28 Agustus 2007

Sejarah Imam Diosesan KAJ (Sebuah catatan yang masih harus diperbaiki)

Sejarah Imam Diosesan KAJ

I. Pendahuluan

Imam diosesan ialah seorang imam yang oleh tahbisannya mengikatkan diri pada suatu dioses atau keuskupan tertentu. Imam diosesan menyerahkan diri seutuhnya dan seumur hidup untuk berkarya dalam dioses atau keuskupan tersebut.

Imam diosesan berbeda dengan imam biarawan. Karena, imam biarawan adalah imam yang mengabungkan diri pada suatu lembaga hidup bakti dengan cara menjalankan hidupnya sesuai dengan anggaran dasar yang telah diakui oleh Pimpinan Gereja.

Hal yang paling mudah untuk membedakan antara imam dioses dengan imam biarawan ialah melihat singkatan dibelakang nama imam tersebut. Imam diosesan biasanya menggunakan singkatan “Pr”. Singkatan “Pr” bukanlah singkatan dari kata “Praja” yang diambil dari istilah di jawa Tengah sebagai ungkapan dari kota, kerajaan, negara. Melainkan, singkatan dari bahasa Latin “Presbyter” yang berarti imam.

Selain kata “praja”, imam diosesan seringkali disebut juga sebagai imam sekuler. Kemungkinan istilah ini lahir ketika Gereja amat mengagungkan cara hidup membiara. Pada masa itu, para biarawan dan biarawati yang hidup dengan cara membiara disebut sebagai kaum religius. Sedangkan imam diosesan yang hidupnya menyatu dengan umat secara langsung disebut sebagai imam sekuler. Karena kata “sekuler” itu sendiri berarti “duniawi” memperlihatkan bagaimana kehidupan imam diosesan yang begitu dekat dengan kehidupan masyarakat (bercorak duniawi).

Dalam menyambut 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta, kami selaku para frater diosesan Jakarta melihat sebuah kebutuhan besar untuk menuliskan sejarah imam diosesan di Jakarta sejak berdirinya Batavia hingga saat ini. Maka, dalam ringkasan sejarah ini, tidak dituliskan semua nama dan data para imam maupun uskup. Hanya beberapa imam dan uskup saja yang kami anggap memiliki peranan penting dalam mendukung terlahirnya imam diosesan di Jakarta. Adapun segala kekurangan dan kekeliruan yang terdapat dalam tulisan ini tidak mengindahkan pula bahwa keakuratan data karya tulis ini masih jauh dari sempurna.

II. Pra Kemerdekaan RI: Masa Hindia Belanda

Mgr. Y. Nelissen Pr. (1807—1817) - Prefek Apostolik I

Mgr. L. Prinsen Pr. (1817—1830) - Prefek Apostolik II

Mgr. Y.H. Scholten Pr. (1830—1842) - Prefek Apostolik III

Mgr. Y. Grooff, Pr. (1842—1846)-Vikaris Apostolik I

Mgr. P.M. Vrancken, Pr. (1847—1874)-Vikaris Apostolik II

Mgr A.C. Claessens, Pr. (1874—1893)

Mgr W. Staal, SJ. (1893—1897)

Mgr. Edmundus. S. Luypen, SJ. (1898—1923)

Mgr. Antonius van Velsen, SJ. (1924 – 1933)

Dengan kemunculan orang Portugis di Perairan Asia pada abad ke-16, misi agama Katolik mulai disebarluaskan selama masa kekuasaan kolonial Portugis di Indonesia. Pembawa misi Katolik biasanya diserahkan kepada para misionaris seperti Fransiskan, Jesuit, dan Dominikan.[1]

Pada akhir abad ke-16, orang-orang Belanda bermunculan ke seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1602, kelompok-kelompok dagang di Belanda bergabung membentuk sebuah persatuan perdagangan yang bernama VOC dari singkatan Vereinigte und Ost-Indische Companignien.[2]

VOC menguasai Batavia sejak 1619 hingga 1792. Sebelum bernama Jakarta, kota padat penduduk ini dulu bernama Jayakarta. Namun, pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta ditaklukkan oleh VOC dan namanya diubah menjadi Batavia. [3]

Berdasarkan perjanjian dengan Negara Belanda, mereka boleh membentuk pasukan sendiri, mengumumkan perang, membuat perjanjian, dan mencetak mata uang sendiri. Di balik perjanjian ini pula, VOC harus melakukan segala sesuatu untuk dapat menyebarkan agama Kristen Protestan.

Semenjak pemerintahan VOC berlangsung di Batavia, kegiatan agama Katolik dari para imam diosesan yang berkarya di wilayah kekuasaan VOC di Batavia dilarang.[4] Situasi tersebut kurang lebih berlangsung sampai tahun 1806.[5]

Keadaan ini berubah setelah masa kekuasaan VOC berakhir pada akhir abad ke-18. VOC mulai membebaskan para imam Katolik untuk singgah di Batavia dalam melayani umat-umat kerutunan Portugis dan pegawai VOC. Negara Belanda mengambil alih kekuasaan VOC di Batavia yang telah bangkrut pada tanggal 1 Januari 1800.

Pada waktu yang bersamaan pula, Negara Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis yang menguasai Belanda (1795) dalam peristiwa Revolusi Perancis. Penguasa Perancis saat itu memberikan kebebasan beragama kepada semua warga negara, termasuk mereka yang berada dalam wilayah jajahan Prancis. Orang-orang katolik mengalami emansipasi hak secara penuh pada tahun 1798 di bawah pemerintahan Raja Lodewijk.[6]

Di tahun 1808, seorang gubernur Jendral, Herman Wilhem Daendels (1808—1811) mengumumkan kebebasan beragama bagi semua warga di Hindia Belanda (Baca: negara jajahan Belanda). Pada saat inilah, berakhirlah periodisasi monopoli agama Kristen Protestan di Hindia Belanda.

Di tahun yang sama pula, dua imam diosesan Belanda diijinkan oleh Pemerintah Belanda masuk ke Batavia berkat Mgr. Ciamberlani, seorang Superior Misi Belanda. Mereka ialah Pastor Yakobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prinsen, Pr (Umur 29 tahun).

Pada tanggal 8 Mei 1807, Pastor Nelissen, Pr yang pada waktu itu berusia 55 tahun diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama di Prefektur Batavia oleh Paus Pius VII. Pada waktu itu, Prefektur Apostolik Batavia meliputi seluruh Nusantara.[7]

Mereka tiba di Batavia pada 4 April 1808 dan diterima oleh seorang dokter. Sejak masa pemerintahan Daendels ini, umat Katolik diijinkan merayakan misa secara terbuka pada tahun 1808. Maka, tepat hari Minggu, 10 April 1808, mereka mempersembahkan Misa Kudus pertama di rumah dokter ini. Saat itu, warga Katolik kebanyakan para tentara. Pada bulan Mei 1808, mereka memiliki pastoran dan sebuah ruang kazerne (bekas tangsi)—menjadi ruangan ibadat sementara waktu. Pada tahun 1810, Daendels akhirnya memberikan (sebuah kapela 23 x 8 meter) Gereja Katolik resmi pertama di Batavia yang bertempat di Gang Kenanga Utara (Daerah Senen sekarang).[8]

Mereka berdua mendapatkan ijin berupa radicaal, yaitu suatu dokumen yang menyatakan bahwa si pemilik dapat memegang suatu jabatan dalam dinas sipil di Hindia Belanda sekaligus mendapatkan hak menjadi pastor paroki.[9] Gaji mereka sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah Belanda. Mulai antara tahun 1808-1856, hanya para imam diosesan (sekulir) Belanda sajalah yang diperbolehkan berkarya di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Patut dicatat bahwa di tahun 1811, seorang imam diosesan Belanda, Pastor H. Van der Grinten Pr memberikan sumbangan besar bagi gereja. Pada 1847—1848, ia berkarya di Jakarta, lalu dipindah melayani umat di Semarang. Kemudian, sejak 1854—1864, ia kembali berkarya di Jakarta. Atas inisiatifnya sendiri beliau mendirikan Yayasan Vincentius(tahun 1856) di Jakarta dengan rumah yatim piatu/panti-asuhan, yang sekarang terdiri dari tiga bagian: Kramat Raya, Jatinegara (Bidaracina) dan Lenteng Agung (Desa Putera).[10] Beliau meninggal pada tahun 1864 dan dimakamkan di Taman Prasasti, bekas pemakaman Tanah Abang. Karya pastor ini diperlihatkan pada papan tembaga di keempat sisi batu nisannya.

Melihat keterbatasan para imam dalam melayani semua kebutuhan rohani umat, Mgr. Ciamberlani mengirimkan imam projo Belanda lagi, Pastor Wedding, Pr dan Pastor Waanders, Pr ke Batavia.

Tanggal 6 Desember 1817, Mgr. Nelissen wafat. Ia digantikan oleh Mgr. Lambertus Prinsen, Pr yang sampai tahun 1828 masih menjabat sebagai pastor Semarang. Namun, atas desakan Komisaris Jendral Du Bus de Ghisignies, Mgr. Prinsen, Pr pindah ke Jakarta.[11] Pada tahun 1830, Komisaris Jendral Du Bus de Ghisignies menghibahkan tempat kediaman komandan tentara dan wakil gubernur jendral kepada Prefektur Apostolik Batavia. Di lahan inilah berdiri Gereja Katedral Jakarta pertama kalinya.

Pada awal 1830 Mgr. Lambertus Prinsen pulang ke Belanda karena alasan kesehatan yang mundur. Lalu, beliau diganti oleh Mgr. Y.H. Scholten, Pr sebagai Prefek ke-3. Banyak pergumulan yang dialami semenjak masa jabatannya berlaku: dari larangan bagi orang katolik menjadi anggota free-masonry, larangan perkawinan campur, ketidaksenangan dengan pemerintah Belanda, hingga mengurusi masalah para imam yang hidup tidak selaras dengan panggilan dan jabatannya.

Karena begitu besarnya campur tangan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan pemerintah Belanda, Prefek Scholten, Pr pergi ke Belanda dan Roma untuk mengusahakan peraturan baru antara Gereja dan Negara. Beliau tidak kembali ke Hindia Belanda. Sehingga, Pastor Cartenstat, Pr diangkat sebagai penjabat wakil prefek.

Kemudian, Vatikan dan Raja Willem II (1840—1849) mulai mengadakan persetujuan baru. Wilayah Hindia-Belanda Timur menjadi wilayah hukum yang lepas dari negeri Belanda. Disamping itu, tepat tanggal 20 September 1842, Prefektur Apostolik Jakarta diangkat menjadi Vikariat. Statusnya berubah menjadi Vikariat Apostolik pada tanggal 20 September 1842. Pada saat yang sama pula, diangkat seorang Vikaris Apostolik yang bernama Mgr. Yakobus Grooff, Pr. Sedangkan, Pastor Cartenstat, Pr menjadi pastor pembantu di Surabaya.

Pada tahun 1845, seorang Vikaris Apostolik baru, yakni Mgr. Yakobus Grooff, Pr (1842—1846) tiba di Batavia bersama dengan 4 imam projo baru yang tidak mempunyai radicaal. Namun, beliau sebenarnya merasa keberatan dengan tugas perutusannya itu.

Sikap Mgr. Grooff yang tidak luwes membuatnya sering berbenturan dengan pemerintah dan para imam yang telah lebih dulu berkarya. Pasalnya, saat itu berkembang perilaku-perilaku yang kurang baik di tubuh para imam di Hindia Belanda (Katedral Jakarta Website). Di sekitar tahun 1845, terjadi suspensi pada beberapa imam oleh Mgr. Grooff karena mereka tidak mau mematuhi perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Vikaris Apostolik, seperti Pastor Cartenstat, Pr, Pastor Grube, Pr, dan Pastor Van Dijk, Pr (menjadi pastor padang tahun 1837).

“Melihat situasi semacam ini beliau mengeluarkan peraturan keras untuk membersihkan tingkah laku yang tidak baik di wilayahnya. Sikap ini menimbulkan reaksi keras dari para imam dan umat. Campur tangan Gubernur Jenderal Y.Y. Rochussen dalam konflik ini ditolaknya karena dianggap Vikaris hanya bertanggung jawab terhadap Tahta Suci. Akibatnya, beliau bersama empat imam lainnya diusir pada awal Februari 1846. Mgr. Grooff akhirnya kembali lagi pada misinya yang lama di Suriname dan beliau wafat dalam tahun 1852”(Para Gembala, Katedral Jakarta Website).

Mgr. Grooff memberlakukan beberapa peraturan keras seperti; tidak menyetujui adanya dispensasi perkawinan campur dan pemakaian gereja simultan (gereja bersama oleh protestan dan katolik), mewajibkan para imam di luar gereja menggunakan jubah hitam bagaimanapun panasnya cuaca, melarang para imam ikut serta dalam pesta yang terlalu duniawi. Lalu, Mgr. Grooff secara sepihak (tanpa memberitahu pemerintah) mengangkat beberapa imam baru untuk mengisi kekosongan wilayah. Tetapi, hal ini menjadi perkara besar karena Y.Y. Rochussen selaku Gubernur Jendral baru (30 September 1845) mengatakan bahwa pengangkatan imam-imam merupakan hak dari pemerintah. Mgr. Grooff menolak hal tersebut.

Pada awal bulan Februari 1846, beliau dilarang oleh pemerintah Belanda untuk menjalankan tugasnya sebagai Vikaris Apostolik di Hindia-Belanda. Ia diminta untuk meninggalkan Hindia-Belanda bersama dengan empat imam lainnya. Dampaknya, di seluruh pulau Jawa tidak ada seorang imam pun.

Menanggapi permasalahan ini, terjadi sebuah Persetujuan 1847 (Nota der punten) antara Gereja Katolik dengan pemerintah Hindia Belanda. Beberapa inti pokok persetujuan tersebut: pertama, hanya Vikaris Apostolik yang boleh mengangkat dan memindahkan para imam. Kedua, penguasaan milik gerejani terletak melulu pada Vikaris. Ketiga, tidak ada lagi syarat dari Pemerintah Belanda bahwa yang datang ke Indonesia haruslah imam-imam sekulir (praja) Belanda.[12]

Pasca 1847, tidak ada seorang imam pun lagi yang bekerja di Hindia Belanda.[13] Maka, Vatikan mengirim Mgr. Petrus Maria Vrancken, Pr (Umur 40 tahun) sebagai uskup di Vikaris Apostolik ke-5 oleh Paus Pius IX pada 4 Juni 1847.

Beliau merupakan seorang uskup yang sangat berjasa bagi perkembangan misi di Indonesia. Dalam kedatangannya ke Batavia, ia membawa 2 imam projo baru dari Belanda.

Kehidupan rohani umat pada waktu itu sangat memprihatinkan sesudah peristiwa yang terjadi sebelumnya; sebagai contoh, dari sekitar 600 orang Katolik di Jakarta hanya 25 orang yang menerima komuni suci pada waktu Paskah. Mgr. Vrancken sangat memberi perhatian dalam pelayanannya bagi umat, baik diantara orang-orang Eropa atau Indo maupun pada masyarakat pribumi.

