaum muda. Dalam pergumulan tersebut, banyak
pengalaman yang menuntun saya pada kesimpulan di mana perkataan tidaklah
berarti tanpa tindakan. Seminaris maupun siswa Gonzaga akan lebih tergerak
hatinya untuk mengikuti pendidikan jika saya sendiri menunjukkan nilai-nilai
yang saya perjuangkan. Saya terinspirasi
oleh model pelayanan Yesus. Sebagai guru, Ia menjadi teladan bagi para muridNya. Dia mengajarkan kita untuk saling
mengasihi dan Dia sendiri memberikan contoh perbuatan kasih tersebut dengan membasuh kaki
para murid-Nya. Apa yang Dia lakukan itu menjadi pewartaan yang efektif kepada
umat dan murid-muridNya. Contoh lainnya, Yesus menginginkan agar
setiap orang itu mengasihi sesamanya serta mengasihi musuh-musuhnya.[8]
Untuk itu, Ia sendiri melakukan kasih dengan
menyembuhkan orang sakit dan menerima permintaan Kornelius seorang perwira Romawi
agar anak buahnya disembuhkan. Bahkan, Yesus pun masih mendoakan orang-orang
yang turut menyalibkannya di Bukit Golgota.[9]
Menjadi seorang calon imam
diosesan Jakarta yang berkarya di Seminari haruslah memiliki
semangat untuk terus berusaha menjadi teladan bagi para seminaris. Teladan yang
dimaksud adalah memberikan contoh konkret dalam hidup keseharian di Seminari. Apabila seminaris diajar untuk memiliki
kedisiplinan, maka formator pun harus menunjukkan nilai tersebut dalam hidup
sehari-harinya.
Mendidik
Meneladan semata-mata tidaklah cukup dalam proses pendidikan di Seminari maupun SMA Gonzaga. Unsur pendidikan yang intinya adalah mendidik para
siswa tidaklah sama maknanya dengan menjadi teladan. Umumnya, orang baik dan yang menjadi teladan bisa menjadi idola di
dalam suatu komunitas. Namun, menjadi pendidik tidak senantiasa populer. Mendidik
lebih memiliki resiko untuk tidak disenangi. Karena
ketegasannya dalam memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, bisa saja
formator tidak disukai oleh murid-murid. Saya tetap harus
mengatakan pada seminaris dan siswa-siswi Gonzaga bahwa kejujuran adalah harga
mati yang harus mereka pegang di antara pandangan umum yang mengatakan bahwa
mencontek adalah hal yang biasa. Kata-kata yang tidak populer sebagai pendidik antara lain adalah kata “tidak, jangan, atau hendaknya” yang
menunjukkan penolakan, teguran, serta nasihat.
Yesus, dalam pengalaman hidupnya,
juga bukan seorang yang gila popularitas. Ia tetap menjalankan misinya dalam
mendidik umat. Karena ketegasannya akan pentingnya menjaga kekudusan Bait
Allah, Ia berani memorak-porandakan pasar yang ada di Bait Allah.[10]
Yesus tidak mau kompromi tentang nilai-nilai hidup yang sangat penting. Bahkan,
dalam beberapa kesempatan, Yesus pun mengecam kota-kota yang tidak baik
hidupnya. Imam diosesan Jakarta haruslah imam yang memiliki semangat untuk mendidik.
Hidup Doa
Dalam tulisan ini, urutan hidup
doa, setelah meneladan dan mendidik, tidak berarti bahwa hidup doa menjadi
nomor kedua dan meneladan serta mendidik menjadi yang pertama. Keduanya harus
berjalan selaras. Karya tidak pernah begitu saja berjalan tanpa ada dukungan
dalam hidup doa. Hidup doa juga tidak mengalami kepenuhan jika tanpa karya atau
tindakan. Hidup kerohanian juga merupakan hal yang sangat penting dalam
menjalankan perutusan. Menjadi seorang imam haruslah memiliki kehidupan rohani
yang kuat. Tanpa kehidupan rohani yang kuat, pelayanan tidak mendapatkan dasar
yang kuat pula.
Memberi teladan kepada seminaris
dalam doa bukan semata-mata agar seminaris ikut berdoa. Berdoa pertama-tama lebih
merupakan kebutuhan pribadi akan relasi dengan Tuhan sendiri. Hidup doa juga
berarti bahwa imam diosesan Jakarta juga dekat dengan Kitab Suci yang menjadi
sumber dalam mencari semangat hidupnya. Meneladani hidup Yesus dapat dikenal
melalui Kitab Suci. Segala pengalaman akan Allah akan mendapat penguatan
melalui pengalaman Yesus yang tertulis dalam Kitab Suci.
Secuil
Gambaran
Spiritualitas itu sulit
dijelaskan tetapi hanya bisa digambarkan dan dihayati oleh orang yang
menjalaninya. Apa yang saya tulis di atas merupakan secuil gambaran-gambaran tentang
spiritualitas imam diosesan Jakarta. Imam diosesan Jakarta haruslah menjadi
teladan di tempat dia berkarya. Jika berkarya di Seminari,
dia berkarya menjadi teladan dalam menghayati kehidupan sebagai seminaris: menjunjung nilai-nilai kedisiplinan, ketekunan,
kejujuran dan lain sebagainya. Ia pun harus memiliki semangat untuk mendidik
yang kadang tidak populer. Dan akhirnya, semuanya harus diimbangi dengan
kehidupan doa yang sangat berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang
dilayani. Diharapkan semuanya itu dapat semakin
berguna bagi kita semua dalam memupuk tanggung jawab perutusan hidup kita masing-masing. Semoga inspiratif !!!
[1] Edison
L. Tinambunan, Spiritualitas Imamat
Sebuah Pendasaran, Malang
: Dioma, 2002, hlm. v
[2] Ibid,
hlm. 2.
[3] Ibid,
hlm. 4-5.
[4] M.
Purwatmo Pr (ed.), Pedoman Pembinaan
Calon Imam di Indonesia, Jakarta:
Komisi Seminari KWI, 2002, hlm. 32.
[5] Medan karya tersebut
termasuk karya misi. Imam diosesan Jakarta
juga bersifat misioner sehingga terbuka juga untuk lahan pastoral di luar
Keuskupan Agung Jakarta.
[6] Seri
Dokumen Gereja, Pastores Dabo Vobis,
hlm. 5.
[7] Pada
masa ini, seorang frater mendapat tugas perutusan untuk berkarya di paroki,
seminari, atau tempat lain selama 1-2 tahun.
[8] Lih. Luk
6:27.
[9] Lih. Luk
23:24.
[10] Lih.
Mat 21:12-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar