05 Oktober 2007

CERPEN: Yayan Dapat Kerja di Jakarta

Oleh: Fr. Julius Simanjuntak

Hari itu, matahari sangat terik. Di suatu perempatan jalan ibukota yang ramai, berdirilah seorang pria kurus, berambut hitam keriting. Wajahnya menunjukkan kelesuan dan rambutnya pun acak-acakan. Kulit pria itu terlihat kehitam-hitaman karena terbakar sinar matahari. Semua orang yang melihatnya mungkin akan setuju bahwa penampilannya sangat tidak menarik. Pakaiannya kumuh, ada bekas jahitan hampir di setiap bagian bajunya. Tubuhnya pun dipenuhi bekas luka di sana-sini. Di sekitar luka-luka itu, banyak lalat berterbangan, tetapi pria itu tampaknya tidak peduli. Orang-orang di sekitarnya pun tidak peduli dengan kehadiran pria ini.

Di sebelahnya, berdiri juga seorang pria yang kali ini agak rapi penampilannya. Rambutnya tergeletak rapi tersusun di atas kepalanya. Wajahnya tampan seperti bintang film Hollywood. Kulitnya yang bersih dan terawat juga menjadi daya tarik pria ini. Kegagahan itulah yang membuat wanita-wanita tidak segan-segan mengarahkan mata mereka ketika lewat di sebelah pria ini.

“Mas, tolong mas, saya lapar”, kata pria kumuh itu kepada pria tampan di sampingnya. Tetapi, pria tampan itu tidak menggubrisnya. Sekali lagi pria kumuh itu mengatakan hal yang sama, tetapi kali ini dengan suara yang cukup lantang. Pria itu tersentak kaget dan melotot ke arah pria kumuh yang ada di sampingnya.

Eh, kumuh, nyolot loe, apa loe cari masalah?” jawab pria tampan itu kepadanya.

“Maaf mas, saya lapar nih

“ Lapar, lapar, loe kira gue bokap loe, emak loe. Emangnya loe siape?”

Mendengar perkataan itu, pria kumuh itu pun menundukkan kepalanya dan segera bergegas pergi dengan tertatih-tatih. Jalannya sempoyongan. Untuk melangkahkan kaki saja, rasanya amat berat. Dalam hati ia pun berkata,

Ah, emang hidup di Jakarta itu berat, cari makan aja susah. Banyak orang ga peduli lagi. Egois banget tuh orang. Pelit dan kurang ajar lagi.”

Di tempat lain, pria tampan itu segera melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Seorang wanita yang cantik dan menawan ternyata telah menunggunya.

“Ndi, tadi itu siapa. Kok kamu teriak-teriak gitu sih. Kenapa nggak dikasih aja?”

“Ri, gimana aku mau ngasih. Tuh orang nyolot banget. Aku nggak suka dengan caranya minta-minta. Ya udahlah, Papi dan Mamiku udah menunggu di rumah. Kita harus cepat-cepat sampai”.

Trus, gimana buah titipanku. Udah dibeli belum?”

Udah, tenang aja. Tadi aku taruh di bagasi.” Lelaki itu segera menjalankan mobilnya, tetapi dengan muka yang muram. Wanita di sampingnya pun ikut terdiam setelah melihat sosok wajah yang tegang itu.

Lelaki kumuh itu melihat mobil itu melaju dengan cepat. Ia berkata di dalam hati, sambil mengumpat-umpat, “Dasar loe orang kaya pelit, egois, ga punya hati”.

Ketika ia sedang berjalan, terlihat olehnya suatu rumah makan yang cukup besar. Rumah makan itu terletak persis di pinggir jalan. Di dalam pikirannya sudah terbesit suatu mimpi bahwa kali ini pasti ia akan mendapat makanan. Tetapi, tiba-tiba mukanya menjadi merana dan lesu kembali ketika melihat seorang satpam yang berdiri di lapangan parkir. Satpam itu melihat dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat.

Ngapain kamu liat-liat. Di sini tidak menerima permintaan sumbangan. Makanya kerja dong biar dapat duit. Jangan minta-minta melulu.”

Nggak kok, gue hanya ngeliat aja,” kata pria kumuh itu dengan wajah yang meringis. Di dalam hatinya ia berkata,

Ah, lagi-lagi aku ga dapat makan. Tuhan, kapan Engkau beri aku makan?”

Pria kumuh itu kembali berjalan dengan tenaga yang semakin lemah. Di kejauhan, ia melihat suatu perempatan lampu merah yang sedang mengalami kemacetan karena terjadi kerusakan lampu. Ia melihat ada banyak orang mengatur lalu lintas. Semakin ia mendekat, semakin ia yakin bahwa kali ini pasti ia akan mendapat makanan. Kalau mujur, ia bisa dapat duit lebih. Ketika sudah sampai di perempatan itu, ia melihat ke kiri dan ke kanan.

Nah, orang itu mungkin mandornya mereka. Semoga saja mandornya cukup baik dan aku dapat duit lebih”

“Permisi bos, boleh saya bantu kerjaannya.”