Selain memberikan perhatian pada karya misi, Mgr. Vrancken juga sempat memikirkan tentang pendirian wadah pendidikan calon imam (seminari). Ia menyadari bahwa memang dibutuhkan imam-imam pribumi karena tenaga yang ada amat tidak mencukupi. Beliau sempat menulis kepada Prefek Scholten bahwa beliau sedang berfikir untuk mendirikan semacam seminari: “Kita membutuhkan imam-imam pribumi.”[14]

Namun, diakui pula oleh beliau bahwa pendirian seminari saat itu sangat tidak mungkin bisa diadakan karena pertama, tenaga para imam sendiri masih kurang. Kedua, keuangan pun masih sulit karena satu-satunya sumber yang mungkin hanyalah gaji dari sejumlah kecil imam yang dibiayai pemerintah.

Karena jumlah imam projo Belanda makin sedikit, beliau memandang perlu mendatangkan tenaga misionaris lainnya. Sebab, Mgr. Vrancken berulang kali mencoba untuk menarik para imam sekulir Belanda untuk berkarya di Hindia-Belanda, tetapi hasilnya kecil sekali. Sekitar tahun 1856, beberapa ordo dan tarekat misionaris mulai berdatangan untuk membantu di Batavia. Yang pertama datang ialah tujuh suster Ursulin pada tanggal 7 Februari 1856. Mereka mulai berkarya di Batavia dalam pendidikan anak. Disusul, dua imam Jesuit pertengahan 1859 dan mulai mengambil alih Paroki Surabaya. Di sekitar tahun 1871, ada lima belas orang imam yang berkarya di Hindia-Belanda: lima imam sekulir (projo) Belanda dan sepuluh imam Jesuit. Para imam-imam Jesuit pun masuk dan menyelenggarakan karya pastoral di wilayah Batavia. Pada 1919, para Suster Carolus Borromeus masuk ke Batavia dan membuka Rumah Sakit Sint. Carolus. Hampir pelayanan bagi umat Katolik di Batavia masih diasuh oleh para imam misionaris dan suster berkebangsaan Belanda.[15]

Di masa kepemimpinan Mgr. Antonius Van Velsen, SJ (1924—1933) sebagai Vikaris Apostolik, para imam Jesuit pun mulai mendirikan Perkumpulan Strada dalam bidang pendidikan pada 1924. Sekolah pertamanya dibuka di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Kemudian, Perkumpulan ini mendirikan sekolah menengah berasrama (1927) di Menteng yang kemudian diberi nama Kolese Kanisius (1932). Disinilah cikal bakal tempat eksperimen pertama seminari tinggi diosesan Jakarta.

III. Pra Kemerdekaan RI: Masa Jepang

Mgr. Petrus Willekens, SJ (1934—1952)-Vikaris Apostolik

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1953 – 1961)-Vikaris Apostolik

Pada 23 Juli 1934, Pastor Petrus Willekens, SJ diangkat sebagai Vikaris Apostolik VII oleh Paus Pius XI dan ditahbiskan menjadi Uskup di Katedral pada 3 Oktober 1934.[16] Di tengah masa kepemimpinannya beliau mengalami masa pendudukan Jepang.

Pada bulan 1941, Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan tekanan berat dari Jepang agar mau bergabung dengan Wilayah Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Selain itu, tanggal 14 Mei 1941, Jepang mengirimkan sebuah ultimatum kepada pemerintah Hindia Belanda agar pengaruh dan kehadiran Jepang dibiarkan di wilayah ini. Namun, tanggal 6 Juni 1941, perundingan antara Belanda dan Jepang ini gagal. Pemerintah Hindia Belanda menjawab bahwa tidak akan ada konsesi yang akan diberikan kepada Jepang. (Lih. Indonesia: Era Jepang. Wikipedia Indonesia Website, 2006).

Hingga akhirnya, Jepang mulai menjajah pulau Indonesia dan berusaha merebut kekuasaan yang dimiliki Belanda pada bulan Februari 1942. Jepang mulai mengebom beberapa pulau di Indonesia, termasuk Batavia (9 Februari 1942).

Ketika Belanda menyerah, pasca April 1942, banyak orang Belanda diintenir pasukan Jepang, termasuk pastor, bruder, dan suster. Mereka dikirim ke kamp interniran Jepang. Sekitar bulan Agustus 1943, Jepang mulai mengambil alih perkebunan gula untuk menguasai produksi gula. Para manajer Eropa dikirim ke kamp interniran.

Berkat kelihaiannya mengangkat diri sebagai ‘Wakil Paus’, Mgr Willekens bersama sekretarisnya Pastor L. Zwaans SJ tidak turut diintenir sehingga dapat memberikan pelayanan kepada umatnya. Tanpa memperhitungkan bahaya bagi dirinya, ia sering menghadapi para pembesar untuk membela hak asasi manusia.

Pada masa pendudukan Jepang ini, Mgr. Willekens mengusahakan agar rumah sakit dan sekolah-sekolah Katolik untuk tetap beroperasi dan tetap melayani umat Katolik.

Situasi semacam ini menyebabkan gerak para imam Belanda terbatas dalam melayani umat di Batavia dan melihat adanya kebutuhan akan imam-imam (baru) pribumi di Jakarta.

IV. Pasca Kemerdekaan RI

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1961 – 1970)-Uskup Agung

Mgr. Leo Soekoto, SJ (1970 – 1995)-Uskup Agung

Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ (1996 – …)-Uskup Agung

Setelah kemerdekaan RI, para imam Belanda mulai berkurang. Namun, muncullah tiga imam projo yang mulai berkarya untuk Keuskupan Agung Jakarta sejak 1961-1970; yakni Rm. Soerjo Moerdjito Pr, Rm. Pan Liang Ching Pr, dan Rm. Sutopanitro Pr.

Pada bulan Mei 1947, seorang imam muda bernama Soerjo Moerdjito (27 tahun) ditahbiskan menjadi imam sekulir di Kotabaru.[17] Sejak menamatkan sekolah SD di Vincentius Gesticht, Paroki Kramat (masuk disana sejak 1935), beliau dikirim oleh orang tua ke sekolah di Seminarium Minus, Yogyakarta. Sekolah calon pastor saat itu hanya ada di Ganjuran. Sekitar tahun 1930-an, pendidikan seminari di Batavia belum ada. Kemudian, beliau melanjutkan ke Seminarium Maius, Yogyakarta. Namun, karena suasana zaman Dai Nippon (Jepang), Seminarium Maius terpaksa mengalami masa diaspora (berpindah-pindah). Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Seminari Maius bertempat di Kampung Bumijo dan di Kolese Ignatius, Kotabaru.

Beliau ditahbiskan oleh Mgr. Albertus Soegiyopranoto, SJ bersama 4 orang imam lainnya: Rm. Yustinus Darmojoewono Pr, Rm. Th. Poesposoegondo Pr, Rm. Hadisoerdarso Pr, dan Rm. Tjiptosoemarto Pr. Tugas pertamanya sebagai imam dimulai di Paroki Kidul Loji dan membantu pula di Paroki Pugeran, Yogyakarta selama setengah tahun.(data ini didapat dari tulisan yang dikirimkan oleh salah seorang sanak saudara yang mengenal Bpk. Soerjo Moerdjito. Data tersebut masih berada di tangan pastor unit kami, pastor Tunjung Kesuma Pr. Ia masih memiliki hubungan darah dengan Bpk. Soerjo Moerdjito. Romo Tunjung Kesuma juga mengatakan bahwa tanggal kematiannya, 22-12-2001 adalah benar).

Pada 1947, Rm. Soerjo dipanggil Mgr. Willekens untuk berkarya di Jakarta. Beliau diinkardinasikan (diterima) sebagai imam diosesan dalam Vikariat Apostolik Jakarta.[18] Lalu, Mgr. Willekens menempatkannya di Kampung Sawah dan mengambil-alih pimpinan paroki Kampung Sawah dari tangan Pastor Voogdt.[19]

Namun, Rm. Soerjo merasakan kesepian dan ketakutan tinggal di sana karena suasana rawan. Sebab, saat itu para pastor masih dianggap khalayak ramai sebagai kaki tangan Belanda. Rm. Soerjo sempat meminta kepada Mgr. Willekens agar dipindahkan ke salah satu paroki di Jakarta, namun tidak diperkenankan. Rm. Soerjo harus tetap bekerja di Kampung Sawah.

Mgr. Willekens pun meminta beliau untuk mendirikan basis atau stasi baru di sekitar Kampung Sawah dan Bekasi. Sejak 6 Februari 1951, Rm. Soerjo Moerdjito meninggalkan Kampung Sawah dan diminta membantu para pastor di kota Solo dan Ambarawa.

Ketika masih menjabat sebagai Vikaris Apostolik, Mgr. Willekens SJ dikenal memiliki gagasan yang sangat luhur bagi kelahiran imam diosesan Jakarta. Salah satunya ialah mengambil inisiatif untuk mewujudkan sebuah Seminari Tinggi guna mendidik benih panggilan baru sebagai imam diosesan pribumi.

Pada 1950, beliau memberikan perhatian khusus bagi anak-anak Jakarta yang ingin menjadi imam. Mereka ditampung di asrama di kompleks suster-suster Ursulin, Jalan Pos dan mengikuti pelajaran di Kolese Kanisius. Rm. Sutopanitro, Pr menuturkan bahwa sekolah Kanisius saat itu seperti layaknya sekolah biasa, namun para seminaris bersekolah juga disana.Pada 1952, mereka dipindahkan ke Tangerang, tempat dimulainya seminari kecil (nama tidak diketahui?) di sebuah pastoran. Satu tahun kemudian, seminari itu di bubarkan sesuai permintaan Mgr. Djajasepoetra. Para siswa terpaksa dipindahkan ke seminari menengah Mertoyudan.[20]

Ketika itu, Rm. Soerjo juga ditarik kembali ke Jakarta untuk memberikan pelajaran Sejarah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Latin kepada beberapa pemuda yang bercita-cita menjadi imam di seminari kecil Tangerang. Menurut Rm. Sutopanitro Pr sebagai mantan murid seminari kecil di Tangerang tahun 1952. Seminari kecil saat itu didampingi oleh satu rektor dan dua frater Jesuit (Rm. Van der Braak SJ dan Rm.Van der Schueren SJ?).

Lalu, beliau diangkat pula menjadi Pastor Militer atas usul Rm. Letnan Kolonel J.O.H. Padmosepoetro Pr dan ditugaskan dalam Kesatuan Angkatan Udara Republik Indonesia – berpangkat Mayor Titulair – guna membina dan memimpin umat Katolik di Lingkungan Paroki Cililitan, kompleks A.U. RI.

Namun, pada 1955, Mgr. Djajasepoetra SJ menugaskan Rm. Soerjo Moerdjito di tempat yang baru menjadi pemimpin Yayasan Pendidikan Strada seluruh DKI yang berkantor di Jln. Gunung Sahari 88, Jakarta Pusat saat itu.

Awal 1977, Rm. Soerjo Moerdjito keluar dari jalan imamatnya. Ia kemudian menetap di Denpasar, Bali dan bertugas pula sebagai dosen tidak tetap di Universitas Udhayana untuk mengajar Bahasa Latin, Belanda dan Inggris. Pada 22 Desember 2001, beliau dipanggil Tuhan dan dimakankan di pemakaman Katolik Nusa Dua, Bali.

Di sela perjalanan karya Rm. Soerjo Moerdjito, seorang imam asal daratan China datang ke Jakarta, yakni Rm. Pan Liang Ching Pr pada tahun 1961(?). Ia ditahbiskan di China pada tahun 1952. Menurut penuturan Rm. Sutopanitro Pr, beliau adalah seorang imam asal daratan Cina yang terpaksa lari dari RRC ke Jakarta – saat Komunis berjaya dan diterima sebagai imam diosesan Jakarta. Tidak banyak data arsip yang dapat menerangkan segala karya Rm. Pan Liang Ching ini selama di Jakarta. Namun, ketika Rm. Sutopanitro Pr ditahbiskan tahun 1963, Rm. Pan Liang Ching, Pr pernah berkarya di Paroki Mangga Besar (biasa mengadakan misa dengan Bahasa Mandarin). Rm. Sutopanitro mengaku kerap kali bertemu, namun saat itu belum ada pemikiran untuk membina kebersamaan dalam kolegialitas imam. Salah satunya karena alasan perbedaan usia yang jauh. Beliau wafat tahun 1984.

Imam berikutnya ialah Rm. Sutopanitro Pr. Pada 1952, beliau pernah mengalami seminari kecil di Tangerang bersama 14 seminaris lainnya. Satu tahun kemudian, Rm. Sutopanitro dipindahkan ke Mertoyudan. Ia menduga bahwa alasan penutupan seminari itu dikarenakan terlalu makan banyak tenaga, sedangkan seminarisnya hanya sedikit.

Sewaktu di Mertoyudan dan di Kotabaru, Rm. Sutopanitro berstatus “titipan” dari Jakarta. Ia ditahbiskan bersama empat orang imam projo Semarang di Kotabaru pada 2 Juli 1963 dan ditarik kembali untuk berkarya di Jakarta.[21] Ketiga imam yang ditahbiskan bersama dengan Rm. Sutopanitro, Pr adalah Rm. Gregorius Utomo, Pr, Rm. Stanislaus Kostka S. Darmawiyana, Pr, dan Rm. Raymundus Mardisuwignyo, Pr. Saat itu, Rm. Sutopanitro mulai berkarya sebagai pastor pembantu di Katedral selama 3 tahun.[22]

Rm. Sutopanitro mengaku pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan terhadap seorang pastor karena statusnya sebagai imam projo dianggap sebagai kelas kedua. “Saat itu saya diperkenalkan sebagai imam kelas 2 dan boleh kaya oleh pastor paroki di tempat saya bertugas. Masalahnya, hal itu dikatakan di mimbar. Maka, karena pengalaman itu, saya makin termotivasi untuk menjadi lebih baik dalam pelayanan,” ungkap Rm. Sutopanitro ketika diwawancarai langsung di Pastoran Kelapa Gading.

Sejak ditahbiskan hingga tahun 1967, ia berkarya di lingkungan Katedral Jakarta. Lalu, dari 1967 hingga 1969 berkarya dilingkungan keluarga besar KODAM JAYA. 1969 merangkap di Pusat Rohani(Pusroh).

Kemudian, Rm. Sutopanitro tinggal di Gunung Sahari 77, Jakarta Pusat. Ia diberi tugas oleh Mgr. Djajasepoetra, SJ untuk menggantikan Rm. Brotosoegondo, SJ sebagai pastor tentara selama 27 tahun, sejak awal tahun 1970-an hingga tahun 1992. 1970 diangkat sebagai perwira di Pursroh serta meninggalkan tugas lamanya di Kodam dan berlangsung hingga lebih lima tahun. Ia ditugaskan sebagai pastor di lingkungan Angkatan Bersenjata/TNI di pusat pembinaan Rohani Katolik tahun 1976. Di tahun 1978, ia dipindahkan ke Mabes ABRI dan bekerja disana hingga tahun 1990. Tahun itu mestinya sudah harus pensiun, tapi diperpanjang hingga 1992.

Tahun 80-an, ia pindah ke Kramat VII/6 kemudian mengontrak sebuah di Tebet bersama anak-anak terlantar yang dilindunginya. Pasca G30SPKI, Rm. Sutopanitro mulai memberikan dampingan bagi para korban tahanan politik bersama beberapa imam lain hingga tahun 1983 dalam Proyek Sosial Kardinal.

Tak ada orang lain yang berani berhubungan dengan para tahanan politik saat itu karena takut dicap sebagai PKI. Para keluarga tahanan politik saat itu (khusus di Jakarta) mencapai 16.000-an keluarga. Dalam masa pensiunnya, beliau meminta kepada Mgr. Leo Soekoto untuk berkarya di paroki. Maka, ia diutus membantu Rm. Wiyanto Pr di Paroki Kepala Gading selama 17 tahun (hingga sekarang).

Dalam kepemimpinan Mgr. Leo Soekoto (1970—1995), seorang imam diosesan bernama Rm. Marius Mariatmadja Pr ditugaskan sebagai pastor paroki Kampung Sawah.

Sebelum ditahbiskan, Marius Mariatmadja adalah seorang mantan frater Yesuit. “Fr. Marius, SJ diharuskan meninggalkan serikatnya setelah 19 tahun menjadi anggota serikat. Walaupun telah belajar teologi di Maastricht, Belanda selama tiga tahun, pimpinan Jesuit tidak berani untuk mengajukan beliau menjadi seorang imam karena kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Fr. Marius dan dipersilahkan meninggalkan serikat pada tahun 1945.” Beliau (saat itu berumur 47 tahun) datang ke Kampung Sawah untuk menggantikan Guru Tjiploen sebagai kepala sekolah pada 1950.

Di Paroki Kampung Sawah, Bapak Marius membimbing sekolah dasar yang dikelola oleh Yayasan Strada. Dalam bimbingannya sekolah ini berkembang bahkan ditambah dengan SGB atau Sekolah Guru B. Pada tahun 1952 Bapak Marius membuka pelajaran Sekolah Dasar di rumah Pak Saba di Kampung Cakung-Payangan atas desakan rakyat setempat. [23]

Menurut penuturan dari Bapak Yulius Sastra Noron – mantan Sekretaris Dewan Paroki St. Servatius Kampung Sawah, Bapak Marius Mariatmadja (Pak Mario), ialah seorang sosok yang dihormati oleh masyarakat Kampung Sawah. Kehadiran Pak Mario dapat dikatakan sebagai pemersatu umat.

Selain sebagai guru, beliau juga pernah mengajar agama Katolik di gereja. Dia juga menjabat sebagai Ketua Liga Katolik (perkumpulan orang-orang Katolik), dan Ketua Koperasi. Perannya cukup besar dalam menumbuhkan iman umat, mengingat pada waktu itu belum ada pastor yang menetap di Kampung Sawah. Biasanya pastor hanya mengunjungi umatnya hanya satu atau dua minggu sekali. Sejak tahun 1950 hingga 1972, Pak Mario mengabdikan dirinya di paroki Kampung Sawah.

Bapak Marius yang pernah mengenyam sebagian besar pendidikan imam ini (namun gagal di bidang Teologi Moral), pernah memohon kepada Mgr. Djajaseputra untuk ditahbiskan sebagai imam, sekalipun sudah lanjut usia. Namun, permintaannya ditolak karena Mgr. Djajaseputra khawatir Pak Marius mengalami tekanan psikis dan menderita stres. Pada 1970, Mgr. Djajaseputra mulai digantikan oleh Mgr. Leo Soekoto selaku Uskup Agung Jakarta. Pada saat itu, Pak Marius mengajukan kembali permohonannya dan mendapat respon yang positif.

Tepat, 12 September 1971 Bapak Marius Mariatmadja, ditahbiskan menjadi Imam Projo oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ. Tetapi, Tuhan mempunyai kehendak lain. Karyanya sebagai imam tidak lama. Ia jatuh sakit dan dibawa ke Rumah Sakit Sint Carolus. Pada 3 Oktober 1972, beliau meninggal dan dimakamkan di pemakaman Katolik Kampung Sawah.[24]

Pada 1973, Rm. Witdarmono Pr ditahbiskan menjadi imam diosesan KAJ. Tak lama kemudian, ia langsung dikirim ke Leuven untuk studi alkitab. Tidak banyak data mengenai karya Rm. Witdarmono, Pr ini sendiri. Menurut Rm. Purbo Tamtomo Pr, setelah kepulangannya dari Leuven, ia menjadi pamong unit di Wisma Mahasiswa Murdai tahun 1981.[25]

Maka, ia berperan dalam dua tugas di Jakarta, yakni staf seminari Tinggi KAJ dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Namun, Rm. Witdarmono, Pr meninggalkan imamatnya pada tahun 1986.

Sekitar tahun 1971, Mgr. Leo Soekoto meminjam Kolese Kanisius, Menteng untuk membuka seminari tinggi “eksperimen”.[26] Kebetulan yang mendaftar saat itu hanya tiga orang dan yang diterima hanya satu orang (hanya alm. Rm Wiyanto Pr). Tetapi, karena kebaikan Rm. Kester SJ saat itu, Bambang Wiryo diperbolehkan masuk Seminari.

Maka, pada 25 Januari 1978, dua imam diosesan ditahbiskan di Katedral oleh Mgr. Leo Soekoto, yakni Rm. Wiyanto Pr dan Rm. Bambang Wiryowardoyo Pr. Sejak tahun 1984, Rm. Bambang Wiryowardoyo mulai bekerja di Paroki Slipi(1 tahun), Paroki Katedral (6 tahun) dan membangun Paroki Bojong Indah (6 tahun). Sekarang masih berkarya di Paroki Pasar Minggu bersama Rm. Hadiwijoyo Pr.

Sedangkan, Rm. Wiyanto Pr mulai ditugaskan di Paroki Grogol sejak 1978 (2 tahun), kemudian dipindah ke Paroki Pulomas sejak 1980 (6 tahun). Beliau wafat pada tahun 2003, ketika berkarya di Paroki Bojong Indah.

V. Pernak-Pernik

V.I Rm. Bambang Wiryowardoyo Pr

Pada tahun 1971, Mgr. Leo Soekoto membuka Seminari di Jakarta. Pendaftaran ini pertama kali hanya dibuka untuk lulusan SMA non-seminari. Kebetulan yang mendaftar saat itu hanya tiga orang dan yang diterima hanya satu orang (hanya alm. Rm Wiyanto). Tetapi, karena kebaikan Rm. Kester SJ, Bambang Wiryo disekolahkan di Atma Jaya untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris selama setahun – karena Bambang Wiryo tidak lulus ujian Bahasa Inggris. Setelah menyelesaikan studi di Atma Jaya, Bambang Wiryo diperbolehkan masuk Seminari.

Dalam masa satu tahun studi di Atma Jaya, Bambang Wiryo mengikuti kaderisasi satu bulan di Samadi yang dipimpin oleh Rm. Beeks, SJ, yang bertujuan untuk mendobrak Orde Lama. Ketika masuk alam studi STF, Bambang Wiryo mengalami kesulitan dalam menimba ilmu karena tidak adanya persiapan yang diberikan oleh pihak Seminari. Pada saat itu, belum ada bentuk nyata dari institusi seminari sehingga mereka (Bambang Wiryo dan Wiyanto) dititipkan di Kolese Kanisius, Menteng.

Wiyanto sempat harus mengulang kuliah satu tahun sehingga mereka bertemu kembali di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Setelah menyelesaikan program D3, mereka disekolahkan kembali di Kentungan untuk mengambil bidang Teologi. Saat inilah, mereka mengalami apa yang dinamakan Seminari. Tetapi, bayangan seminari ternyata berbeda dengan apa yang mereka harapkan. Banyak frater yang melakukan kegiatan yang tidak mencerminkan status mereka. “Ketika kami retret, para frater bukannya berdoa, tetapi mereka main kartu. Akhirnya, saya isengin saja dengan mengunci kamar mereka dari luar sehingga ketika ada pertemuan mereka harus loncat dari jendela dan memutar untuk masuk dalam ruang pertemuan,” kata Rm Wiryo ketika masih menjadi frater di Kentungan.

Berbeda dengan apa yang pernah terjadi ketika mereka masih di Kanisius, dimana mereka diminta untuk menjalani studi dengan baik. Mereka berdua mendapatkan dukungan baik dalam studi maupun rohani. Hal ini dapat dilihat dari adanya kelompok belajar. Dalam bidang rohani, mereka mendapat seorang romo pembimbing rohani yang siap membagi pengalaman dengan mereka.

Setelah menyelesaikan studi, pada 25 Januari 1978, Bambang Wiryo dan Wiyanto ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ. Saat itu, kolegialitas imam-imam diosesan belum terbentuk. Walaupun sudah ada imam projo di Jakarta, tetapi mereka sendirilah yang mengurus persiapan mereka menjelang tahbisan. Dalam keterbatasan itu, mereka menerima panggilan Allah menjadi imam di Jakarta dengan hati yang gembira.

Imam Diosesan tidak begitu dikenal oleh umat saat itu sehingga banyak umat yang meragukan mereka. Tidak hanya itu saja, ternyata perlakuan yang mereka terima dari imam tarekat sangat berbeda. Dalam wawancara pribadi, Rm. Wiryo mengatakan bahwa ia pernah diusir ketika ingin makan bersama di pastoran oleh seorang imam tarekat yang berasal dari Belanda. Selain itu, mereka harus menghadapi perbedaan pandangan dari beberapa romo tua dimana masih memegang teguh pandangan konsili Trente, padahal mereka sudah memakai pola pandangan Konsili Vatikan II.

Keadaan ini terjadi karena imam diosesan tidak eksis dan dalam kuantitas mereka belum banyak. Lagipula, saat itu keuskupan lebih cenderung mendatangkan imam tarekat dari luar dibanding mendirikan seminari untuk menciptakan imam baru yang berasal dari daerah sendiri.

Dalam suatu kesempatan memberikan retret kepada anak-anak sebuah Sekolah Dasar, Rm. Wiryo pernah mendapat pandangan sinis apakah beliau akan berhasil dalam membimbing mereka. Para suster dan guru rupanya lebih mempercayakan anak-anak mereka pada imam tarekat. Walaupun demikian, dengan sedikit keberanian akhirnya Rm Wiryo dapat hasil yang baik. Semua itu tak akan dapat dilalui jika tanpa dukungan yang besar dari Mgr. Leo Soekoto sendiri. Dalam karyanya, Rm. Wiryowardoyo, Pr berhasil membangun paroki baru di Bojong Indah, kemudian mendirikan UNIO Indonesia bersama Rm. Wiyanto di Paroki Pulo Mas (1983).

V.II Rm. Widianto Pr

Selang 3 tahun, di tahun 1980, ada seorang imam diosesan KAJ yang baru, yakni Rm. Widianto. Pr. Romo Widianto ditahbiskan menjadi imam di Paroki Tebet pada tanggal 25 Januari 1980 oleh Mgr Leo Soekoto. Beliau ditahbiskan dalam usia yang sangat muda 26 tahun. Menurut Romo Widianto, beliau adalah angkatan terakhir di Seminari Mertoyudan yang berasal lulusan SD. Pada tahun 1966, tepatnya setelah beliau masuk, tidak ada lagi penerimaan lulusan dari Sekolah Dasar. Jumlah siswanya kurang lebih lima puluh anak.

Akan tetapi, dari lima puluh anak tersebut yang menjadi imam hanya 4 orang. Dari Seminari Mertoyudan, Rm. Widianto langsung masuk ke Seminari Kentungan sebab belum ada sistem KPA dan Tahun Rohani saat itu. Beliau masuk ke Jakarta karena alasan kedekatan dengan keluarga – beliau merasa tidak bisa jauh dengan keluarga. Menjadi misionaris harus siap untuk meninggalkan keluarga. Itulah sebabnya mengapa beliau memilih menjadi imam Projo.

Selain mengalami masa formasi di Seminari Mertoyudan dan Kentungan, ia pernah mengikuti formasi eksperimen di Kanisius pada tahun 1970 dan hanya mengalaminya selama 3 bulan. Seminari Kanisius merupakan gabungan antara seminari tinggi dan seminari menengah dan didampingi oleh Romo Kester, SJ. Ruang kelas di Kanisius disulap menjadi ruangan-ruangan untuk kamar. Beberapa yang tinggal di sana, antara lain Bambang Wiryo dan Wiyanto. Sistem pendampingan di Kanisus dapat dikatakan kacau, karena selain tidak ada pendampingan yang intensif, suasana yang tidak mendukung – setelah sekolah mereka bebas. Karena tidak ada pembentukan yang rutin dan seolah-olah seperti dibiarkan begitu saja, Rm. Widianto akhirnya memutuskan kembali ke Kentungan.

Mgr. Leo-lah yang memberikan ide mengenai eksperimen di Kanisius ini. Tujuannya adalah agar dapat merintis Seminari sendiri. Bahkan, Paroki Tebet sebenarnya dipilih untuk lokasi Seminari. Namun, dialihkan ke Pejaten, Pasar Minggu karena daerah Tebet dirasa semakin ramai. Semua itu dilakukan untuk menyuburkan panggilan calon imam Projo. Untuk menarik para seminaris, Mgr. Leo seringkali datang sendiri ke Mertoyudan dan mempromosikan projo Jakarta. Beberapa yang berhasil di jaring, antara lain Rm. Purbo, Pr dan Rm. Yohanes de Brito Subagyo Pr, Rm. Ndito Martawi, Pr, dan Rm. Rohadi Widagdo, Pr.

Mengenai kondisi para imam sendiri, beliau mengatakan bahwa pada waktu itu, gerakan UNIO belum bisa berjalan baik. Komunikasi dan relasi antar imam dioses belum begitu “mesra”. Akan tetapi, relasi dengan imam-imam lain (tarekat) lebih baik di banding sekarang. Tidak seperti sekarang karena jumlah para imam di paroki yang semakin bertambah.

Mengenai kondisi jumlah imam projo Jakarta yang naik turun, Rm. Widianto mengungkapkan bahwa masa sebelum Mgr. Leo turun ke lapangan, promosi mengenai imam projo sendiri kurang digalakkan.

Menurutnya, Mgr. Leo mempunyai peranan penting dalam perkembangan imam projo. Mengutip apa yang dikatakan Mgr. Leo kepadanya; “Suatu keuskupan dikatakan sehat bila memiliki imam dioses yang cukup.” Hampir setiap tahun, beliau mengadakan “kampanye” di Mertoyudan. Dalam suatu kesempatan di Senayan, beliau mengatakan, ”Di Jakarta banyak pendatang, tetapi mengapa mereka tidak membawa Romonya juga?” Maksudnya mungkin agar banyak pendatang yang mau merelakan anaknya untuk dididik menjadi imam projo di Jakarta.

Sebenarnya mengapa imam projo sangat dibutuhkan pada masa itu? Itu juga disebabkan karena banyaknya imam misionaris yang mulai meninggalkan Indonesia. Dari situasi yang tidak beraturan itu, Rm. Widianto merasa semakin ditempa untuk menjadi imam yang rendah hati. “Umat tidak pernah menuntut imam yang pandai. Pandai tanpa rendah hati biasanya kurang berhasil,” tegasnya. Dengan kehadiran Rm. Widianto ini, semua para imam projo mulai berkumpul bersama dalam bentuk UNIO.

V.III Rm. Pranataseputra Pr

Rm. Pranataseputra, Pr pernah mengenyam pendidikan di seminari menengah Mertoyudan sejak 1960 sampai 1965. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan imamatnya ke Seminari Tinggi Kentungan sebagai calon imam diosesan KAS. Akan tetapi, setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Pastoralnya di Paroki St. Antonius, Muntilan, ia mengundurkan diri. Ia mengundurkan diri tepatnya pada tahun 1969. Beliau tetap melanjutkan pendidikan teologi selama satu tahun di Kentungan.

Setelah itu, beliau meninggalkan Yogyakarta dan menetap di Jakarta. Beliau mengajar di sekolah Tarakanita selama kurang lebih dua belas tahun (1970—1981). Pada tahun 1981, beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai guru di Tarakanita. Lalu, beliau mendaftarkan diri kembali untuk menjadi seorang imam diosesan kepada Mgr. Leo Soekoto, SJ yang adalah rektornya ketika beliau mengenyam pendidikan di Seminari Kentungan dahulu. Ia diterima sebagai seorang calon imam diosesan KAJ. Kemudian, melanjutkan kembali studi imamatnya yang sempat tertunda selama dua belas tahun.

Ketika beliau mendaftarkan diri sebagai calon imam diosesan Jakarta, pendidikan (seminari) untuk calon imam projo Jakarta sudah ada. Sebagian besar frater dititipkan di Kentungan untuk mengenyam pendidikan filsafat dan teologi. Pada saat itu pula, pendidikan filsafat untuk calon imam diosesan KAJ di Jakarta baru dimulai dan baru dirasakan oleh adik kelasnya – saat itu hanya ada program D3. Hasil dari pendidikan di STF Driyarkara yang pertama adalah Rm. Widayat, Pr dan Rm. Rudi Gunawan, Pr.

Pada 4 juli 1984, beliau ditahbiskan menjadi imam diosesan KAJ di JHCC Balai Sidang bersama dengan empat orang rekan imamatnya: Rm. Jack Tarigan, Rm. Hadiwijoyo, Rm. Kunarwoko (sudah keluar), dan Rm. Eko Susanto (sudah keluar).

Pada masa itu, Mgr. Leo Soekoto, SJ bersama Rm. Alex Dirjo, SJ terlibat langsung dalam pendidikan calon imam diosesan KAJ. Seminari tinggi belum memiliki staf saat itu. Rm. Alex Dirjo, SJ pun menjabat sebagai rektor seminari tinggi. Pada 1984, Rm. Pranataseputra menggantikan Rm. Alex Dirjo, SJ sebagai rektor seminari tinggi. Ia sempat dibantu oleh Rm. Jack Tarigan dan Rm. Sandyawan, SJ. Setelah delapan tahun menjabat sebagai rektor (tahun 1992), Rm. Pranataseputra diganti oleh Rm. Widayat, Pr.

Sampai tahun 1981, hanya ada delapan orang imam, diantaranya Rm. Sutopanitro, Rm. Witdarmono (sudah keluar), Rm. Widianto, Rm. Bambang Wiryo, dan Rm. Wiyanto, Pr. Kedelapan Imam Diosesan ini tersebar ke paroki-paroki, kecuali Rm.Witdarmono. Rm. Witdarmono berkarya sebagai dosen di STF Driyarkara dan staf seminari tinggi KAJ. Relasi antar imam kurang begitu terbina dengan baik karena letak karya mereka yang berbeda satu sama lain dan pada umumnya, mereka hanya diutus seorang diri di sebuah tempat pastoral.

Beliau menuturkan pula bahwa UNIO KAJ sudah ada – hanya saja anggotanya masih sedikit dan pertemuan pun belum rutin (1984). Pada tahun 1983, diadakan Munas UNIO yang pertama di untuk imam diosesan seluruh Indonesia yang bertempat di Pulomas – ketika Rm. Pranataseputra masih menjadi frater. Dari momen tersebut, muncullah UNIO Indonesia. Lalu, perkumpulan imam diosesan tersebut mulai mengadakan pertemuan Munas UNIO rutin setiap empat tahun.

V.IV Rm. Purbo Tamtomo Pr

Sewaktu masuk seminari tinggi, Kardinal Julius Darmaatdja yang pada saat itu adalah rektor seminari Mertoyudan mengantar saya untuk masuk ke seminari diosesan Jakarta. Pendidikan seminari tinggi diosesan hingga tahun 1980 masih berlangsung di Kanisius – tempatnya meminjam. Namun, tempat belajar mereka di STF Driyarkara. Dalam keseharian, mereka menggunakan sepeda ke STF Driyarkara. Ketika di Kanisius, Rm. Purbo mengalami kehidupan bersama teman seangkatannya: Rm. Ndito, Rm. Rohadi, Fr. Johan, Fr. Wiwi. Namun, yang meneruskan sampai menjadi imam hanya bertiga. Rm. Frans Doi merupakan satu angkatan tahbisan, namun baru bertemu saat belajar teologi di Yogyakarta.

Pastor unit dan rektor di Kanisius saat itu ialah Rm. Drost. SJ. Namun, dalam prakteknya, mereka jarang bertemu, paling tidak hanya satu kali seminggu. Kehidupan di Kanisius saat itu lebih ditentukan oleh mereka sendiri. Sebagai contoh: misa harian – mereka bergabung dengan para imam dikapel Kanisius, kemudian berangkat ke STF. Setelah pulang kuliah, kegiatan wisma diatur oleh mereka sendiri (tidur, opera). Belum ada peraturan sama sekali, bahkan para staff seminarinya. Mereka ditantang tanpa sadar untuk terbiasa mengurus ritme hidup sendiri dari seminari menengah. Sempat pula mereka mengalami pastor unit Rm. Alex Dirjo, tapi dia juga tidak tinggal di situ.

Dalam perjalanan tahun ketiganya di Jakarta, Wisma Murdai didirikan (1980-1981, mereka masih tinggal di Kanisius) sebagai tempat pembinaan para frater yang baru. Maka, tahun terakhir di filsafat STF Driyarkara, Rm. Purbo bersama teman seangkatannya memperbaharui Wisma Murdai, pada tahun 1981-1982. Tanggal 14 Agustus 1980, Seminari Tinggi KAJ diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ. Seminari ini diberi nama Wisma Mahasiswa Murdai. Peristiwa ini dicatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah gereja di KAJ dan dirayakan dengan cara sederhana dan tertutup. Dalam pemberkatan, Uskup memohon kepada Tuhan agar wisma ini terhindar dari bahaya dan penghuninya dapat hidup rukun sampai ke tujuan imamatnya dan memasyarakat (Majalah Hidup, no.36, tahun ke-34, 28 Sept. 1980).

Pendidikan Tahun Rohani tak pernah dialami oleh Rm. Purbo, Pr. Masa Pendidikan Tahun rohani baru dimulai pada saat Rm. Roy Djakarya masuk ke seminari. Sebab, Rm. Purbo mengalami pendidikan seminari tinggi hanya selama 7 tahun: 3 tahun di STF Driyarkara, 1 tahun pastoral dan 3 tahun belajaar Teologi di Kentungan. Rm. Purbo dan angkatannya pernah dibimbing oleh Rm. Alex Dirdjo sebagai pastor unit sewaktu pindah ke Murdai. Kemudian, digantikan oleh Rm. Witdarmono, Pr.

VI. Penutup

Diskontinuitas kehadiran para imam diosesan Belanda di Batavia sejak tempo dulu menyebabkan umat Katolik saat ini lebih mengenal para imam tarekat dibandingkan imam diosesan Jakarta. Pengalaman di masa lalu ini mungkin terjadi karena imam diosesan Belanda telah lama absen dan secara kuantitas belum banyak.

Hingga tahun 1978, kolegialitas para imam diosesan saat itu belum terbentuk karena hanya tersisa 5 imam saja; yakni Rm. Pan Liang Ching(?), Rm. Sutopanitro Pr, Rm. Witdarmono Pr, Rm. Wiyanto Pr dan Rm. Bambang Wiryowardoyo Pr. Relasi antar imam kurang begitu terbina dengan baik karena letak karya mereka yang berbeda satu sama lain dan pada umumnya, mereka hanya diutus seorang diri di sebuah tempat pastoral.

Daftar Acuan:

1. Boelaars, Huub J.W.M., 2005. Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.

2. Majalah Hidup, 2 Oktober 2005. “Memoria 25 Tahun Lalu”, no.40, tahun ke-59, Jakarta: Yayasan Hidup

3. Kurris, SJ, 1996. Terpencil di Pinggiran Jakarta, Jakarta: Obor.

4. MAWI, 1974. Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid III, Ende: Arnoldus.

5. Vriens, G., 1972. Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid II, Ende: Arnoldus.

6. Download Website, 8 Agustus 2006. VOC. Http://members.chello.at/ kkiawina/ indonesisch /christentum in indonesien. htm

7. Majalah Salus, 2006.“70 Tahun Seminari Tinggi: Melintas Zaman”, edisi khusus 70 Tahun Seminari Tinggi, Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus-KAS.



[1] Lih. “Misi masa Portugis”, http://members.chello.at/kkiawina/indonesisch/christentum in indonesien.htm.

[2] Http://members.chello.at/kkiawina/indonesisch/christentum in indonesien.htm

[3] Lih. Wikipedia Indonesia, Batavia. “Nama Batavia hanya dipakai sampai tahun 1942, setelah itu nama kota berubah menjadi Jakarta. Tetapi bentuknya dalam bahsa Melayu, yaitu Betawi, dan kata itu masih tetap dipakai sampai sekarang.

[4] Kegiatan Katolik saat itu hanya diijinkan di luar tembok Batavia bagi orang keturunan Portugis dengan didirikannya Gereja Portugis pada tahun 1696, yang kini dikenal dengan nama Gereja Sion di Jln. P. Jayakarta.

[5] Catatan ini diringkas dari buku Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia karangan Boelaars, Huub J.W.M., Yogyakarta: Kanisius, 2005

[6] Lih. “Agama Kristen di bawah naungan bendera Belanda dalam abad ke 18 dan 19”, http://members.chello.at/kkiawina/indonesisch/christentum_in_indonesien.htm.

[7] Misi mereka dikenal dengan nama “reksa jiwa-jiwa di seberang” karena mereka diizinkan secara resmi oleh pemerintah untuk melayani orang-orang Eropa Katolik di kalangan pejabat, tentara, dan pedagang di Hindia-Belanda.

[8] Gedung gereja yang berukuran kecil ini dulu digunakan oleh umat Kristen Protestan sejak awal abad ke-18.

[9] Lih. G. Vriens. Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 2, hal. 24.

[10] Ibid., hal. 49.

[11] Lih. G. Vriens. Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 2, hal. 19: “Du Bus de Ghisignies adalah seorang katolik sejati dan satu-satunya diantara semua pejabat tertinggi. Komisaris Jendral (Commissaris-Generaal ialah wakil raja di Hindia Belanda dengan kekuasaan luar biasa bahkan di atas pemerintah biasa. Beliau sebenarnya menjual tempat tersebut tahun 1828 dengan harga yang rendah. Saat itu negara Belanda dipegang oleh Raja Wilhem I.”

[12] Lih. G. Vriens, SJ. Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jilid II, hal. 39.

[13] Ibid., hal.40.

[14] Ibid., hal.43.

[15] Lih. G. Vriens. Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 2, hal. 43.

[16] Dikutip dari artikel Para Gembala, Katedral Jakarta Website, 2006.

[17] Lih. R. Kurris, SJ. Terpencil di Pinggiran Jakarta, hal. 113.

[18] Lih. R. Kurris, SJ. Terpencil di Pinggiran Jakarta, hal. 114: “Rm. Soerjo menjadi pastor pertama yang dengan restu Bapa Uskup mulai menetap sebagai imam purna-waktu di Kampung Sawah.”

[19] Ibid., hal. 109:”Herbert Voogdt ialah seorang seminaris keturunan Indo Belanda dari Vikariat Apostolik Padang, ketika Jepang memasuki Indonesia. Awal tahun 1943, ia ditahbiskan menjadi imam di Muntilan. Belum sempat pulang ke Padang, imam projo yang muda itu diperkejakan di Vikariat Apostolik Jakarta.”

[20] Lih. MAWI, 1974, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid III, Ende: Arnoldus, hlm. 773

[21] Lih. Majalah Salus, dalam “70 Tahun Seminari Tinggi: Melintas Zaman”, edisi khusus 70 Tahun Seminari Tinggi, Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus-KAS, 2006, hlm. 31.

[22] Secara praktis, Rm. Sutopanitro hanya ½ tahun tinggal di Katedral, selebihnya sudah mulai menetap di sebuah rumah di Gunung Sahari 77. Rm. Sutopanitro juga mengurus stasi-stasi dari Katedral, seperti paroki Pasar Minggu.

[23] Kurris, SJ, Terpencil di Pinggiran Jakarta, Jakarta: Obor, 1996, hlm. 121-138. “Fr. Marius, SJ diharuskan meninggalkan serikatnya setelah 19 tahun menjadi anggota serikat. Walaupun telah belajar teologi di Maastricht, Belanda selama tiga tahun, pimpinan Jesuit tidak berani untuk mengajukan beliau menjadi seorang imam karena kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Fr. Marius dan dipersilahkan meninggalkan serikat pada tahun 1945.”

[24] Untuk mengenang Romo Mario yang banyak memberi teladan baik itu, Umat Katolik Paroki Kampung Sawah kemudian memperindah makamnya dengan sebuah batu nisan yang kokoh.

[25] Wisma Murdai didirikan pada 1980 sebagai tempat pembinaan para frater yang baru. Tanggal 14 Agustus 1980, Seminari Tinggi KAJ diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ. Seminari ini diberi nama Wisma Mahasiswa Murdai. Peristiwa ini dicatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah gereja di KAJ dan dirayakan dengan cara sederhana dan tertutup. Dalam pemberkatan, Uskup memohon kepada Tuhan agar wisma ini terhindar dari bahaya dan penghuninya dapat hidup rukun sampai ke tujuan imamatnya dan memasyarakat (Majalah Hidup, no.36, tahun ke-34, 28 Sept. 1980).

[26] Seminari di Kolese Kanisius ialah gabungan antara seminari tinggi dan seminari menengah dan didampingi oleh Romo Kester, SJ. Sistem pendampingan di Kanisus saat itu masih kacau, karena tidak ada pendampingan yang intensif, tak ada jadwal dan bebas. Mgr. Leo-lah yang memberikan ide mengenai eksperimen di Kanisius ini. Tujuannya adalah agar dapat merintis Seminari sendiri. Kolese ini masih dipinjam sampai tahun 1980, tepat saat Wisma Mahasiswa Murdai sudah didirikan sebagai tempat pembinaan calon imam diosesan yang baru.

Tidak ada komentar: