05 Oktober 2007

Cikal Bakal Imam Diosesan Jakarta

(Bagian Ketiga dari Beberapa Tulisan)

Mgr. Petrus Willekens, SJ (1934—1952)-Vikaris Apostolik

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1953 – 1961)-Vikaris Apostolik

Pada 23 Juli 1934, Pastor Petrus Willekens, SJ diangkat sebagai Vikaris Apostolik VII oleh Paus Pius XI dan ditahbiskan menjadi Uskup di Katedral pada 3 Oktober 1934.[1] Di tengah masa kepemimpinannya beliau mengalami masa pendudukan Jepang.

Pada bulan 1941, Pemerintah Hindia Belanda mendapatkan tekanan berat dari Jepang agar mau bergabung dengan Wilayah Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Selain itu, tanggal 14 Mei 1941, Jepang mengirimkan sebuah ultimatum kepada pemerintah Hindia Belanda agar pengaruh dan kehadiran Jepang dibiarkan di wilayah ini. Namun, tanggal 6 Juni 1941, perundingan antara Belanda dan Jepang ini gagal. Pemerintah Hindia Belanda menjawab bahwa tidak akan ada konsesi yang akan diberikan kepada Jepang. (Lih. Indonesia: Era Jepang. Wikipedia Indonesia Website, 2006).

Hingga akhirnya, Jepang mulai menjajah pulau Indonesia dan berusaha merebut kekuasaan yang dimiliki Belanda pada bulan Februari 1942. Jepang mulai mengebom beberapa pulau di Indonesia, termasuk Batavia (9 Februari 1942).

Ketika Belanda menyerah, pasca April 1942, banyak orang Belanda diintenir pasukan Jepang, termasuk pastor, bruder, dan suster. Mereka dikirim ke kamp interniran Jepang. Sekitar bulan Agustus 1943, Jepang mulai mengambil alih perkebunan gula untuk menguasai produksi gula. Para manajer Eropa dikirim ke kamp interniran.

Berkat kelihaiannya mengangkat diri sebagai ‘Wakil Paus’, Mgr Willekens bersama sekretarisnya Pastor L. Zwaans, SJ tidak turut diintenir sehingga dapat memberikan pelayanan kepada umatnya. Tanpa memperhitungkan bahaya bagi dirinya, ia sering menghadapi para pembesar untuk membela hak asasi manusia.

Pada masa pendudukan Jepang ini, Mgr. Willekens mengusahakan agar rumah sakit dan sekolah-sekolah Katolik untuk tetap beroperasi dan tetap melayani umat Katolik. Situasi semacam ini menyebabkan gerak para imam Belanda terbatas dalam melayani umat di Batavia dan melihat adanya kebutuhan akan imam-imam (baru) pribumi di Jakarta.



[1] Dikutip dari artikel Para Gembala, Katedral Jakarta Website, 2006.

CERPEN: Yayan Dapat Kerja di Jakarta

Oleh: Fr. Julius Simanjuntak

Hari itu, matahari sangat terik. Di suatu perempatan jalan ibukota yang ramai, berdirilah seorang pria kurus, berambut hitam keriting. Wajahnya menunjukkan kelesuan dan rambutnya pun acak-acakan. Kulit pria itu terlihat kehitam-hitaman karena terbakar sinar matahari. Semua orang yang melihatnya mungkin akan setuju bahwa penampilannya sangat tidak menarik. Pakaiannya kumuh, ada bekas jahitan hampir di setiap bagian bajunya. Tubuhnya pun dipenuhi bekas luka di sana-sini. Di sekitar luka-luka itu, banyak lalat berterbangan, tetapi pria itu tampaknya tidak peduli. Orang-orang di sekitarnya pun tidak peduli dengan kehadiran pria ini.

Di sebelahnya, berdiri juga seorang pria yang kali ini agak rapi penampilannya. Rambutnya tergeletak rapi tersusun di atas kepalanya. Wajahnya tampan seperti bintang film Hollywood. Kulitnya yang bersih dan terawat juga menjadi daya tarik pria ini. Kegagahan itulah yang membuat wanita-wanita tidak segan-segan mengarahkan mata mereka ketika lewat di sebelah pria ini.

“Mas, tolong mas, saya lapar”, kata pria kumuh itu kepada pria tampan di sampingnya. Tetapi, pria tampan itu tidak menggubrisnya. Sekali lagi pria kumuh itu mengatakan hal yang sama, tetapi kali ini dengan suara yang cukup lantang. Pria itu tersentak kaget dan melotot ke arah pria kumuh yang ada di sampingnya.

Eh, kumuh, nyolot loe, apa loe cari masalah?” jawab pria tampan itu kepadanya.

“Maaf mas, saya lapar nih

“ Lapar, lapar, loe kira gue bokap loe, emak loe. Emangnya loe siape?”

Mendengar perkataan itu, pria kumuh itu pun menundukkan kepalanya dan segera bergegas pergi dengan tertatih-tatih. Jalannya sempoyongan. Untuk melangkahkan kaki saja, rasanya amat berat. Dalam hati ia pun berkata,

Ah, emang hidup di Jakarta itu berat, cari makan aja susah. Banyak orang ga peduli lagi. Egois banget tuh orang. Pelit dan kurang ajar lagi.”

Di tempat lain, pria tampan itu segera melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Seorang wanita yang cantik dan menawan ternyata telah menunggunya.

“Ndi, tadi itu siapa. Kok kamu teriak-teriak gitu sih. Kenapa nggak dikasih aja?”

“Ri, gimana aku mau ngasih. Tuh orang nyolot banget. Aku nggak suka dengan caranya minta-minta. Ya udahlah, Papi dan Mamiku udah menunggu di rumah. Kita harus cepat-cepat sampai”.

Trus, gimana buah titipanku. Udah dibeli belum?”

Udah, tenang aja. Tadi aku taruh di bagasi.” Lelaki itu segera menjalankan mobilnya, tetapi dengan muka yang muram. Wanita di sampingnya pun ikut terdiam setelah melihat sosok wajah yang tegang itu.

Lelaki kumuh itu melihat mobil itu melaju dengan cepat. Ia berkata di dalam hati, sambil mengumpat-umpat, “Dasar loe orang kaya pelit, egois, ga punya hati”.

Ketika ia sedang berjalan, terlihat olehnya suatu rumah makan yang cukup besar. Rumah makan itu terletak persis di pinggir jalan. Di dalam pikirannya sudah terbesit suatu mimpi bahwa kali ini pasti ia akan mendapat makanan. Tetapi, tiba-tiba mukanya menjadi merana dan lesu kembali ketika melihat seorang satpam yang berdiri di lapangan parkir. Satpam itu melihat dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat.

Ngapain kamu liat-liat. Di sini tidak menerima permintaan sumbangan. Makanya kerja dong biar dapat duit. Jangan minta-minta melulu.”

Nggak kok, gue hanya ngeliat aja,” kata pria kumuh itu dengan wajah yang meringis. Di dalam hatinya ia berkata,

Ah, lagi-lagi aku ga dapat makan. Tuhan, kapan Engkau beri aku makan?”

Pria kumuh itu kembali berjalan dengan tenaga yang semakin lemah. Di kejauhan, ia melihat suatu perempatan lampu merah yang sedang mengalami kemacetan karena terjadi kerusakan lampu. Ia melihat ada banyak orang mengatur lalu lintas. Semakin ia mendekat, semakin ia yakin bahwa kali ini pasti ia akan mendapat makanan. Kalau mujur, ia bisa dapat duit lebih. Ketika sudah sampai di perempatan itu, ia melihat ke kiri dan ke kanan.

Nah, orang itu mungkin mandornya mereka. Semoga saja mandornya cukup baik dan aku dapat duit lebih”

“Permisi bos, boleh saya bantu kerjaannya.”

Emangnya loe bisa apa?” jawab Bang Jajal yang memang sudah lama menguasai perempatan lampu merah itu. Bang Jajal berbadan tegap dan mempunyai kumis di wajahnya. Ia senantiasa berada di jalanan sehingga tidak mengherankan kalau kulitnya hitam terbakar terik matahari. Bang Jajal sebenarnya tidak terlalu tinggi, tetapi badannya yang kekar itu membuat orang segan untuk berurusan dengannya. Ia mempunyai seorang istri yang bernama Sarimah. Sudah tiga tahun mereka menikah tetapi masih belum punya anak. Bang Jajal sebenarnya bingung apakah dia atau istrinya yang mandul. Terkadang, ada godaan di dalam diri Bang Jajal untuk menceraikan istrinya itu. Tetapi, niat itu tidak pernah terpenuhi karena ia amat mencintai istrinya, Sarimah. Lagipula, Sarimah adalah istri yang setia dan tekun bekerja di rumah. Ia dulu bekerja di suatu pelacuran di daerah utara Jakarta. Setelah menikah dengan Bang Jajal, Sarimah menghentikan pekerjaan lamanya itu dan bekerja dari rumah ke rumah untuk mencuci pakaian.