Emangnya loe bisa apa?” jawab Bang Jajal yang memang sudah lama menguasai perempatan lampu merah itu. Bang Jajal berbadan tegap dan mempunyai kumis di wajahnya. Ia senantiasa berada di jalanan sehingga tidak mengherankan kalau kulitnya hitam terbakar terik matahari. Bang Jajal sebenarnya tidak terlalu tinggi, tetapi badannya yang kekar itu membuat orang segan untuk berurusan dengannya. Ia mempunyai seorang istri yang bernama Sarimah. Sudah tiga tahun mereka menikah tetapi masih belum punya anak. Bang Jajal sebenarnya bingung apakah dia atau istrinya yang mandul. Terkadang, ada godaan di dalam diri Bang Jajal untuk menceraikan istrinya itu. Tetapi, niat itu tidak pernah terpenuhi karena ia amat mencintai istrinya, Sarimah. Lagipula, Sarimah adalah istri yang setia dan tekun bekerja di rumah. Ia dulu bekerja di suatu pelacuran di daerah utara Jakarta. Setelah menikah dengan Bang Jajal, Sarimah menghentikan pekerjaan lamanya itu dan bekerja dari rumah ke rumah untuk mencuci pakaian.

Pria kumuh itu mencoba meyakinkan Bang Jajal dengan berkata,

Yah, kalau hanya mengatur lalu lintas, saya bisa, Bos.”

“Badan loe lemas gitu, apa bisa berdiri lama? Entar malah jadi urusan lagi. Gue nggak mau repot.”

Ah, bos. Saya mah tidak akan ngerepotin bos. Tenang aja”, jawab pria kumuh dengan wajah yang meyakinkan.

Ah, kasihan juga nih orang. Kayaknya udah kelaparan. Ya udahlah, aku lihat dulu sebatas mana kemampuannya,” kata sang mandor di dalam hatinya.

Ya udah, loe kerja sana. Ingat, jangan macam-macam, jangan nipu kita, apalagi korupsi kayak pejabat-pejabat,” kata sang mandor dengan suara lantang. Sepertinya, ia dengan terpaksa untuk menerima bantuan pria kumuh itu.

Wah, terima kasih banyak bos atas bantuannya. Tenang aja, saya nggak akan macam-macam. Saya ini orangnya jujur kok,” jawab pria kumuh itu dengan muka yang gembira. Di dalam hatinya, terbesit pikiran,

Ah, kali ini emang Tuhan baik ama saya. Pasti dapat makan dan duit.”

Woi Joe,” teriak mandor itu kepada anak buahnya yang sedang mengatur lalu lintas. Joe, panggilan akrab teman-temannya. Ia adalah anak buah kesayangan Bang Jajal. Joe itu berbadan kurus kerempeng, berkulit putih. Rambutnya kelihatan acak-acakan. Pakaiannya cukup rapi dibandingkan anak jalanan lainnya. Ia sebenarnya belum pantas untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk Jakarta, tetapi wajahnya kelihatan sudah matang oleh berbagai pengalaman di jalanan. Melihat wajahnya, petugas kelurahan percaya kepadanya, apalagi setelah melihat kartu kelahiran Joe yang sebenarnya palsu itu. Di kartu kelahiran itu tertulis Johanes Agus Sasono. Anak dari Kartika Sari. Tidak ada nama ayah yang tertulis. Nama ibu itu pun sebenarnya adalah nama yang dikarang ketika membuat akta kelahiran palsu. Joe ikut dalam kartu keluarga Bang Jajal. Dulunya, ia adalah anak dari panti asuhan yang cukup terkenal di jalan Kramat. Ia tidak betah tinggal di tempat itu dan memilih untuk melarikan diri. Melihat anak itu, Bang Jajal tergerak hatinya, lalu mengangkat Joe sebagai anak buah kesayangannya.

Ya bos, ada apa?” jawab Joe dengan nafas terengah-engah karena kelelahan bekerja.

Dengan tegas, sang mandor memerintahkan anak buahnya itu,

Nih ada orang baru, tolong diajarin cara kerjanya. Jangan sampai ngerusak suasana.”

“Siap bos,” jawab Joe kepada Bang Jajal dengan tangan bersikap hormat seperti seorang polisi menghormati atasannya.

Woi, ayo kita segera kerja. Loe kerja di bagian sana,” kata Joe kepada pria kumuh itu. Ia menunjuk sebuah tempat di sebelah kanannya.

Loe berdiri di situ. Ntar, gue kasih tanda ke loe. Itu berarti mobil dari arah sana boleh jalan. Ngerti ga loe.”

Iya Bang Joe, saya ngerti.”

Mereka pun bekerja sampai malam hari. Kira-kira pukul 7 malam, mereka segera menuju ke warteg “Mari Mampir” untuk makan malam. Di tempat itu juga mereka membagi hasil pekerjaan sebagai “polisi cepek”. Si pria kumuh itu, Yayan namanya. Wajahnya sekarang terlihat berseri-seri sambil memegang perutnya yang sudah menggembung.

Ah, hari ini emang aku beruntung ketemu orang baik. Udah gitu dapat duit lagi. Besok aku kerja di sini saja.”

Setelah selesai makan dan membagi hasil, mereka segera pergi ke tempat tinggal masing-masing. Joe dan Bang Jajal tinggal di dalam satu rumah dengan Sarimah. Yayan, pria kumuh itu kembali mengerutkan dahinya dan berkata dalam hatinya,

Nah, sekarang aku mau tidur di mana yah?”

Malam itu ia tidur di depan sebuah toko di pinggir jalan dengan beralaskan selembar koran. Suara bising kendaraan berlalu begitu saja di telinganya. Ia tertidur dengan begitu lelap. Wajahnya tersenyum seolah-olah menampakkan seseorang yang telah mendapatkan hadiah yang amat besar.

Tidak ada komentar: