RENUNGAN KECIL TENTANG TUGAS BELAJAR
Fr. Uut
Pendahuluan
Di
dalam bukunya yang berjudul “Courage to
be Catholic”, George Weigel[1]
menulis bahwa masalah Gereja Katolik di Amerika Serikat pada khususnya dan di
penjuru dunia pada umumnya, adalah masalah permuridan. Identitas seorang murid
terletak pada kesetiaannya mengikuti Sang Guru. Ketika Si Murid tidak lagi
mengikuti Sang Guru, sebenarnya dia bukan lagi murid Sang Guru: entah ia menjadi
guru bagi dirinya sendiri(otodidak) atau berguru pada yang lainnya. Begitulah
yang sedang terjadi saat ini atas diri banyak murid Yesus: mereka melihat
banyak hal lain, berguru pada beragam pusat rujukan, di luar Sang Guru Sejati.
George Weisel merenungkan masalah permuridan kristiani ini di dalam konteks
persoalan yang menggoncang kehidupan para imam di Amerika Serikat, yaitu
masalah pelecehan seksual. Dengan pisau pengamatan yang tajam, ia mengurai satu
per satu gulungan persoalan yang kusut itu. Dari sana ia menarik kesimpulan:
entah awam, entah imam, entah uskup, semuanya berhadapan dengan satu masalah
pokok, yaitu kesetiaan mengikuti Sang Guru.
Belajar – kesetiaan
Nah, kalau diminta merenungkan tentang tugas
belajar yang sedang saya jalani, saya langsung ingat pada tulisan George Weisel
di atas. Belajar itu susah-susah mudah. Susah kalau perhatian saya ditarik oleh
banyak pesona yang lain di luar tugas utama. Mudah kalau bahan pelajaran itu
sendiri menjadi pesona dan daya tarik bagi saya. Akan tetapi, kalau tugas
belajar hanya disandarkan pada daya tarik, ya begitu jadinya. Yang akan terjadi
adalah tarik tambang antara daya tarik yang satu dengan daya tarik yang
lainnya. Persis di sini tugas belajar dapat dikaitkan dengan kesetiaan: sebosan
dan sekering apa pun bahan pelajaran yang dihadapi, ia harus dihadapi dan
didalami. Soal kegunaan di masa depan, itu urusan nanti. Akan tetapi perlu juga
diperhatikan bahwa kesetiaan bukan berarti maju terus pantang mundur. Ini jurus kuda delman yang hanya
bisa melihat ke depan dan satu arah. Untuk bisa setia, orang mesti kreatif. Bahan yang membosankan dan kering
kerontang itu, demi pelaksanaan tugas, mestinya bisa digali dan diolah sehingga
menjadi menarik; dihubung-hubungkan dengan berkas kuliah lainnya; dibuat
pertanyaan dan penyelidikan, dan seribu satu macam cara lainnya.
Saya sendiri berjuang untuk menghidupkan
bahan pelajaran yang saya terima selama ini. Sebisa mungkin, setiap materi yang
ada saya kaitkan dengan situasi di tanah air pada umumnya dan di kota Jakarta
serta Keuskupan Agung Jakarta pada khususnya. Kreativitas
dapat dikembangkan kalau tantangan pastoral diketahui. Biasanya, orang jadi
kreatif kalau ada kesulitan yang meminta jawaban. Sebab itu, informasi dan
sarana komunikasi menjadi penting. Tanpa informasi tentang tanah air, sulit
bagi saya memetakan tantangan yang ada di tanah air. Ingatan saja tidak cukup. Berita dari tanah air yang saya dapatkan
kemudian menjadi partner dialog bagi setiap mata kuliah yang saya terima. Tanpa
dialog ini, pelajaran yang ada akan menjadi kering karena tidak punya wajah.
Wajah dapat saya temui melalui informasi dan permenungan atas situasi tanah
air. Wajah tanah air
inilah yang menjadi daya dorong untuk terus setia.
Membawa berita dan situasi tanah air ke dalam
kelas ternyata dapat menciptakan daya tarik sendiri bagi setiap pelajaran yang
saya ikuti. Sebagai contoh: semester yang baru lalu saya
mengambil satu seminar yang membahas komunitas basis gerejawi. Di dalam seminar
ini, kami mengupas setiap persoalan yang berkaitan dengan komunitas basis di
negara kami masing-masing. Seminar menjadi menarik ketika setiap peserta
menceritakan pengalaman mereka dalam berkomunitas. Di Kolombia, misalnya, nama
komunitas basis erat dikaitkan dengan gerakan politik kiri sehingga banyak
uskup di sana melarang gerakan semacam ini. Di Afrika, model komunitas basis
tidak mengalami banyak kesulitan mengingat masih eratnya ikatan antara keluarga
di dalam satu suku. Komunitas basis di Asia diakui memegang peranan penting
sebagai wahana bagi terselenggaranya dialog antara Gereja dengan kebudayaan,
dengan masalah keadilan sosial, dan dengan agama-agama lainnya. Saya sendiri
mendapat kesempatan untuk menjelaskan peran komunitas basis bagi gerakan kaum
buruh di kota metropolitan semacam Jakarta.
Singkat kata, tugas belajar pertama-tama tidak dikaitkan dengan daya
tarik suatu pelajaran tetapi dikaitkan dengan kesetiaan menjalankan tugas yang
sudah diberikan. Agar dapat setia, diperlukan kreativitas yang nantinya dapat
membuka cakrawala baru di dalam mendekati suatu bahan yang semula dianggap kering.
Tentu ini tidak hanya berlaku bagi tugas belajar, tetapi juga bagi kehidupan
yang lebih luas.
Belajar -- Kerendahan Hati
Saya
meraskan bahwa tantangan lain di dalam belajar, selain kesetiaan, adalah
kerendahan hati. Halangan utama yang saya alami dalam belajar adalah merasa
diri sudah tahu. Ketika saya merasa sudah tahu semuanya, tidak ada lagi
kebutuhan untuk belajar dan akhirnya tugas belajar itu sendiri kehilangan
makna, selain beban semata. Merasa diri sudah tahu menjadi awal bagi
ketertutupan. Lantas, ketertutupan ini melanggengkan kenyataan bahwa saya itu
sebenarnya tidak tahu. Ketika saya tertutup di dalam ketidaktahuan yang tidak
saya sadari, di dalam diri saya lahir ketakutan. Dan pada akhirnya ketakutan
menciptakan kekerasan. Kekerasan ini bisa mengambil wujud pemberontakan
terhadap teguran atau pemberitahuan, debat kusir, mau menang sendiri di dalam
diskusi, sampai kepada kekerasan fisik.
Sikap merasa diri sudah tahu bisa membuat orang tertidur di dalam kelas
(walau tidak semua yang tidur di dalam kelas adalah mereka yang merasa diri
sudah tahu), dalam arti sehebat apa pun professor yang sedang mengajar, bahan
kuliah yang diajarkannya tidak punya daya tarik lagi. Sikap ini sama dengan
menutup telinga dan budi atas kebaruan yang sebenarnya terjadi setiap waktu.
Singkat kata, belajar, selain menuntut kesetiaan, juga menuntut kerendahan
hati. Tepatlah kata Sokrates: pengetahuan diawali dari kekaguman. Orang bisa
kagum kalau ia punya sikap terbuka (disimbolkan dengan mulut yang terngaga di
hadapan kenyataan yang mengagumkan, sambil mengeluarkan suara…..aaahhh).
Saya merasa, belajar di Roma pun akan sia-sia kalau rasa ingin tahu
yang sehat tidak dikembangkan. Di tempat di mana saya belajar, orang dapat
menggali banyak hal: mulai dari bahasa baru (karena para pelajar datang dari
beragam bangsa), soal komputer, soal ilmu pengetahun umum (yang bahannya dapat
ditemukan dengan mudah di kios-kios pinggir jalan) sampai soal sejarah kota
Roma sendiri. Tapi, tanpa rasa ingin tahu, tanpa kesadaran bahwa saya ini
sebenarnya belum tahu banyak hal dan masih harus banyak belajar, semua itu
tidak bersuara.
Rasa ingin tahu yang sehat bukan berarti setiap hal yang menarik lantas
harus ditanggapi. Ingat butir pertama: kesetiaan pada bahan pelajaran yang
wajib digumuli. Hal lain di luar tugas utama ini, menjadi nomor ke sekian.
Tetapi, setia pada bahan kuliah tidak kemudian mematikan rasa ingin tahu ini.
Sebisa mungkin, nah di sini kreativitas mulai mengambil peranan, setiap hal
yang menarik tadi dikaitkan dengan bahan kuliah. Jadinya klop.
Penutup
Akhir
kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa tugas belajar dapat dijalankan kalau di
hadapan saya ada satu “wajah”. “Wajah” inilah yang membuat tugas belajar
menjadi penting dan menyatukannya dengan kehidupan. “Wajah” ini dapat berwujud
wajah banyak orang: yang haus akan bimbingan dan tuntunan untuk menemukan makna
hidup, yang tidak punya pembela ketika hak mereka ditindas, yang butuh teman
dan penghiburan…..yang akhirnya menjadi wajah Sang Guru Agung itu sendiri. Murid,
atau orang yang belajar, adalah dia yang memandang “wajah” Sang Guru.
Roma,
16 Maret 2006
[1] Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Witness to Hope, yang merupakan suatu biografi atas kehidupan Paus
Yohanes Paulus II. Bukunya tebal, tapi menarik. Cocok buat para penghuni
Seminari Tinggi Yohanes Paulus II. Saya rekomendasikan (atau sudah jadi bahan
diskusi di sana….semoga).
1 komentar:
Salken
Posting Komentar