Pria kumuh itu mencoba meyakinkan Bang Jajal dengan berkata,

Yah, kalau hanya mengatur lalu lintas, saya bisa, Bos.”

“Badan loe lemas gitu, apa bisa berdiri lama? Entar malah jadi urusan lagi. Gue nggak mau repot.”

Ah, bos. Saya mah tidak akan ngerepotin bos. Tenang aja”, jawab pria kumuh dengan wajah yang meyakinkan.

Ah, kasihan juga nih orang. Kayaknya udah kelaparan. Ya udahlah, aku lihat dulu sebatas mana kemampuannya,” kata sang mandor di dalam hatinya.

Ya udah, loe kerja sana. Ingat, jangan macam-macam, jangan nipu kita, apalagi korupsi kayak pejabat-pejabat,” kata sang mandor dengan suara lantang. Sepertinya, ia dengan terpaksa untuk menerima bantuan pria kumuh itu.

Wah, terima kasih banyak bos atas bantuannya. Tenang aja, saya nggak akan macam-macam. Saya ini orangnya jujur kok,” jawab pria kumuh itu dengan muka yang gembira. Di dalam hatinya, terbesit pikiran,

Ah, kali ini emang Tuhan baik ama saya. Pasti dapat makan dan duit.”

Woi Joe,” teriak mandor itu kepada anak buahnya yang sedang mengatur lalu lintas. Joe, panggilan akrab teman-temannya. Ia adalah anak buah kesayangan Bang Jajal. Joe itu berbadan kurus kerempeng, berkulit putih. Rambutnya kelihatan acak-acakan. Pakaiannya cukup rapi dibandingkan anak jalanan lainnya. Ia sebenarnya belum pantas untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk Jakarta, tetapi wajahnya kelihatan sudah matang oleh berbagai pengalaman di jalanan. Melihat wajahnya, petugas kelurahan percaya kepadanya, apalagi setelah melihat kartu kelahiran Joe yang sebenarnya palsu itu. Di kartu kelahiran itu tertulis Johanes Agus Sasono. Anak dari Kartika Sari. Tidak ada nama ayah yang tertulis. Nama ibu itu pun sebenarnya adalah nama yang dikarang ketika membuat akta kelahiran palsu. Joe ikut dalam kartu keluarga Bang Jajal. Dulunya, ia adalah anak dari panti asuhan yang cukup terkenal di jalan Kramat. Ia tidak betah tinggal di tempat itu dan memilih untuk melarikan diri. Melihat anak itu, Bang Jajal tergerak hatinya, lalu mengangkat Joe sebagai anak buah kesayangannya.

Ya bos, ada apa?” jawab Joe dengan nafas terengah-engah karena kelelahan bekerja.

Dengan tegas, sang mandor memerintahkan anak buahnya itu,

Nih ada orang baru, tolong diajarin cara kerjanya. Jangan sampai ngerusak suasana.”

“Siap bos,” jawab Joe kepada Bang Jajal dengan tangan bersikap hormat seperti seorang polisi menghormati atasannya.

Woi, ayo kita segera kerja. Loe kerja di bagian sana,” kata Joe kepada pria kumuh itu. Ia menunjuk sebuah tempat di sebelah kanannya.

Loe berdiri di situ. Ntar, gue kasih tanda ke loe. Itu berarti mobil dari arah sana boleh jalan. Ngerti ga loe.”

Iya Bang Joe, saya ngerti.”

Mereka pun bekerja sampai malam hari. Kira-kira pukul 7 malam, mereka segera menuju ke warteg “Mari Mampir” untuk makan malam. Di tempat itu juga mereka membagi hasil pekerjaan sebagai “polisi cepek”. Si pria kumuh itu, Yayan namanya. Wajahnya sekarang terlihat berseri-seri sambil memegang perutnya yang sudah menggembung.

Ah, hari ini emang aku beruntung ketemu orang baik. Udah gitu dapat duit lagi. Besok aku kerja di sini saja.”

Setelah selesai makan dan membagi hasil, mereka segera pergi ke tempat tinggal masing-masing. Joe dan Bang Jajal tinggal di dalam satu rumah dengan Sarimah. Yayan, pria kumuh itu kembali mengerutkan dahinya dan berkata dalam hatinya,

Nah, sekarang aku mau tidur di mana yah?”

Malam itu ia tidur di depan sebuah toko di pinggir jalan dengan beralaskan selembar koran. Suara bising kendaraan berlalu begitu saja di telinganya. Ia tertidur dengan begitu lelap. Wajahnya tersenyum seolah-olah menampakkan seseorang yang telah mendapatkan hadiah yang amat besar.

HISTORIA DOMUS

26 Mei 2007

Hari ini merupakan hari yang bersejarah bagi Gereja Katolik di Jakarta, karena hari merupakan perayaan puncak 200 tahun gereja di Jakarta. Walaupun dalam masa minggu tenang untuk menghadapi ujian semesteran tapi kami tetap mengambil bagian dari perayaan ini sebagai Misdinar dan Koster. Dapat sedikit berbangga hati karena kami bertugas bersama para Uskup se-Indonesia dan moga-moga salah satu dari kami dapat menggantikan mereka. Amin.

31 Mei – 8 Juni 2007

Tolong jangan pada ribut! Kami sedang menghadapi ujian semesteran. Dengan semangat 45 kami belajar hingga pagi dan mengerjakan ujian dengan sebaik-baiknya. Tapi hati-hati jangan sampai masuk angin ya.

9-16 Juni 2007

Setelah belajar dan berkegiatan selama setahun saatnya para frater menarik diri (retret) untuk mendapatkan siraman rohani. Para frater tingkat I dan II mendapatkan siraman rohani dari Rm. Bono,Pr di Ambarawa dan tingkat III dan IV mendapatkan siraman rohani dari Rm. Agung, MSF di Parakan. Ingat bawa jaket karena udara dingin tetapi yang pasti bawalah hati yang tulus dalam mengikuti retret.

20-22 Juni 2007

wah...wah...wah pada mau kemana nih, koq pada sumringah? Jelas kami semua ingin ke Carita dan berekreasi bersama. Dengan segala keceriaan dan kebersamaan kami mengikuti kegiatan yang telah direncanakan oleh Fr. Angga dkk (frater tingkat III). Memang ada satu acara yang membuat kami kecewa, karena ternyata ketika kami snockling ternyata bukan taman laut yang kami temui melainkan pemakaman laut (kumpulan karang yang sudah mati). Indah memang tetapi harus dilihat dengan sedikit imajinasi. Selain rekreasi yang sangat ditunggu-tunggu ialah tugas perutusan yang akan diserahkan oleh Pater Rektor.

25 Juni – 1 Juli 2007

setelah berekreasi ternyata para frater sudah ditunggu oleh Rm. Sulist, Pr dan teman-teman dengan kursus Disaster Management. Kursus ini diadakan di dua tempat pertama di Wisma tercinta dan dilanjutkan di Lido. Disini kita diajarkan juga bagaimana berjejaring dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Semoga saja para frater setelah mengikuti kursus ini tidak menjadi Disaster itu sendiri he..he..he...

2 – 30 Juli 2007

loh...loh koq sepi! Jelas sekarang para frater sedang liburan bersama keluarga dirumah. Tapi ingat pada tanggal 6 juli kita kembali ke wisma untuk menghadiri pelantikan lektor dan akolit saudara kita yang akan TOP yaitu Fr. Aldo dan Fr. Yakin. Para frater yang dilantik akan menjalankan masa TOP di Wacana Bhakti dan Kolese Gonzaga.

1 Agustus 2007

kembali ke asal. Setelah berlibur bersama keluarga akhirnya para frater kembali lagi ke wisma tercinta. Ternyata ada anggota komunitas baru yaitu Fr. Anast dan Fr. Purboyo yang dengan semangat baru siap untuk memasuki dunia para filsuf dan teolog. Tapi tetap tenang karena kuliah baru dimulai tanggal 20 Agustus 2007

8 Agustus 2007

jika diluar wisma Adang dan Fauzi Bowo bertarung memperebutkan DKI 1, didalam situasi juga cukup panas adanya pemilihan Bidum dengan calon para frater tingkat III yang akhirnya, dengan perhitungan yang panjang, Fr. Nugroho terpilih menjadi Bidum dan didampingi oleh Fr. Indra (tingkat II) sebagai Wabidum. Selamat ya semoga semakin membuat komunitas Cempaka semakin berwarna.

15 – 16 Agustus 2007

pada tanggal 15 Agustus, tiga diakon kita, Fr. Harry, Fr. Treka dan Fr. Kokoh, ditahbiskan bersama dengan 5 diakon Xaverian oleh Mgr. Julius Kardinal di Gereja St. Matius Rasul, Bintaro. Keesok-harinya para Imam baru KAJ mengadakan misa perdana di Wisma Cempaka dan sebagai ucapan selamat Pater Rektor memberikan kenang-kenangan berupa Iura Stollae pertama kepada para imam baru.

17 Agustus 2007

Bangun..Bangun...Bangun... Dengan mata yang masih 5 watt para frater mulai bersepeda ria dengan rute wisma, monas, Patung Manusia Api (dekat Blok M), lalu kembali ke bunderan H I, dilanjutkan ke Patung P. Dipenegoro, diakhiri kembali ke Wisma melewati Jalan Percetakan Negara. Selain itu pada malam harinya acara 17-an masih berlangsung karena kita mengadakan misa kreatifitas yang diisi dengan pembacaan teks Proklamasi oleh Fr. Atmojo dan pembacaan puisi oleh Fr. Nugroho. Sekali Merdeka tetap Merdeka!

24 Agustus 2007

hari ini, para frater menghadiri penjubahan adik-adik kami di Wisma Puruhita yang dipimpin Rm. Simon, Pr yang didampingi oleh Rm. Yoko, SJ dan Rm. Sarto, SJ. Dalam kotbahnya Rm. Simon berpesan bahwa tahun Rohani merupakan tahun penting karena merupakan basis bagi perkembangan panggilan seorang calon imam dan imam.

7 September 2007

Jumatan ini sedikit istimewa karena selain kami anggota komunitas Seminari Yohanes Paulus II berkumpul dan bergembira bersama, kami pada kesempatan ini melepas kedua pastur kami tercinta yang mendapat tugas baru. Rm. Sarto, SJ akan bertugas di Paroki St. Servatius, Kampung Sawah dan Rm. Adi, Pr akan bertugas di Paroki Keluarga Kudus, Pasar Minggu. Romo, jangan lupakan kami ya!

Puisi: Hanyalah Permainan

Hanyalah Permainan

Hey kawan, tahukah anda makna warna putih

Ya betul itu, kemurnian

Sekali lagi benar! Itu warna kemurnian

Tapi apakah itu benar-benar murni

Pernahkah kita berfikir bahwa putih itu kebrutalan

Karena dia dengan serakah mengusir semua warna agar dia berjaya

Hey jangan marah dahulu, tenang!

Jangan seperti si ‘Putih’ yang marah

ketika kawannya datang dan memberi goresan warna di dalam dirinya

atau hanya sekedar berjalan bersama

Coba kau lihat betapa marah dirinya ketika ada warna lain dalam dirinya

Seringkali kita dengar tangisanya dan rintihannya “aku sudah tidak murni lagi”

Hey teman, coba kau renungkan arti murni

Bukankah murni sama dengan ego kita

Sadarkah bahwa dengan kata itu kita tidak mau beriringan dengan orang lain

“Saya masih murni, saya masih bersih dan putih”

Setiap orang berteriak dan seperti paduan suara mengatakan hal yang sama

Jadi sekarang siapakah yang murni atau siapakah yang putih

Aku, kau, dia atau mereka

atau hanya ego kita semata

ya, semua itu hanya permainan belaka

Kawan, seorang Sahabat berkata pada saya

“Aku hadir untuk setiap orang dan berjalan bersama mereka

hijau, merah, kuning dan semua warna tanpa kecuali

kami berbaur, bersatu dan bahkan menyatu.

Orang mungkin melihat kami kelam, hitam atau hanya bayang-bayang belaka.

Tapi dalam kemuliaan Bapa-Ku

Kami bukanlah kelam tapi cahaya putih yang bersinar

Yang menyinari dunia dari kegelapan.”

Jadi....

Apakah engkau masih berkeras hati

Bahwa putih itu murni

Aku tegaskan sekali lagi

Itu hanyalah permainan kata-kata

Nugroho Saputro

(Cempaka, 4 September 2007)